logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 - Tragedi Sebelum Subuh

Bintang berada di ruangan yang benar-benar gelap, hanya ada satu titik cahaya yang berada cukup jauh. Bintang, dengan langkah yang sedikit berat, mencoba menuju ke titik cahaya itu.
"Ini gelap banget, sih? Gak ada lampu apa?" celoteh Bintang sambil berjalan dengan cara meraba, takut kalau menendang atau menginjak sesuatu.
Laki-laki itu terus berjalan perlahan sambil berpikir kenapa bisa dia berada di sini? Semakin berjalan, sinar itu semakin sulit untuk di raih.
"Benar-benar gak ada orang ya di sini? Mas Arvin? Mbak Kirana?" ucap Bintang sambil terus melangkah.
Samar-samar dia mendengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinga dia. Suara Deffi, dia sedang menyanyi lagu kesukaannya dari penyanyi Anji yang judulnya Dia.
"Def, itu beneran kamu?" tanya Bintang sambil memastikan.
Kemudian cahaya itu dengan sangat cepat mendekat ke arah Bintang, hingga tiba-tiba laki-laki itu terserang silau yang teramat sangat.
Blar! Tidak ada ruangan gelap di pengelihatan Bintang, berubah menjadi hamparan taman bunga yang sangat luas.
Suara Deffi semakin keras terdengar di telinga Bintang, tetapi laki-laki itu tidak menemukan sosok dari kekasihnya tersebut.
"Def, kamu di mana, Sayang? Ini, Mas di sini," ucap Bintang seraya mengedarkan pandangan ke semua sisi.
Namun, tidak ada balasan dari kekasihnya itu. Tiba-tiba di telinga kiri Bintang terdengar sebuah isakan tangis dari orang lain---Bintang langsung menatap ke arah kiri.
Dia menemukan Tisya yang sedang terduduk lesu, sambil memainkan bunga-bunga yang ada di dekat dia.
"Tisya, kok ada Tisya juga? Def, Deffi, kamu di mana Sayang?"
Nanyian itu masih terus mengalun dengan merdu, sejurus kemudian, ada perempuan lain yang berjalan di belakang Tisya.
Ya, itu Deffi, dia mengenakan pakaian serba putih, lengkap dengan kerudungnya. Perempuan itu masih bersenandung dan terus berjalan perlahan ke arah Bintang.
Bintang tidak kuasa menahan derai air mata, karena dia sangat rindu dengan kekasihya ini, laki-laki itu hanya bisa tersenyum serta mengulurkan tangan supaya Deffi semakin mendekat.
"Def, kamu cantik sekali. Mas rindu," ucap Bintang ketika Deffi sudah sampai di depannya.
Bintang bisa melihat, kalau Deffi berjongkok dan mengelus punggung Tisya---yang Bintang tidak inginkan kehadirannya dan bahkan tidak dia gubris sama sekali.
"Sya, bangun," ucap Deffi sambil mengajak Tisya bangkit.
Burung-burung bertebaran seraya berkicau dengan merdu di dekat mereka, begitu jua dengan kupu-kupu yang menari-nari dengan cantik di udara.
"Mas, kamu apa kabar?" tanya Deffi sambil tersenyum ke Bintang.
Bintang ingin sekali memegang tangan dari kekasihnya yang lembut ini, namun sangat disayangkan Deffi malah menghindar dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Aku rindu, masa aku gak boleh pegang kamu sih, Sayang?" tanya Bintang dengan raut yang sedikit kecewa.
"Kamu bahagia dengan pernikahan kamu?" tanya Deffi lagi sambil memeluk Tisya yang masih berlinang air mata.
Bintang spontan menggeleng, "tidak, aku tidak bahagia dengan Tisya."
"Lebih tepatnya belum, Mas."
Mereka berdua diam sesaat, walau mata mereka saling pandang dan terpaku. Sedangkan Tisya masih menunduk---dalam rengkuhan Deffi.
Bintang tidak bisa berkata-kata lagi, laki-laki itu hanya melihat ke arah Deffi yang mengelus terus pundak Tisya. Tetapi percuma, isakan dia masih terus berbunyi.
"Kamu sudah pergi, Def, kebahagiaan Mas sudah ikut pergi bersama kamu. Karena, memang kebahagiaan Mas ya cuma kamu," jelas Bintang seraya menatap nanar ke arah Deffi.
Deffi lagi-lagi menggeleng, "bukan, bukan kebahagiaan kamu yang ikut pergi sama aku. Tetapi kamu belum sepenuhnya ikhlas aku pergi."
Bintang tersenyum tipis, laki-laki tersebut lantas menganggukan kepala dengan pasti. Dia melihat ke arah Tisya, entah berapa liter air mata yang sudah keluar.
"Kamu pergi secara tiba-tiba, Def. Mas belum siap, belum siap kehilangan kamu. Setelah, setelah apa yang kita lalui sungguh penuh cerita," ujar Bintang dengan suara yang sedikit terbata-bata.
"Terimalah takdir ini, kita sudah beda alam, cerita kita sudah selesai. Dan, cerita kamu yang baru bersama Tisya, saudaraku sendiri," ujar Deffi.
Kali ini, Bintang yang menunduk. Sebutir demi sebutir air matanya menetes. Kemudian, dia mendongak, melihat Deffi sudah tidak ada, tinggal hanya dirinya dan Tisya yang tersenyum di depan Bintang.
Lagi-lagi, Bintang tidak menghiraukan Tisya. Laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Deffi.
"Kamu di mana, Dek? Mas, Mas belum selesai bicara," ujar Bintang dengan sedikit berteriak.
"Deffi," ucap Bintang dengan teriakan yang lebih tinggi lagi.
Sesekali dia melirik ke arah Tisya, tangis perempuan itu semakin menjadi. Karena kehadirannya semakin tidak dihiraukan oleh Bintang.
Bintang terus berteriak dengan sangat kencang, namun tiba-tiba kedua matanya terbuka sangat lebar, laki-laki itu langsung terduduk lesu. Ternyata hanya sebuah mimpi.
Bintang melirik ke sebuah selimut yang sudah terjatuh ke lantai, selimut dari siapa? Ya, dia memang tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala, namun, lampu lain yang masih gelap.
Hanya tersisa lampu dapur yang masih menyala, dan Bintang mendengar ada orang yang sibuk memotong di sana.
"Tisya," gumam Bintang lirih sambil berjalan ke arah dapur.
Benar, dia melihat Tisya yang sudah mulai menyiapkan bumbu untuk masakan dia nanti pagi---setelah semalam sudah ketiduran, akibat menangis yang membuatnya lelah.
Bintang melirik jam dinding yang berada di dapur, baru pukul tiga lewat setengah jam. Bintang mengambil gelas, terus mengisinya dengan air putih.
"Ka-kamu kok sudah mulai masak Sya? Ini sudah setengah empat pagi," ujar Bintang dengan nada sedikit terbata-bata.
TIsya masih belum menjawab langsung pertanyaan Bintang, perempuan itu masih sakit hati setelah dia mendengar teriakan Bintang memanggil nama Deffi, saat dia mengigau.
Mungkin Bintang tidak merasakan kalau dia mengigau dan berteriak dengan sangat keras. Entah kenapa dada Tisya semakin sakit, seiring berjalannya waktu.
"Tisya," ujar Bintang lirih.
"Kenapa? Kamu gak suka kalau aku bangun pagi? Apa Mbak Deffi dulu bangunnya siang saat kalian masih pacaran?" tatapan sinis keluar dari kedua mata Tisya.
"Kenapa jadi bahas Deffi sih?"
"Ya, aku bahas Mbak Deffi, karena apa? Karena itu perempuan yang menjadi patokan standardisasi untuk perempuan lain di matamu," ujar Tisya sambil meneruskan pekerjaanya.
Bintang tertegun, mendengar ucapan dari Tisya yang benar-benar dari hati. Kemudian dia menghubungkan dengan mimpi yang semalam.
Saat perempuan itu hanya menangis di dalam mimpi, berbeda dengan kehidupan aslinya sekarang.
"Aku di sini, seperti seorang istri yang tidak dianggap oleh suaminya sendiri. Sedangkan suaminya malah sibuk memikirkan jasad yang sudah tidak ada.
Bukankah jasad orang yang sudah tenang di dalam liang lahat harus segera direlakan dan didoakan? Bukan malah dicurhati tentang keriwehan yang ada di dunia," jelas Tisya dengan air mata yang semakin deras.
Bintang tidak langsung menjawab, tetapi dia membenarkan omongan dari Tisya baru saja. Walau memang sangat sulit bagi Bintang untuk melakukannya.
Bintang kemudian mencoba meraih tangan Tisya untuk pertama kalinya, tetapi langsung ditepis oleh Tisya yang dadanya benar-benar panas.
"Apa perlu aku seperti Mbak Deffi? Supaya kamu bisa menganggapku ada, walau memang ragaku saja tidak kamu lihat," ujar Tisya sambil mendongak ke Bintang yang masih memegang gelas.
"Bu-bukan gitu, Sya. Aku masih perlu penyesuaian," sanggah Bintang.
"Penyesuaian katamu? Aku terluka, Mas. Aku perempuan yang juga memiliki perasaan dan sakit hati jika tidak dihiraukan.
Papa, Mama, Mas Arvin, Mbak Anggun, Mbak Kirana dan Mas Agam memang semua baik ke aku, tapi aku tidak butuh itu. Kalau tidak ada rasa yang sama dari dalam hatimu," ujar Tisya seraya bangkit dan mendorong dada Bintang dengan menggunakan satu jari.

Komentar Buku (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru