logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

7. Retak

"Kini aku patah, sayapku tak bisa lagi terbang kesembarang arah. Aku terdiam disudut hampa, antara bertahan atau gugur dalam perjuangan."
—Raina—
.
.
.
.
.
.
Happy Reading!
Jantung Raina tiba-tiba berdegup kencang ketika ia tidak sengaja mendengar pembicaraan papanya ditelpon barusan. Tiba-tiba rasa sesak itu datang seperti angin yang berhembus kencang, hal tersebut menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat.
Aku tidak tahu sekarang apa yang sedang menyakitiku. Bertahun-tahun luka masa kecilku berusaha ku obati, tapi kini orang terdekatku berusaha membuka luka lama itu kembali. Tak dapat ku pungkiri lagi, tanganku gemetar, Hingga menjatuhkan Handphone yang ku genggam saat itu.
"Papa ..."
"Raina ..." Ujar Papa, sambil menatap ku dengan wajah penuh ke terkejutannya.
"Yang Raina dengar tadi ngak benarkan? Papa ngak bakalan mungkin ngelakuin itukan?" Tanyaku dengan suara gemetar, karena menahan tangis.
"Rain ..." ujar Papa lagi dengan wajah bimbangnya hingga tak mampu untuk berkata-kata.
Oh, Damn ... Its hurts.
"Baru beberapa tahun aku merasakan ketenangan Pa, tapi sekarang Papa malah mengundang masalah lagi." Ujar Raina dengan nafas yang memburu, "Oke, kalau itu memang keputusan Papa, Aku terima. Tapi jangan harap aku mau menginjakkan kaki disini lagi Pa!"
"Maksud kamu apa Raina? Dia ibu sambung kamu, dia berhak tinggal disini bersama kita." Ujar Papa sedikit tidak terima dengan perkataanku.
Aku mendengus kasar, "dia ngak berhak tinggal disini pa! Dia bukan ibuku. Aku ngak mau tinggal bersama wanita jahat seperti dia!" Jelasku lagi dengan air mata yang sudah menetes di pipi.
"Wanita jahat katamu? Dia ibu kamu. Dia yang merawat kamu setelah perceraian Papa dan Mama, ingat itu." Terang Papa yang kini sudah sangat marah.
"Merawat Papa bilang? Hahah, dia membunuh Pa. Membunuh mental Raina, merebut semua kebahagiaan dan Papa tahu, yang disisakan wanita itu cuma raga Raina pa! Jiwa Raina sudah mati bertahun-tahun lalu Pa."
"Plak,"
"Kamu ngak pantes bilang kayak gitu, dia ibu kamu dan selamanya akan begitu. Hari Senin ibumu akan ikut kita tinggal disini!" Putus Papa telak.
Aku yang mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepalaku pelan, lalu membalikkan badanku. Aku berlari menaiki tangga sambil memukul dada ku berulang kali, menahan rasa sakit yang datang secara bertubi-tubi.
"Aku cuma ingin merasakan bahagia, tapi kenapa rasanya tak bisa?" Teriakku dalam hati.
Ketika sampai di kamar, kutatap nanar foto keluarga lengkap ku dulu saat sebelum terjadi perceraian yang tergantung di dinding kamar. Aku tersenyum miris.
"Semuanya, hancur ..." Teriak ku sambil berjalan cepat untuk melemparkan foto itu kelantai.
"Prang ..."
"Akhh ..." Teriakku frustasi.
Wow
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi tentang orang-orang yang berada di rumah ini, bagaimana mereka bisa menggunakan topeng dengan baik seperti itu hingga bisa menyakiti ku berulang kali. Keluarga yang seharusnya menjadi suporter pertama di kala aku sedang berjuang, kini malah membuat kepercayaan diriku kepada orang-orang sekitar semakin berkurang.
Aku menjambak kepalaku kasar, baru kemarin aku merasakan kebahagiaan tapi malam ini semuanya direnggut paksa kembali. Aku menangis sambil menjambak rambutku berulang kali.
Aku menutup kedua telingaku sambil terduduk dilantai kamarku, rasa sesak di hatiku semakin menjadi-jadi saat mendengar bisikan lembut di telingaku.
"Gue udah bilang berulang kali, Lo itu lemah!"
"Bodoh!"
"Pecundang!"
"Tanpa gue, Lo udah mati bertahun-tahun lalu!"
"Ngak, gue ngak lemah!" Teriakku sambil melempar vas bunga kearah kaca meja riasku. Sehingga membuat pecahan kaca itu berserakan dilantai. Kakiku melangkah mencari-cari sumber suara itu ke penjuru kamar, hingga membuat kakiku menginjak bekas pecahan kaca.
"Seberapa kuat pun lo berusaha tegak, Lo akan tetap terlihat lemah di hadapan dia. Lo butuh gue, buat akhiri semuanya!"
"Ngak, gue ngak butuh Lo! Pergi dari sini, pergii!" Usirku sambil berteriak nyaring. Tanganku yang kini sudah menggenggam pecahan kaca kini sudah mengeluarkan darah dengan begitu derasnya.
"Hahah .... bodoh, pecundang!"
Bisikan itu terus menghantui diriku, dengan sekuat tenaga tangan Raina yang penuh dengan darah itu membuka laci meja rias. Ia mencari-cari beberapa obat yang disimpannya di sana.
Dengan tangan gemetar ia meneguk sekaligus beberapa pil tanpa bantuan air minum sekalipun setelah itu dia menyuntikkan obat bius ketanganya agar dia bisa hilang kesadaran dengan cepat. Raina sadar, obat yang dia konsumsi barusan akan berkerja sangat lama karena itu dia menambahkan suntikan juga agar dia bisa cepat hilang kesadaran.
Tak lama dari itu kepalanya pusing, penglihatannya pun ikut mengabur. Tangannya melepaskan botol obat yang dia genggam lalu berbaring dilantai kamar yang berserakan oleh pecahan kaca.
*******
Saat mata ini terbuka kembali, ku temui hari sudah berganti pagi. Perasaanku pun tak membaik lagi, tatapanku pun menjadi kosong tanpa arti.
Air mata sesungguhnya di ciptakan untuk menjaga kelembapan mata, Melindungi dari infeksi bakteri, serta membersikan mata dari debuh dan kotoran lainnya. Tapi air mata juga bisa menjadi ekspresi dari rasa bahagia dan sesak yang tiba-tiba datang menerpa.
Dan kini entah sudah berapa kali lagi aku menangis sendiri, mencoba menghapus semua kenangan buruk itu berulang kali. Tapi nyatanya tak bisa, kenangan itu terus hadir hingga membuat kepala ku pusing kembali.
Aku terdiam di atas lantai yang penuh dengan pecahan kaca, menatap nanar bingkai foto yang sudah hancur berantakan.
Papa, laki-laki pertama yang membuat aku jatuh cinta. Dan Papa pulah yang menghancurkan semuanya. Papa tahu, aku benci dengan cara Papa yang seperti ini!
Dengan wajah pucat pasi, aku mencoba berjalan dengan tertatih. Mengambil buku diary di atas meja lalu duduk di depan kaca yang kini sudah hancur berantakan.
Pada bait-bait kenangan yang dulu menyenangkan
Pada kupu-kupu kecil yang dulu polos tanpa beban
Namun kini harus di terpa ombak kencang yang menyakitkan
Meluluh lantakkan semua harapan ...
Keluarga yang dulu tampak menyenangkan,
Ternyata hanya ilusi yang menyengsarakan.
Meredupkan, semua warna yang tampak indah menyegarkan.
Kalian dan semua memori yang mematikan
Menyudutkan, seperti besi dan tombak yang menancap absonan ...
Kini, untuk sedihku yang tak kunjung sudah.
Untuk perih yang tak kunjung pulih,
Untuk keluarga yang ternyata tak ramah
Lekaslah terlelap, karena rumah sudah sukses hancur dalam gelap.
Tolong dengarkan sekali ini saja, aku yang katanya tegar memberhentikan langkah sebentar. Aku butuh istirahat, menenangkan pikiran yang sedang hancur berantakan. Aku juga perlu menangis dengan berbagai keluhanku.
Hari ini, semangatku sedang patah. Semesta sedang tidak ramah, hingga membuat awan gelap mengelatung dengan manja. Senjapun tak mememberikan warna jingga yang mempesona, maka izinkan air mata ini luruh, berpadu dengan pilu yang seperti sembilu.
"Tok ... Tok ..."
"Non bangun sudah siang!" Ujar Bik Inah sambil memutar knope pintu kamarku.
"Astagfirullah aladzim non," teriak bik Inah lagi dengan paniknya saat melihat betapa kacaunya kamarku saat ini.
Pandanganku kualihkan menuju Bik Inah yang kini sedang mencari kotak P3K di laci kamarku. "Bik, aku ngak apa-apa. Bibik ngak usah panik gitu." Ujarku dengan suara lemah dan sedikit serak. Aku juga memaksakan diri untuk tersenyum kecil kepadanya.
"Ngak apa-apa gimana non, liat tangan dan kaki non luka semua. Kalau ngak cepat diobatin nanti infeksi." Kata bik Inah sambil menahan tangis, entah sudah beberapa kali anak majikannya ini sering melukai dirinya sendiri seperti ini. Setiap pagi saat dirinya membangunkan majikannya, ia harus menyiapkan mental lebih, seperti pagi ini.
Ia harus melihat Raina dengan pecahan kaca disekelilingnya, ditambah dengan luka ditangan dan kakinya yang kini sudah mengering akibat tidak cepat diobati.
"Bik ..." Ujar Raina lagi dengan suara sendunya, "aku ngak apa-apa," jelas Raina kembali, sambil menepuk tempat duduk disebelahnya.
Mengerti dengan isyarat yang ditunjukan Raina, bik Inah langsung berjalan ke sana. Tak lupa juga ia menenteng kotak P3K ditangannya.
"Non ngak boleh gini lagi ya, ngak baik nyakitin diri kayak gini. Kalau non marah atau kesal jangan lampiasinya ke diri non, lebih baik ke hal lainnya aja." Ujar Bik Inah sambil menarik tangan kanan Raina lalu membersihkan lukanya dengan telaten.
"Dari pada aku menyakiti orang lain atau bahkan ngebunuh orang lain, lebih baik diri aku aja bik yang aku sakiti." Ungkap Raina sambil menyandarkan kepalanya di bahu bik Inah.
"Non ngak takut nanti non khilaf ngebunuh diri non sendiri?"
"Aku udah mati bik, dari dulu. Dulu sekali, sampai yang tersisa sekarang cuma raganya saja."
Tubuh bik Inah mematung, ia berhenti mengobati tangan Raina. Lalu menatap lurus Raina yang kini sudah mengangkat kepala dari bahunya. Dan sekarang tangis yang ditahan bik Inah dari tadi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh kurus Raina dengan erat, begitupun dengan Raina ia membalas pelukan bik Inah tak kala erat.
"Aku lelah bik ... Aku lelah sampai dititik aku ingin mengakhiri semuanya!"
"Non ngak boleh gitu, hiks. Ada banyak orang-orang yang peduli sama non."
"Mereka ngak peduli bik, mereka hanya kasihan. Bibik tahukan aku paling benci dikasihani."
Bik Inah kini sudah tak mampu lagi berkata-kata, gadis kecil yang berusaha kuat melawan semuanya. Ia hanya mempererat pelukannya. Menyalurkan kekuatan kepada gadis kecil dipelukannya saat ini.
*************
Happy Reading!
Jangan lupa tinggalkan jejak Vote dan Komennya!
.
.
.
.

Komentar Buku (454)

  • avatar
    MonicSulaiman

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    Posco

    lumayan buat aku sihh

    24d

      0
  • avatar
    SafitriSafitri

    Bagus

    14/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru