logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 8 Membuka Masa Lalu

"Memangnya janji apa?" tanyaku.
Nadea menatapku lekat, seolah mencari kepastian apa yang kutanyakan barusan itu serius atau sebatas rasa ingin tahu. Sambil mengulas senyum, aku mengangguk, hingga gadis cantik yang tengah diliputi kesedihan itu bicara.
"Kak Icha, kalau nanti aku sakit parah dan pergi dari kehidupan Bang Aldin, Kakak bisa kan jadi pengganti aku?"
Aku tersentak, diam kehilangan kata-kata begitu Nadea selesai mengutarakan apa yang diinginkan sejak tadi. Bukan saja tentang bisa melaksanakan janji atau tidak, masalahnya Kak Aldin terlanjur menganggapku adik. Jatuh cinta saja salah, apalagi sampai berharap menggantikan posisi Dea untuk menikah dengannya.
Tidak, aku harus tahu diri dan lebih sering melihat cermin. Hidupku jelas jauh berbeda dari Kak Aldin.
"Kak," Nadea membuyarkan lamunanku. "Gimana, mau kan janji demi aku?"
"Aku ... aku nggak bisa, De." Terbata kuselesaikan jawaban itu dengan lirih.
Seketika wajah cantik yang tadinya penuh harap itu, berubah kecewa. Namun, bukan Nadea kalau tidak bisa mengulas senyum untuk mencari jawaban dengan kepala dingin.
Barangkali, sakit yang dia rasakan sejak masih anak-anak itulah penyebab kesabaran tumbuh sampai berakar. Diam-diam aku salut dan mengagumi kepribadian pacar Kak Aldin ini.
"Kenapa? Padahal aku yakin loh sama Kakak!"
"Aku harus menyelesaikan misi hidup," jawabku sebelum senyum getir.
Beberapa saat Nadea ganti membisu, hanya meneguk minuman di hadapannya. Dan hal itu cukup membuatku mengerti kalau diaa butuh penjelasan, tapi kurang elegan mau kepo.
"Kamu tahu, De." Aku mulai bercerita dengan penuh emosi mengingat kejadian dua tahun silam. "Aku pergi dari kampung halaman dan merantau ke kota ini, sebenarnya terpaksa.
Waktu itu, aku yang hanya lulusan SMA dan tinggal di daerah pinggiran dekat perkebunan, tidak memiliki keahlian apa-apa. Ekonomi keluarga yang sudah tersendat, semakin sulit sejak masuknya orang-orang kota berpendidikan lebih tinggi. Mereka mengelola perkebunan dengan skill lebih memadai, pelan-pelan menggeser pekerja lokal sampai tersisa segelintir pegawai kantor saja."
Aku menghela napas dalam-dalam, supaya bisa melanjutkan cerita tanpa menjatuhkan air mata. Meski membuka ingatan saat itu benar-benar sakit.
"Ayah dan Mama selalu bertengkar karena uang, ditambah gunjingan tetangga yang membenarkan aku hanya menjadi beban di rumah. Hal itu yang membuat jiwaku tertekan dan memaksa restu mereka untuk bekerja apa saja di Jakarta."
Nadea mulai tertarik, dengan antusias ia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan.
"Terus, kok bisa jadi penyanyi?"
"Setelah ikut salah satu teman bekerja sales kecantikan, aku mengundurkan diri karena fitnah. Entah dia bilang apa sama bos dan karyawan lain, tahu-tahu mereka sinis setiap berpapasan denganku. Seperti punya dendam.
Pada saat terpuruk itulah, aku mengenal salah satu personil band. Belajar musik sampai bisa, membuat lagu, dan menyebarkan ke YouTube seperti yang kamu lihat." Kuakhiri cerita tahap awal dengan senyuman tipis, lalu mencomot kentang goreng di hadapanku.
"Terus orang tua Kakak seneng dong lihat karir Kakak yang sekarang?"
"Enggak."
Nadea tertegun mendengar jawabanku. "Loh kok?"
"Uang yang aku kirim tu selalu dikembalikan, katanya mereka nggak mau makan hasil jerih payah anak gadis yang bekerja di club."
"Jadi, berembus tuduhan lagi kalau Kakak bekerja sebagai wanita malam?"
Aku mengangguk. Tidak masalah ditanya banyak hal, asal nggak disuruh gantiin peran jadi pacar Kak Aldin aja deh.
"Mungkin aja gitu!"
"Kenapa nggak pulang untuk membersihkan nama, Kak Icha?"
"Belum ada waktu luang, De. Lagi pula mana ada orang rumah yang percaya, aku pergi tu maksa banget supaya bisa mandiri."
Setelah itu kami bicara banyak hal sambil menikmati makan, lebih banyak bercanda hal-hal receh sih. Sesekali Nadea menyinggung tawaran tadi. Mampus, kenapa nggak bisa disetir belok kanan terus balik arah sampai lupa sih ingatan dia!
Akan tetapi, tentu saja aku menolak lagi. Kak Aldin juga pasti mikir berkali-kali untuk jatuh cinta sama adiknya sendiri.
"Kak, aku antar pulang, ya!" tawar Nadea sesampainya di depan kafe selesai kami makan.
"Nggak usah, De. Aku--"
"Kakak tu kapan sih bilang iya sama tawaran aku? Nolak terus, nyebelin banget tahu nggak!" sergahnya kesal.
Aku terbahak melihat Nadea memasang ekspresi gusar. Matanya yang lumayan sipit itu semakin lucu kalau suasana hatinya kacau.
"Habisnya kamu terlalu baik. Baru kenal aja nraktir makan di kafe, mau bertukar cerita, bahkan ..."
"Bahkan apa?" ulang Nadea.
"Nawarin pacarnya!"
Sadar akan ledekan yang lebih menyebalkan, Nadea langsung menarik tanganku ke arah mobilnya, menyuruhku duduk di sebelah kiri kursi kemudi tanpa memerdulikan alasan kalau aku bisa naik taksi pulangnya.
Yaelah, padahal mau ke rumah Rena menanyakan undangan nyanyi di ulang tahun dia minggu depan.
"Ingat, ya, Kak. Kalau kamu ada kesulitan, jangan ada kata nggak enak buat hubungin aku!" ujar Dea setelah menyalakan mesin mobil.
Beberapa saat kemudian jari-jari lentiknya mengatur kemudi mobil, membelah keramaian malam kota Jakarta. Aku yang duduk di samping Nadea hanya bisa mengangguk menurut.
"Janji!" ulangnya.
"Iya, janji. Terima kasih sudah dengerin cerita aku. Terus aku juga minta maaf nggak bisa nerima tawaran awal tadi."
"Nggak apa-apa, kita teman!" ucapnya santai.
Seiring mobil yang melaju, pikiranku juga melayang sangat jauh ke masa lalu. Ayah, Mama, kalau aku pulang karena rindu kalian, apa masih dianggap anak? Sedangkan teman baik yang menghancurkan namaku masih bersenang-senang di antara pengelola perkebunan sok pintar itu.
Aku ingin balas dendam, membuktikan bisa sukses dan hidup mandiri tanpa campur tangan orang-orang dekat.
Tunggu saja rasa sakit itu mulai minggu depan, Vi!

Komentar Buku (665)

  • avatar
    ZᴇʀᴏKɪɴɢ

    nice app

    21h

      0
  • avatar
    RayraChrisyra

    lucuu bingitt

    2d

      0
  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    12d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru