logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 43 Sebuah Rencana

Pov Arif
Icha, penyanyi cantik yang kutemui di pesta Aris malam itu, benar-benar mencuri perhatian dan hatiku. Selama berkeliling dari satu kota ke kota lain sebagai suplayer online bisnis Papa, tidak pernah aku menemui perempuan tomboy sekaligus super jutek pada laki-laki.
Icha gadis berbeda, terlalu unik semua sisinya. Jadi, wajar kalau aku penasaran, kan?
Setiap pertanyaan yang enggan Icha tanggapi, membuat rasa penasaranku semakin tinggi. Meski aku harus menelan kekalahan sementara waktu.
Iya, hanya sementara. Di ibu kota dulu, Icha boleh saja mengabaikan siapa aku, merasa masih banyak teman karena ketenaran yang dimiliki. Namun, memutuskan resign dari dunia hiburan dan memilih tinggal di Bandung, adalah mutlak tanggungjawabku. Tempat tinggal, pekerjaan, bahkan jalan-jalan ... tidak pernah Icha lakukan selain rekomendasi pikiran ini.
Bisa dibilang Icha ketergantungan padaku.
Perlahan, perasaan kagum itu menjadi suka. Setelah tidak jadi artis, Icha ternyata ramah kepada siapa saja. Meski selalu menghindari pembicaraan soal cinta setiap bersamaku, tapi aku tahu dia tetap wanita biasa yang membutuhkan cinta. Mungkin butuh sedikit kesabaran, juga berjuang mendapatkan hati yang sebenarnya lembut.
Akan tetapi, aku dibuat sangat kecewa saat mengetahui Icha dekat dengan seorang laki-laki. Mereka sering telepon, chat, bahkan memosting keseruan yang sama pada akun sosial media masing-masing sambil dutag. Kalau ditanya tentang laki-laki beruntung bernama Arhan itu, pasti jawaban Icha mereka sekadar adik kakak.
Sial, aku jadi tersisih kalau begini. Awas kau, Han!
Ting!
Sebuah chat masuk membuyarkan lamunan, segera kuambil benda pipih itu dari atas meja untuk mengecek WhatsApp.
[Maaf, Rif. Aku tadi masih sibuk]
Tanpa membalas apa-apa, aku segera menekan tombol call untuk bicara langsung dengan orang itu. Sesuatunya terlalu ribet dibahas dengan tulisan. Lebih enak kalau ngobrol.
"Halo, Rif. Apa kabar?" Seseorang di sebrang sana lebih dulu menyapa.
"Baik, Na. Kamu serius udah selesai prakteknya?" tanyaku balik.
"Santai aja. Udah beres, kok. Soalnya tadi yang ke klinik dijadwal sedikit."
Aku hanya menjawab 'ooo' tanda mengerti.
Namanya Nania, seseorang yang sedang bicara di telepon denganku saat ini, adalah teman kuliah sekaligus mantan terindah. Meski dia seorang bidan, tapi tetap ramah dengan anak-anak akutansi. Terutama aku. Itu kenapa meski sudah tidak ada cinta, komunikasi kami sebagai teman tetap lancar. Nggak salah kalau mantan jadi teman, kan? Toh, dulunya putus baik-baik.
"Tumben kamu telpon, Rif. Ada apa?" desak Nania. "Biasanya juga chat doang."
"Aku ... kangen sama kamu, Na," jawabku lalu terbahak.
"Kangen? biasanya juga alasan sibuk mulu. Udah deh, Rif. Buruan ngomong ada apa?"
Astaga, sensi amat kayak takut CLBK. Eh, lagi pms kali ya Nania?
"Na, inget Arhan, nggak?" Aku langsung masuk topik pembicaraan. "Arhan mantan kamu itu sekarang pacaran loh sama Icha!" Aku melanjutkan bicara dengan intonasi seserius mungkin.
Tapi informasinya bohong!
"Apa?" Nania memekik, syok mungkin. "Kalau bercanda jangan soal Arhan, dong, Rif. Kamu tahu kan seberapa sakit hati dan cintanya aku sama Arhan, setelah kamu?"
Target masuk jebakan.
"Na, aku serius!" Menahan tawa demi misi, tetap berusaha kuyakinkan gadis itu. "Aku kasihan sama kamu sekaligus khawatir Icha cuma manfaatin dia aja. Makanya ini bilang!"
"Emangnya kamu lihat sendiri apa?"
Yaelah, nggak percaya!
"Nania, Nania. Sejak kapan aku bohong sama kamu?" Menyeruput kopi robusta, lalu kulanjutkan ucapan. "Icha sekarang tinggal di Bandung, bekerja di perusahaan properti pamanku. Dan kamu tahu, dia nolak cinta siapa pun demi Arhan! Termasuk cintanya aku, orang yang udah susah payah nolongin Icha!!"
Aku sengaja memberi tekanan pada kalimat akhir, berusaha memancing amarah gadis itu. Secerdas apa pun seorang wanita, dia tetap tunduk pada kodrat lebih mempercayai perasaan daripada akal. Dan, ini satu keuntungan bagiku. Cewek bucin itu gampang dimanfaatin.
"Kurang asem. Udah berhenti jadi artis, main rebut cintanya orang. Dasar sok cantik!" umpat Nania yang langsung kutambah dengan bumbu kebohongan.
Hahaa. Lihat saja, Cha. Aku akan membuat hidupmu kacau kehilangan orang-orang yang sangat kamu cintai satu demi satu. Itu salahmu sendiri, berani menolak perasaanku untuk kesekian kali.
"Terus ... gimana ini, Rif? Aku masih sayang sama Arhan, aku nggak mau kehilangan dia!" ujar mantan kekasihku itu panik.
Benar bukan, kesempatan baik itu sudah datang. Nania terdengar emosi sekaligus putus asa menghadapi masalahnya. Really cewek memang se egois itu banyak maunya.
"Gini aja, Na. Aku akan memperingatkan Icha supaya menjauhi Arhan. Sementara kamu usahakan ambil kembali perhatiannya Arhan. Bilang aja kalau Icha sengaja deketin dia untuk tujuan tertentu, atau apalah," usulku.
"Ehm, boleh juga. Oke, deh, terima kasih ya, Arif. Kamu emang paling baik!"
"Karena aku sayang kamu, Na!" balasku yang membuat gadis itu meledek menye menye.
Sayang, sih, tapi tetep Nania harus membayar jasaku. Mikir ide nggak gratis, tahu!
Setelah rencana deal, dan Nania berjanji mau membantuku, telepon pun kami akhiri. Saatnya berakting manis di depan Icha.
°°°°
Kota Bandung diguyur gerimis tipis, sore ini. Bulan November memang merupakan impian terindah bagi pecinta pelangi. Curah hujan yang cenderung intens kerap menjadikan bias warna-warni di langit itu muncul tidak kenal waktu.
Sore ini juga aku harus menepati janji, mengantar Icha jalan-jalan ke mana saja yang dia inginkan. Iya, sebagai permintaan maaf terselubung atas kesalahanku tempo hari. Meski harus menahan rasa malas. Iya kali mending rebahan.
"Kamu ingin ke mana, Cha? Bilang aja. Sejauh apa pun pasti aku antar!" ulangku meyakinkan. Dari tadi ditanya tempat wisata, 'terserah' terus jawabnya.
"Ngikut kamu aja, deh, Rif. Aku kan nggak tahu banyak tempat indah di Bandung ini," jawab Icha.
"Serius terserah aku? Nggak mau lihat Google maps?"
Icha terbahak, dia melihat sekilas rumah-rumah di pinggir jalan dari balik kaca mobil. Aduh, manis banget sih kalau nggak cuek kamu, Cha.
"Sebenarnya aku malas jalan-jalan, udah capek banget seharian kerja," ucap Icha malas. "Tapi, demi kamu ... ya udah nurut aja!"
Aku tersenyum simpul, sekilas menatap wajah cemberutnya. "Mau ngomong penting, masa iya di rumah. Suasananya kan nggak bisa beda."
Icha langsung menegakkan tubuh dari sandaran kursi. "Emang apaan?"
"Surprise, dong!" ujarku, lalu mengalihkan pembicaraan. "Ke kafe favorit aku, mau, nggak? Tempatnya indah, cocok buat berteduh hujan-hujanan gini!"
Memang, dari tadi muter-muter di ruas jalan kota karena bingung hendak ke mana, jatuhnya malah terjebak hujan deras. Terpaksa aku membelokkan mobil ke sebuah jalan menuju kafe tempat biasa menghabiskan malam minggu.
Sementara Icha hanya mengangguk pasrah, sambil terus menggerutu batalnya jalan-jalan adalah salahku. Iya, memang cowok selalu salah di mana pun itu. Dan Icha yang selalu menjawab terserah tadi, benar seratus persen.

Komentar Buku (663)

  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    8d

      0
  • avatar
    Sya Syi

    good

    09/03

      0
  • avatar
    LauraAweh

    sukakkkk bagus banget

    04/02

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru