logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Posesif Bos

Posesif Bos

Aretha Artha


1. CHAPTER 01

Brak!
Seorang pria menghentakkan dengan keras berkas-berkas yang baru saja ia baca. Deretan angka kerugian perusahannya mencapai hampir 2 triliun.
Memang tak seberapa untuk dia, tetapi pria itu sama sekali tidak menerima penghianatan dalam bentuk apa pun.
Tak ada yang berani mendekati ruangannya. Bahkan sekretarisnya pun terdiam ketakutan di luar.
"Hey!" panggil seseorang dengan keras kepada gadis mungil yang sedang membawa nampan.
"Iya, Bu." Dia mendekat dengan sopan.
"Kamu antarkan minuman di ruangan Pak Levin," ujar Yuuna sekretaris Levin.
"Ta--tapi, sa--saya--"
"Tidak ada tapi-tapian!" potong Yuuna cepat. Ia harus melarikan diri sebelum mendapat amukan gratis dari Bos tampannya.
Dengan polos gadis itu mengangguk. Ia turun ke bawah dan mengambil segela coffe untuk di antarkan kepada orang yang bernama Pak Levin itu.
Kim Hanami seorang gadis polos yang banting tulang untuk dirinya sendiri. Hidup sebatang kara membuat Nami harus berjuang mencari seseuap nasi.
Nami tak pernah mengenal kata lelah. Meski ia harus menerima cibiran dan tatapan remeh karyawan maupun office lainnya.
Tok-tok!
Nami mengetuk pintu.
"Masuk!" Nada tak bersahabat itu menyambut ketukannya.
Nami masuk ke dalam. Dia menatap polos ruang kerja Bosnya dengan bingung. Kertas berantakan itu membuat ia bertanya-tanya. Apakah di ruangan Bosnya belum dibersihkan.
Dia tidak menyadari jika pria di hadapannya dalam mode singa. Terlalu lugu untuk tahu bahwa ia bisa saja diterkam kapan saja.
"Permisi, Pak. Ini minumnya," ujarnya sopan. Ia meletakkan dengan hati-hati.
"Siapa namamu?" tanya Levin sambil memandang OG yang terlalu kecil untuknya.
"Kim Hanami." Ia tersenyum sembari menyebut namanya. Senyum yang tanpa sadar membuat lelaki itu mendekat ke arahnya.
Nami tidak menyangka Bosnya itu sudah berada di hadapannya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Tatapan tajamnya menembus netra coklat milik Nami.
"Mulai sekarang kamu menjadi OG pribadi saya." Nami membulatkan mulutnya. Matanya beberapa kali mengerjab polos.
"Tetapi sa--saya OG di bawah, Pak." Nami menolak dengan halus.
"Saya tidak menerima penolakan atau kamu saya pecat." Nami pasrah. Bosnya ini ternyata pemaksa sekali.
Nami izin setelahnya. Ia mencerna ucapan Bosnya.
"Ada apa dengan Pak Levin? Apa dia terlalu stress karena pekerjaan." Nami menguman.
Ia masih tidak menyadari jika Levin adalah CEOnya. Ia hanya tahu Levin adalah satu petinggi di perusahan tempat ia bekerja.
"Eh, sini lo!" Seorang gadis menarik kasar tangan Nami. Ringisan Nami tidak membuat ia iba.
"Iya, Kak," ujarnya.
"Lo pel ruangan meeting di lantai 2." Nami memgangguk dan segera pergi.
Nami membuka ruangan itu. Dia menatap jam di dinding ruangan itu.
"Udah hampir jam istirahat," gumamnya. Ia segera melakukan pekerjaannya.  Walau ia tetap tidak bisa menyelesaikannya dengan cepat karena ruangan meeting itu luas.
Samar-samar derap langkah mulai terdengar. Pintu terbuka bersamaan dengan selesainya pekerjaan Nami.
Ia menunduk sopan dan segera pergi. Tepat saat ia menutup pintu ruanga, seorang pria berdiri tak jauh darinya.
Nami menunduk dan ingin berlalu. Namun, suara tegas dari pria itu menghentikan langkahnya.
"Kamu tunggu saya di ruangan saya." Nami menghela napas sejenak.
"Baik, Pak." Apa yang bisa ia lakukan? Hanya mampu pasrah.
Nami berjalan mengembalikan alat pelnya. Segera ia ke ruangan Levin. Yuuna tidak bertanya karena sudah diberitahukan oleh Levin.
Wanita itu malah mengira keadatangan Nami untuk membersihkan ruangan Levin.
Saat berada di ruangan Levin, ruangan pria itu masih berantakan. Nami mengira dirinya dipanggil untuk membereskan ruangan Levin.
Ia segera membereskan ruangan Levin. Kelelahan karena bekerja tanpa henti dengan perut yang terus mendesak membuat ia jatuh tertidur di sofa hitam Levin.
Tidurnya begitu pulas. Hingga Levin datang ke ruangannya. Ruangan yang mirip kapal pecah tadi kini terlihat rapi.
Tatapannya jatuh pada sosok gadis yang ia cari. Kakinya mendekat dan dia menatap wajah tenang Nami.
"Cantik," gumamnya.
Nami menggeliat pelan. Namun, ia tidak terbangun. Levin merasakan hal lain dalam dirinya. Perasaan asing yang tak pernah ia percayai.
Ia tidak tahu menghadapai wanita. Mungkin karena selama ini ia terlalu dingin dan cuek pada wanita-wanita.
Namun, kepada Nami. Ia berbeda. Ia ingin gadis itu selalu ada di dekatnya. Ingin selalu mengawasi dan memantau setiap gerak-gerik Nami.
***
Langit mulai tampak kemerah-merahan. Seorang gadis menggeliat pelan. Kelopak matanya terbuka.
Dia memerhatikan saksama ruangan yang ia tempati. Terkejut saat menyadari ia berada di ruangan Pak Levin.
Bahkan ia tak sempat mengumpulkan nyawanya saking panik. Tubuhnya hampir oleh jika saja Levin tidak menahan tubuhnya.
"Akh!" Dia menarik dirinya cepat dan menunduk.
"Maaf, Pak," ujarnya meringis.
"Hm." Levin berdehem. Ia merasa lucu dengan sikap Nami, tetapi ia tidak mau menampilkan di hadapan Nami.
"Duduk," ujarnya tegas. Nami kembali duduk. Ia menatap Levin dengan mata sayunya sehabis tidur.
"Ah, tidak ada seorang wanita berani menatapku setenang itu," batin Levin.
Tentang kehidupan Nami sudah Levin cari. Hanya dengan jentikan jari ia bisa mendapat apa yang ia inginkan.
"Saya ingin kamu menandatangi kontrak kerja saya," ujar Levin.
"Ko--kontrak kerja?" Nami sangat kebingunan. Dia sebelumnya hanya dihadapkan dengan gula dan berbagai varian minuman.
Lalu, tiba-tiba pria yang baru saja ia kenal itu memintanya menandatangi kontrak. Yang benar saja!
"Baca dan tanda tangani." Levin meletakkan kertas putih yang penuh perjanjian itu di atas meja. Dia sengaja meletakkannya sedikit kasar.
Nami sedikit tersentak kaget. Ia mengulurkan tangan mengambil dan membaca poin-poin yang tertera di sana.
Syarat itu semua menguntukan pihak pertama. Pria itu sungguh egois. Ini bahkan bukan disebut surat kontrak perjanjian. Hanya menguntunkan pihak pertama saja.
Nami menelan ludahnya dan menatap Levin. Ia menolak untuk menandatangi.
"Maaf, Pak. Saya memilih jadi OG di bawah saja," ujarnya.
"Saya tidak menerima penolakan," ujar Levin menekan katanya.
Perjanjian itu berisi di mana Nami harus selalu datang setiap Levin memanggilnya. Nami juga hanya melayani Levin dan tidak mengerjakan hal lainnya kecuali perintah Levin.
Nami juga harus ikut Levin jika ada tugas keluar negeri mau pun keluar kota. Harus datang ke apartemen Levin untuk membuatkan pria itu makan malam. Membereskan Apartemen Levin setiap hari.
Sebenarnya dia OG atau pembantunya Levin? Tentu gadis bermata coklat itu menolak.
"Lalu, bagaimana bisa saya melakukan pekerjaan itu? Bukankah Pak Levin punya Sekretaris, Pembantu dan Asisten?" tanya polos.
Levin tidak menduga pertanyaan itu meluncur dari bibir merah delima Nami. Pria penuh dengan ego dan gensi itu menjawab dengan ketus.
"Saya tidak meminta kamu bertanya. Tanda tangani saja atau kamu saya pecat!" ujar Levin.
Selalu saja mengancam.
Nami mengambil polpen dan menandatanginya. Setidaknya gaji yang ia dapat bertambah.
Setelah menandatangi, Levin mengambilnya cepat. Itu satu-satunya senjata yang bisa mengatur hidup Nami.
Gadis polos itu tidak tahu kini ia masuk dalam perangkat Levin. Nami pun tidak bisa memutuskan kontrak begitu saja kecuali Levin sendiri.
"Ini kartu Apartemen saya dan alamatnya. Datang malam ini dan buatkan makanan," ujar Levin sambil berdiri.
Nami mengangguk dan berjalan keluar. Suasana kantor mulai sepi. Ia ke Parkiran tempat sepedanya berada.
Nami mengambil sepedanya dan mulai melajukannya. Di lantai 10 seorang pria menatapnya dari jendela.
"Hanami," gumamnya.
***
Setelah mandi, Nami segera memakai bajunya. Ia akan ke Apartemen Levin.
Dia tergesa-gesa keluar karena masih mengingat. Pria itu tidak mau Nami telat sedetik pun atau ia akan mendapat hukuman darinya.
Ia mengunci pintunya dan mengambil sepedanya. Nami melajukannya dengan cepat. Hingga malam menemani ayunan kakinya yang meroda.
Tibalah dia di Apartemen yang.
menjulang tinggi. Nami berjalan ke sana dan menyapa satpam.
Segera ia memarkir sepedanya dan menuju ke kamar Levin. Tentu ia diantar oleh karyawan Levin.
"Terima kasih," ujar Nami.
Dia mengambil kartu Apartemen Levin. Dengan ragu ia menggeseknya dan terbuka.
Ia melangkah masuk dan tercengang melihat ruangan apartemen Levin. Megah, dan begitu mewah.
"Ini seperti Istana," gumamnya. Ia menyimpan tasnya di atas meja. Sepertinya Levin belum pulang.
Sejujurnya Nami kebingungan karena ruangan Levin luas sekali. Sampai ia menemukan dapur.
Untung saja, dapur pria itu terisi lengkap. Ia akan memasak untuk Levin. Makanan sederhana yang sering ia masak.
Nami tersenyum puas menatap hasil masakannya di atas meja. Ia berdecak puas. Di sisi lain seorang pria berdiri tak jauh darinya menatap Nami yang sejak tadi memasak.
"Ekhm," dehemnya.
"Pak Levin," ujar Nami. Ia tersenyum lebar. Levin mengontrol dirinya.
"Saya akan mandi dulu," ujar Levin. Ia meninggalkan Nami.
"Wajahnya selalu datar," ujar Nami. Ia tersenyum kecil. Tak pernah ada orang yang mau beramah-tamah kepadanya yang miskin.
Andaikan Nami tahu, Levin hanya berusaha keras menipis perasaan aneh dalam dirinya.
***
TBC
Jejaknya, Say 😌
Jangan lupa follow, ya.
IG : @aretha_artha

Komentar Buku (97)

  • avatar
    SantiSantikha

    👍⭐👍⭐👍⭐⭐⭐⭐

    03/01

      0
  • avatar
    Maylani Kayla

    bgus

    04/12

      0
  • avatar
    ZahraAmelia

    ok bagus

    29/10

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru