logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

PART 02

Bunda benar, aku tak akan pernah berani untuk ke rumah Eyang kakung jika hari telah mulai gelap.
Karena lokasi rumahnya yang mengharuskan melewati komplek area pemakaman meski ditempuh dari arah manapun.
Ada sih satu jalan yang tak harus melintasi pemakaman itu namun sangat sangat lebih jauh dan juga tak ada rumah di kanan kirinya.
Hanya kebun rambutan dan hutan jati yang ada berjajar disepanjang jalan. Sementara di sebelah jalan lainnya hanya tumbuh rimbun pohon bambu yang berukuran besar dan tinggi-tinggi.
Dan menurutku itu lebih menyeramkan lagi.
Aku bisa jatuh pingsan disitu misal tahu-tahu ada yang gangguin.
Eyang kung pernah berpesan agar aku jangan sesekali lewat jalan itu jika hari sudah menjelang petang karena tempatnya sangat angker.
Jadi bergidik aku membayangkn keangkerannya dan akupun terpikir juga saat itu, kenapa Eyang kung begitu betahnya tinggal di situ jika sudah jelas-jelas tempat itu sarang dedemit. Kenapa enggak tinggal serumah aja dengan aku dan Bunda?
Tak sampai 15 menit motor yang aku kemudikan telah tiba di sebuah rumah yang cukup besar dengan bangunan kunonya dan terlihat elegan diantara bangunan rumah-rumah yang lain.
Dikanan kirinya tumbuh pohon rambutan yang usianya sangat sangat jauh dari umurku, berdiri dengan kokoh. Jika musim rambutan kedua pohon itu akan menjelma berwarna merah ketika buahnya telah berusia matang dan karena buahnya yang begitu berlimpah jadi seperti tanpa daun samasekali.
Halaman rumah Eyang yang banyak ditanami pohon-pohon hias membuat semakin terlihat adem dan sejuk dipandang. Selain itu juga sangat luas. Ada bangku dari kayu yang dulu sengaja dibikin Eyang kakung untuk sekedar leyeh-leyeh melepas lelah dan untuk kumpul-kumpul keluarga.
Distu juga ada sangkar burung love bird yang lumayan gede lengkap dengan burungnya yang beraneka warna yang Eyang pelihara. Kicauanya yang bersahutan membuat rumah yang sebenarnya sepi itu nampak terlihat ramai.
" Assalam mualaikum Eyang.. "
Tiba di pintu utama rumah setelah sebelumnya memarkirkan motorku kuucapkan salam sembari mengetuknya perlahan. Tapi sepi. Tak ada sahutan dari dalam rumah.
" Eyang kung.."
Panggilku sekali lagi masih berdiri di depan pintu. Kali itu lebih sedikit ku keraskan suara. Mungkin eyang kung lagi berada dibelakan rumah. Karena aku tau pendengaran eyang udah ga se-jeli dulu.
" Wa alaikum salam.."
Sebuah jawaban yang asalnya justru dari samping rumah cukup membuat tubuhku terjingkat lirih.
Refleks aku langsung tolehkan kepalaku ke arah asal suara. Ternyata sosok Eyang kakung yang muncul dari samping rumah dan sembari berjalan ke arahku.
Dengan sebuah sabit di tangannya beliaupun berjalan mendekat ke arahku. Sepertinya baru dari kebun karena sebelah tangannya lagi menenteng satu tundung pisang yang nampak sudah matang menguning.
Eyang kakung masih terlihat sangat bugar di usianya yang sudah menginjak umur 70 tahun lebih.
Dari muda eyang sudah terbiasa berkebun. Satu kegiatannya disela-sela kesibukannya menjadi tenaga pengajar dan sekaligus kepala sekolah di sebuah SMA negeri yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Hanya dengan mengayuh sepeda kumbangnya Eyang menempuh perjalanan pulang pergi mengajar.
Namun sekarang beliau sudah pensiun dan kebun adalah satu-satunya hiburan juga kesibukkannya dihari tua.
Meski Eyang kakung udah cukup uzur tapi giginya masih utuh. Hanya rambutnya yang mulai banyak ditumbuhi uban dan sedikit berkurang pendengarannya.
" Sudah sore begini baru sampai ke rumah Eyang, Dinda.. Eyang kung sudah nunggu dari tadi kiriman makannya. Lapar habis selesai bersih-bersih kebun dari tadi. Padahal siang eyang udah makan loh.."
Berkata Eyang sembari mengelus perutnya yang sedikit gendut dan tertawa terkekeh sembari berjalan masuk kedalam rumah. Aku sempat mencium tangannya sebelum akhirnya mengikuti Eyang kakung masuk kedalam rumah juga sambil berkelendot manja dibahunya yang masih kokoh.
" Kasihan yang kung.."
Celetukku sedikit nyengir. Tapi cukup merasa bersalah. Gara-gara aku kan Eyang kung jadi menahan lapar.
Kupijit-pijit pundak dan bahunya Eyang kung yang menoleh ke arahku sambil mengulas senyum.
" Cucu pinterr.."
" Maaf yang, Dinda baru pulang kerja. Inipun langsung kesini. Baju seragam kerja aja masih nempel ini."
Berkataku kemudian mencoba beralasan.
Aku duduk menselonjorkan kaki-kakiku disebuah bangku panjang yang biasa untuk bersantai Eyang kakung.
" Weleehh weleehh.. cucu Eyang sepertinya capek sekali.?"
Menggoda Eyang kakung sambil tawanya terkekeh. Aku langsung pasang raut mayun dengan tampang merajuk.
" Iyaa eyang.., enggak lihat apa Dinda pijit-pijitin kaki gini.."
Suaraku merajuk manja.
Eyang kakung senyum menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membuka rantang tempat makanan satu persatu.
" Eyang simpenin buah mangga madu buat cucu Eyang yang paling cantik ini. Sudah matang-matang loh.."
Aku langsung melebarkan sudut-sudut bibirku. Mangga madu adalah buah kesukaanku. Dan aku sangat ingat sekali dulu Eyang selalu kupasin buatku.
Aku segera beranjak dari dudukku dan menghampiri Eyang kung lalu memelukknya sayang sembari sebuah ciumanku mendarat dipipinya.
" Makasih Eyang..Eyang baik bangett.."
Berkataku penuh haru.
" Capeknya sudah ndak dirasa lagi kann..?"
Celetuk Eyang terkekeh saja.
Aku sedikit tersipu malu dengan guyonan Eyang barusan.
" Sudah mau gelap, Dinda mau pulang apa ndak? Keburu petang kamu ndak berani nanti. Apa mau temeni Eyang ngobrol dan pulang besok? Sesekali ndak apa-apa kan ?"
" Iya Eyang..besok-besok kalo Dinda enggak ada janji sama temen, Dinda bakalan temeni Eyang kung.. Tapi sekarang Dinda harus pulang Eyang. Eh ya mangganya mana yang ?"
" Itu di samping pintu belakang. Sudah Eyang bungkus di kantong plastik hitam."
Akupun segera mengambil bungkusan yang Eyang maksud. Lumayan banyak dan besar-besar lagi.
Mencium aromanya saja sudah buat aku ngiler.
" Banyak banget mangga harum manisnya eyang kung.."
Kataku sembari menenteng buah mangganya dan kuhirup-hirup aroma manisnya yang bikin ngiler. šŸ¤¤
" Iya Eyang metik kemarin itu sudah matang di pohonnya.. Jangan lupa bagi ke Bunda juga. Jangan dihabiskan sendiri.."
" Iihh yang kung apaan sihh.."
Berkataku mau memprotes. Meski sesungguhnya aku tau Eyang hanya bercandain aku aja sih.
Kembali Eyang tertawa-tawa melihat ekspresi mukaku yang masam seketika. Aku pura-pura cemberut melihat itu meski pada akhirnya aku senyum juga.
Setelahnya akupun berpamitan ke Eyang kung untuk pulang. Sebelum sore berubah menjadi petang dan suasana berubah gelap dan nyeremin.. hiiiyyyy
Tak lupa juga aku ambil rantang- rantang yang sudah bersih ditempat rak piring, bekas tempat makan tadi pagi yang aku antar dan aku bawa pulang kembali buat cadangan tempat makan sarapan paginya esok hari.
" Hati-hati Dinda.."
" Iyaa eyangg.. Dinda pulang dulu yahh.. Assalam mualaikum.."
" Wa alaikum salaam..
Akupun menjalankan scoopyku meninggalkan pekarangan rumah Eyang kakung.

Komentar Buku (431)

  • avatar
    TaneA.a

    bagus terus berkarya ya kak

    24/05/2022

    Ā Ā 0
  • avatar
    JuliasariKenaya

    bgss bngttt

    04/08

    Ā Ā 0
  • avatar
    MuhammadMuhammad isayama

    cerita nya sangat menarik

    21/07

    Ā Ā 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru