logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

MELAMPAUI BATAS

Siang itu Nara tampak sibuk dengan berbagai pekerjaan yang sangat menumpuk di atas mejanya, setiap hari pasti ada saja hal yang membuat dia berkutat di depan monitor. Kesibukan ini benar-benar membuat dia lupa akan kejadian masa lalu, bahkan sampai sekarang sejak di usir dari rumah Nara bahkan tidak tahu bagaimana kabar keluarganya.
Merindukan mereka? Entahlah, Nara sendiri tidak tahu bagaimana posisi perasaannya sekarang. Dia seolah mati rasa, bahkan tidak tahu apa dia masih menyayangi keluarganya atau tidak. Mengingat kejadian menyakitkan yang dia alami.
Perjuangannnya selama ini memang tidak mudah, bahkan sering kali dia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi, tapi entah ini sebuah takdir atau apa dia sendiri tidak paham. Kehadiran Bu Ina dalam hidupnya benar-benar merubah dia seutuhnya.
Tidak ada lagi Nara yang lemah lembut dan polos, dia bukan lagi Nara yang mudah menangis walau hanya di bentak. Nara gadis polos berkacamata dan rambut kepang itu sudah mati beberapa tahun lalu, sekarang yang ada hanyalah Naraya tegas dan tangguh.
Bagi Nara, sekarang adalah bagaimana caranya membahagiakan putri semata wayangnya, meski kelahirannya tidak di inginkan tapi Nara menyayangi dia. Gadis kecilnya adalah nafas untuk dia sendiri.
Bel berbunyi pertanda jam makan siang sudah tiba, tapi tampaknya Nara masih setia dengan berkas-berkasnya. Dia terlalu serius bahkan sampai tidak menyadari jika Biru sudah berdiri di depan mejanya.
Tok tok tok.
Biru mengetukkan jarinya di atas meja, karena kesal Nara tidak menyadari kehadirannya di sana. Wanita itu mendongak untuk melihat siapa yang mengganggu pekerjaannya sambil memegangi kertas yang penuh dengan angka-angka itu.
‘Sekertaris macam apa ini. Dia benar-benar tidak menghargai atasannya.’
“Ya Pak Ray, apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan biasa saja, dan sekarang dia sudah tidak menatap Biru lagi, dia kembali fokus pada pekerjaannya.
“Belikan saya makanan. Saya lapar.” Nara terdiam sebentar, dia sedang berusaha mencerna ucapan lelaki menyebalkan yang selalu membuat dia naik darah.
Nara meletakkan kerats-kertasnya di atas meja, lalu dia mendongak menatap pria itu yang masih saja menampilkan wajah dinginnya. Wanita itu tersenyum manis tapi ini persis seperti senyum yang di buat-buat. Dia mengatupkan kedua tangannya di depan dagunya.
“Perlu anda tahu jika perusahaan ini memiliki officeboy and officegirl. Anda bisa meminta mereka untuk membelikan anda makanan,” jawabnya dengan sangat santai dan tekesan acuh.
Biru menggeram dalam diam, ini adalah hal yang paling dia benci. Perkataannya di bantah, tapi dia bingung terhadap wanita satu ini entah kenapa sejak pertama kali bertemu dengannya Biru selalu saja bungkam dengan dia.
Seminggu bekerja bersama Nara membuatnya stress dengan sikap kurang ajar wanita itu. Dia selalu saja punya dua ribu satu cara untuk membantah semua ucapannya.
“But you are my secretary. Saya ingin kamu mengantarkan makanan ke ruangan saya segera.” Terdengar mutlak dan tegas, tapi bukan Naraya namanya jika tidak bisa menjawab ucapan bossnya itu.
“Apa perlu saya ingatkan jika saya hanya sekertaris pengganti di sini.”
“Naraya!” Batas kesabaran Biru sudah bisa, dia semakin kesal dan geram karena ulah Nara. Tapi sayangnya wanita itu bahkan tidak memiliki rasa takut sedikitpun, meski Biru sudah sangat marah dan bersiap untuk meluapkan amarahnya.
Dengan santainya Nara melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, bahkan tidak sedikitpun ada rasa segan terhadap Biru.
“Permisi Pak, ini jam makan siang jadi saya butuh istirahat.”
Pria itu menggeram marah, dia benar-benar tidak suka dengan ini. Belum sempat wanita itu melangkahkan kakinya meninggalkan meja, Biru sudah mencekal pergelangan tangannya terlebih dahulu dan mendorong punggung Nara hingga pinggangnya membentur pinggiran meja.
“Lepas! Anda mau apa?!” Nara menatapnya dengan sengit, dia benar-benar tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh pria itu.
“Apa yang saya lakukan? Saya ingin memberimu pelajaran!” balas Biru tak kalah sengit, dia menatap tajam wanita yang selalu saja berhasil membuat dia diam tak berkutik. Wanita ini benar-benar tidak sopan dan tidak tahu di untung.
“Lepaskan saya atau saya akan mengadukan anda ke Tuan Danu! Andmmpphh.” Biru membungkam mulut Nara menggunakan bibirnya, dia benar-benar kesal mendengar semua ocehan wanita ini.
Bola mata Nara melotot sempurna saat menyadari pria itu menciumnya bahkan melumatnya dengan kasar, tiba-tiba Nara mendorong dada pria itu dengan sekuat tenaga agar ciumannya terlepas.
Plak! Telapak tangannya menempel sempurna di wajah Biru, bahkan dia tidak peduli lagi jika itu adalah boss besarnya. Mata wanita itu berkaca-kaca, setelah bayangan masa lalu itu hadir kembali dalam ingatannya. Dia tidak ingin itu terjadi lagi.
“Saya tidak menyangka jika saya memiliki atasan seorang pria brengsek!” ucap Nara dengan penuh penekanan, dia menunjuk wajah Biru lalu pergi melangkahkan kakinya meninggalkan pria itu yang masih mematung.
‘Tadi itu-’ Lamunannya buyar ketika dia mendengar suara pintu yang di hentakkan dengan kuat.
Ada sesuatu yang terbayang dalam pikiran Biru, tapi dia tidak tahu itu apa.
Sementara Nara, dia berlari menuju toilet dan mengunci kamar toilet itu dengan rapat-rapat, dan dia langsung duduk di atas kloset yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup kencang, bahkan dia sendiri kesulitan untuk mengendalikannya.
Bukan, bukan karena dia berdebar dan gugup di cium oleh Biru. Tapi karena tiba-tiba rasa takut itu hadir dalam dirinya. Kejadian beberapa tahun lalu membuat dia menjadi insecure terhadap orang luar terlebih lelaki. Dia benar-benar trauman akan hal itu.
Wajah Nara mendadak pucat, dia menundukkan kepalanya dan menangkup pipinya. Tiba-tiba air bening itu mengalir dari pipinya, dia menangis menumpahkan semua ketakutan yang terpendam selama ini.
Beruntung tidak ada orang yang datang ke toilet karena mereka bisa menyangka jika yang menangis itu adalah makhluk tak kasat mata.
Cukup lama Nara di dalam toilet, bahkan smapai matanya benar-benar bengkak karena tangisnya yang pilu. Dia membasuh wajahnya di wastafel dan memandangi dirinya yang berdiri di depan cermin. Dia merasa jijik sekaligus benci terhadap dirinya sendiri.
“Hah! Lupakan Nara, sekarang kehidupanmu sudah lebih baik.” Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri agar tidak terlalu terbuai dengan kenangan masa lalunya, karena setiap kali dia mengingat itu maka dia akan menangis.
Nara melangkahkan kakinya untuk memasuki ruangan, bahkan dia melupakan jam makan siangnya dan menghabiskan waktu di toilet akibat ulah boss kurang ajar itu.
Nara menghempaskan bokongnya di atas kursi, lalu kembali fokus dengan dokumen-dokumen pentingnya, karena besok lusa akan ada rapat penting dengan pemilik proyek pembangunan hotel yang sedang berjalan di pinggir kota.
Saat dia fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba Biru keluar dari ruangannya dan berdiri di depan meja Nara. Persis seperti apa yang dia lakukan tadi.
“Berikan saya agenda meeting untuk besok.” Tanpa menatap pria yang menjadi bossnya itu Nara mengambil sesuatu dari dalam lacinya lalu memberikan kertas berisi agenda yang sudah dia susun rapi untuk rapat besok.
Biru mendelikkan alisnya, kesabarannya sudah mentok menghadapi wanita ini. Bahkan dia tidak menatapnya untuk memberikan agenda meeting itu. hei, dia bossnya di sini.
“Apa kau tidak punya attitude kerja Naraya?” Mendengar ucapan sang boss Nara mendongakkan kepalanya, dan saat itu juga Biru dapat melihat jika mata Nara membengkak persis seperti orang selesai menangis.
Dia terkesiap sebentar, memikirkan apa wanita ini menangis karena ulahnya tadi? Ini sangat tidak masuk akal, dia sangat cengeng.
“Anda berbicara attitude tapi anda sendiri sebagai atasan saya tidak punya attide Pak!” ucap Nara dengan tegas sambil menatap tajam pria itu.
Biru menautkan kedua alisnya, seolah menerka apa maksud dari ucapan gadis ini. apa dia sedang menyindir ciuman tadi?
‘Dasar wanita sok polos!’
“Kau berani membentak saya?! Apa kau lupa siapa saya di sini Naraya?!”
“Saya tidak lupa siapa anda Pak. Tapi cara anda benar-benar keterlaluan! Anda tidak punya sopan santun?! Anda tidak bisa menempatkan diri anda Pak Ray!” Emosi Nara tersulut, Biru seakan benar-benar menjadi pria terbrengsek yang pernah ada.
Biru terkekeh mendengar ucapan Nara yang seperti candaan baginya. Dia memperingatkannya tentang sopan santun, lalu apa dia sendiri sudah bisa menempatkan dirinya dengan baik? Berkencan dengan atasannya yang sudah memiliki istri. Papinya sendiri.
“Cih!” Biru meletakkan agenda meeting itu di atas meja lalu tangannya bertengger di pinggang. Dia memandang remeh pada wanita yang sudah mati-matian menahan amarahnya, “kau benar-benar munafik! Aku melakukan itu saja sudah membuatmu marah. Sementara kau bermain di belakang bersama Papi. Saya tidak pernah menemui wanita semunafik dirimu.”
Plak! Lagi-lagi telapak tangan Nara melekat sempurna di pipi mulus itu. dia benar-benar marah dengan ucapan Biru yang merendahkannya. bahkan Nara sampai gemetaran menahan agar dia tidak menanagis dihadapan pria bajingan ini.
“Jaga ucapan Anda!” Nara benar-benar merasa terhina dengan ucapan Biru yang sangat merendahkannya bahkan menuduh dia bermain dengan Danu di belakang.
Memangnya apa yang dia lakukan dengan atasannya itu, Nara tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Tapi pria satu ini benar-benar melampaui batasannya dan Nara tidak akan membiarkan begitu saja.
***

Komentar Buku (313)

  • avatar
    Imagirl

    good novel, dah gak bisa berword" lagi saya. 👍🤩

    04/04/2022

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • avatar
    PutriAnisa

    alur nya bagus tidak membosan kan

    19/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru