logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

3. CHAPTER 03

Setelah membuatkan Levin sarapan. Dia memanggil pria itu.
"Pak Levin!" panggilnya membuat Levin kaget.
"Iya," sahut Levin cuek.
"Sarapan sudah jadi," ujar Nami. Levin mengangguk dan ke dapur. Seperti biasa, Nami akan berdiri tak jauh darinya.
Levin menikmati sarapannya sabil memikirkan cara untuk mengajak Nami ikut.
"Ck, kamu terlalu lama memanggangnya sampai rasanya pahit!" Nami menyertikan kening. Rasanya tidak terlalu.
"Makan!" Nami cemberut dan berjalan mendekat. Ia duduk dan memakan roti panggang itu.
"Enak, kok gak pahit," batinnya.
Levin sendiri melanjutkan sarapannya. Ia membuat Nami terheran-heran. Jika pahit kenapa juga Levin masih menikmatinya?
Nami POV
Setelah sarapan dan membersihkan Apartement Pak Levin. Aku segera ke kantornya.
Sepedaku kuparkir di tempat biasa. Aku mengambil alat pembersih dan pergi ke ruang Pak Levin.
Di sini masih terjaga kebersihannya. Tidak sama seperti awal aku masuk dulu.
Setelah membersihkan aku ke ruang dapur. Membuat minimuman seperti biasa.
"Nami! Kamu kenapa tidak membersihkan ruangan di bawah?" tanya Jung Rere. Seniorku di sini.
"Sa--saya membersihkan di ruang Pak Levin," ujarku takut. Dia sangat galak dan terbukti sekarang matanya hampir saja keluar.
Ia menatapku seperti aku adalah mangsa. Aku menunduk takut.
"Ekhm!" Deheman seorang membuat kami menoleh. Di sana, seorang pria berdiri dengan gagah menatap kami dengan tatapan datarnya.
"Hanami, silakan ikut dengan saya." Aku bingun siapa pria ini? Meski kebingunan aku tetap mengekori langkahnya.
"Pak Levin meminta agar kamu ikut dengannya," ujarnya.
"Ke mana?" tanyaku bingung. Sesat surat perjanjian itu terlintas dalam benakku.
Mungkin aku harus berada 24 jam di dekatnya? Pria aneh.
"Cepat. Pak Levin tidak suka menunggu," ujarnya. Aku mengangguk dan masuk ke dalam.
"Pak Levin," panggilku.
Brak!
Aku terperanjat kaget. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Saat masuk aku hanya melihat Pak Levin duduk memangku seorang wanita.
Aku tak mengerti apa yang terjadi. Wanita itu kini terjembab di lantai.
"Astaga!" Wajah Pak Levin terlihat pucat menatapku. Aku berlari ke arah wanita itu dan menolongnya.
Dia terjatuh sampai kancing baju atasnya terbuka. Pasti dia malu sekali sekarang.
"Gwenchana (Apakah kamu baik-baik saja)?" tanyaku.
"A--aa--Ne!" Dia berdiri dan mengancing bajunya. Pipinya terlihat memerah. Pasti sakit sekali jatuh di lantai sampai pipinya memerah.
Dia pergi dari sini hanya dengan menatap Levin.
"Pak Levin," panggilku. Wajahnya begitu datar. Aku merasa ia semakin dingin.
Tak ada wajah pucat, tetapi terlihat sekali ia begitu tak tersentuh. Aku mulai merasa takut.
"Akh!" Aku menahan napasku. Dia tiba-tiba menarik dan memeluk pinggangku.
Degdegdeg.
Aku begitu takut. Tatapannya begitu tajam. Mungkinkah dia marah karena aku mengagetkannya?
"Itu tidak seperti yang kamu lihat," ujarnya dengan tenang.
"Ak--aku ...." Apa yang aku lihat selain dia memangku wanita dan wanita itu jatuh.
"Kamu ... 3 kali membuat ia bangun dan tidak bertanggung jawab," ujarnya dengan penuh penekanan. Aku tidak membangunkan siapa-siapa.
"Aku tidak membangunkan siapa pun," ujarku takut dan pelan, "siapa yang aku bangunkan, Pak?"
***
Levin tentu kaget melihat kedatangan Nami yang muncul tanpa mengetuk pintu.
Disaat dia bercumbu dengan wanita jalang bayarannya. Meski dia merasa bosan dan bergairah. Akan tetapi, ia mencari pelampiasan.
Tentu saja dia sontak mendorong wanita itu. Tak bisa menguasai ekspresinya.
Levin tidak tahu, tetapi ia takut Nami marah. Meski ia pun gak tahu alasan Nami marah kepada.
Mencoba mebuat dirinya berlindung dalam ego. Nyatanya, saat gadis itu bertanya, 'siapa yang saya bangunkan, Pak?' dengan mata polosnya yang menatapnya menanti jawaban.
Levin baru sadar. Gadis di depannya begitu polos dan tak mengerti apa yang baru saja ia lakukan.
Lega. Kepolosan Nami membawa berkah untuknya. Meski tak bisa Levin pungkiri, ia gemas sekali dengan Nami.
"Tidak ada," ujar Levin.
"Emm, katanya Bapak meminta saya ikut. Ikut ke mana?" tanya Nami.
"Ikut ke ranjang," batin Levin. Tentu saja ia tak akan mengucapkannya.
"Ke luar kota," ujarnya membuat Nami membuka mulutnya lucu.
"Sial! Hanya dengan membuka mulut saja. Suatu hari nanti akan kubukam mulutnya dengan mulutku," batin Levin kesal.
***
Kota Jeju 16:46 KST
Pertama kali datang ke Kota Jeju membuat gadis yang sejak tadi duduk dengan antusiasi tak sabar untuk keluar dari mobil.
"Dengar, ini pertama kali kamu keluar kota. Jangan jauh-jauh karena nanti kamu kesasar," ujar Levin memperingati Nami.
"Aku akan selalu ikut denganmu, Pak," ujar Nami tanpa menatap wajah Levin. Mendengat Nami akan selalu ikut dengannya, Levin tersenyum tipis.
Merekah akhir keluar dari Mobil setelah sampai di The Shilla Jeju. Hotel yang dilengkapi dengan fasilitas bagus dan lengkap.
Belum lagi disekitarnya banyak tempat populer yang bisa dikunjungi, seperti Teddy Bear Meseum, Jeju Jungmun Resort, dan masih banyak lainnya.
Seperti biasa Levin dengan licik akan memangfaatkan kepolosan Nami. Dia berbalik dan menatap Nami datar.
"Kamu ingin memesan kamar apa? Di sini banyak kamar."
"Ha?" Nami melonggo karena dia sama sekali tidak tahu mengenai kamar Hotel.
"Ak--aku tidak tahu," cicitnya. Levin meminta daftar kamarnya. Memberikan lebaran kamar kamar Hotel kepada Nami.
Nami meneguk ludahnya. Bukan  karena dia terpesona. Melainkan harga kamar di sini setara dengan gajinya jika kerja selama 5 tahun.
"Pilihlah," ujar Levin.
"Apakah Pak Levin yang akan membayarnya?" tanya Nami. Levin menggengkan kepala.
"Saya pikir kamu bisa melihat nominal terteras di sana. Mahal sekali dan saya tidak mungkin mengeluarkan uang buat kamu," ujarnya sakras.
Nami mencibir dalam hati. Tahu gini dia menolak ajakan Levin. Namun, perjanjian itu juga membuatnya harus ikut. Akan tetapi bagaimana ini? Ia tak punya uang.
"Cepatlah," desak Levin.
"Ak--aku tidak bisa memesan kamar," ujarnya. Levin mengambil selebar kertas itu dan memberikan kepada resiopsinis.
Dalam hati pria itu tersenyum penuh kemenangan. Baginya dengan tidak ada kamar yang dipesan Nami akan membuat gadis itu tidur di kamarnya.
Bahkan ia memesan kamar hanya untuk satu kasur saja.
Nami mengikuti Levin dari belakang. Menyeret koper mini miliknya. Setelah dia masuk di dalam. Gadis ini menganga.
"Wah cantik sekali aslinya daripada di gambar," ujarnya penuh kagum.
"Terus kamu tidur di mana?" tanya Levin pura-pura gak tahu.
Nami memilin bajunya. Dia menatap sofa Levin dengan pandangan mupeng.
"Ak--aku boleh tidur di sofa gak, Pak?" tanya Nami takut.
"Tidak. Sofa itu saya gunakan untuk duduk bekerja." Tatapan sinis Levin membuat Nami tak tahu harus tidur di mana.
"Lalu, sa--saya tidur di mana?" tanya dengan mata berkaca-kaca.
"Tidur di kasur," ujar Levin.
"Lalu, Bapak?" tanya Nami polos.
"Di kasur juga!" Levin pergi meninggalkan Nami sebelum gadis itu bertanya banyak.
***
Nami POV
Aku menyusun baju-baju Pak Levin di lemari. Dia hanya membawa beberapa baju dan celana.
Aku tak tahu dia ke mana. Sore setelah dia mandi. Dia mengatakan ingin keluar.
Sebenarnya aku tak mengerti mengapa aku seorang OG bisa ikut keluar kota?
Coba saja CEO di perusahanku menaikkan gajiku. Ck, dia sombong sekali. Udah gitu gak pernah ke kantor lagi.
Songong banget gak sih atasanku itu. Pernah dengar gosip kalau CEO perusahan tempatku bekerja itu tampan dan masih lajang alias jomblo.
Ngomong-ngomong, Pak Levin sendiri aku tidak tahu jabatannya di kantor. Mungkin dia bagian karyawan yang posisinya juga tinggi.
Pak Levin saja karyawan dinginnya kebangetan. Mana dia kalau ngomong ketus banget. Aduh, jadi penasaran sama CEO Aldrick Company.
Nanti aku tanya Pak Levin saja. Aitss, aku bertanya bukan karena suka sama CEOku. Aku hanya penasaran saja.
Ckleak!
Nah, dia muncul. Panjang umur juga Pak Levin. Aku menghampirinya dan ikut duduk di sampingnya.
Dia menatapku dengan datar. Selalu saja. Aku ikut menatap diriku. Apakah ada yang salah? Aku hanya mengenakan piayama tidur bermotif  bear.
"Pak Levin," panggilku.
"Hm?" Dia malah membuka laptopnya.
"Aku ingin bertanya tentang CEO kita," ujarku membuatnya berhenti mengetik. Ia menatapku dengan alis terangkat.
"Aku merasa CEO kita terlalu sombong," ucapku mengatakan sejujurnya.
***
Levin begitu kaget saat mendengar Nami ingin bertanya tentang CEO. Sementara dia adalah CEO Aldrick Company.
Gadis ini tak tahu saja jika pria di depannya adalah Bos tertingginya.
Bahkan dengan polosnya gadis ini mengatai dirinya sombong. Jika Nami adalah orang lain sudah pasti ia akan merasakan akibat dari ucapannya.
Bahkan gadis ity mengebu-ngebu bercerita. Tanpa peduli ekspresi datar Levin.
"Dia tuh juga gak pernah ke kantor. Emang ya orang kaya sombong banget. Udah gitu pedulinya hanya dengan karyawan tinggi. OG mana mungkin dipedulikan," ujarnya dengan bibir mencibir.
Dia seolah tak peduli jika Levin atasannya. Bahkan ia bercerita layaknya teman.
"Bahkan aku sudah bekerja 3 Tahun, tetapi tak pernah gajiku naik-naik," ujarnya cemberut. Dia menatap Levin dengan sedih bercampur kesal.
"Pak Levin pasti enak. Dapat gaji tinggi dari CEO kita. Apalagi Pak Levin bayar aku mahal juga buat jadi OG pribadi," ujarnya, "kalau Pak CEO gak gitu. Ihh kesel! Pengen cakar-cakar muka CEO kita!"
Levin menahan kekesalannya. Ingatkan jika gadis di depannya polos.
"Yakin mau cakar muka CEO Aldrick Company?" tanya Levin tenang.
"Yakin! Ishhh! Pak Levin gimana, sih?! Mana mungkin aku berani cakar walau maunya cakar banget!"
Tingkah Nami membuat kekesalan Levin berubah. Baru pertamanya dijelekkan oleh seseorang di depannya.
"Kalau menurut Pak Levin. CEO kita bagaimana? Pernah pasti ketemu langsung. Beneran dia ganteng?" tanya Nami bertuntung.
Levin memiringkan badannya. Menghadap Nami dan membalas tatapan polos yang sedang kepo itu.
"Saya ganteng atau tidak?" tanya Levin. Nami tanpa babibu mengangguk.
"Sombong?" tanya Levin lagi membuat Nami bingung.
"Sepertinya tidak juga, meski kadang," ujar Nami. Levin mendengus.
"Ayolah, Pak Levin. Jangan balik bertanya. Katakan saja bagaimana CEO kita. Aku ingin sekali melihat wajahnya," rengekknya.
"Lihat saya sekarang maka keingnanmu terkabul," ujar Legin dingin disertai dengan tatapan tajamnya. Nami mencerna kata demi kata yang dikeluarkan oleh Levin.
Dia meneguk ludahnya. "Ap--apa Pak Levin ad--adalah CEO Aldrick Company?" tanya gugup.
Levin memberikan kartu namanya kepada Nami.
Jleb.
Nami ingin kabur sekarang. Ia berdiri dan Levin ikut berdiri. Sampai Nami terus mundur ke belakang.
Tuk!
Tubuhnya buntu di kasur. Ia terjatuh dan Levin menjatuhkan tubuhnya di atas Nami.
"Gadis sepertimu ingin mengcakar wajah saya," ujar Levin pelan namun penuh dengan intimidasi.
Nami menahan napas. Jarak wajah mereka hanya 5 centi meter.
Cup.
Nami memejamkan matanya. Kenyal, lembut dan seperti siput
TBC
Jejaknya Guys. Panjang loh nih 😂😂😂 lumayang mengurangi rindu kalian. Makasih sudah setia menunggu up 😇😇😇😇
IG : @aretha_artha

Komentar Buku (97)

  • avatar
    SantiSantikha

    👍⭐👍⭐👍⭐⭐⭐⭐

    03/01

      0
  • avatar
    Maylani Kayla

    bgus

    04/12

      0
  • avatar
    ZahraAmelia

    ok bagus

    29/10

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru