logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

8. Bersamamu (b)

Aku harusnya bersyukur atau mengeluh saja? Cowok yang saat ini punggungnya kusewa untuk kepalaku bersandar gak sekalipun mengucapkan kata mengeluh. Satu kata 'lelah' atau mungkin 'capek' gak pernah terdengar di kedua telingaku.
Jauh berbeda denganku yang entah sudah berapa puluh kali mengeluh kepadanya.
"Ki, capek banget. Duduk dulu yuk,"
"Ki, lemes. Makan yuk,"
"Ki, panas. Beli minum yuk,"
"Ki, dingin. Pinjam jaket ya,"
Dan kalimat mengeluh lainnya. Seandainya aku jadi dia, aku sudah menyumpal kedua telingaku, agar gak mendengar semua keluhan itu. Tapi, Barikli tidak. Dia dengan sabar meladeni semua permintaanku.
Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya. Memejamkan mata sejenak, menikmati angin malam yang berhembus syahdu.
Katakan saja kalo kami lupa waktu, akibat jalan berdua kemana saja. Mengelilingi kota Blitar dalam kurun waktu kurang dari dua belas jam. Barikli yang mengajakku kesana, ke Kampung Coklat. Membelikanku banyak coklat, sampai aku mabuk coklat. Ke Kampung Anggrek, tapi nggak membelikanku bunga anggrek. Padahal, kalo iya, aku akan sangat senang sekali.
Candi Penataran, yang alhasil ramai sekali anak sekolah studytour. Kami disana banyak mengambil foto, hingga baterainya habis.
Dan juga, Makam Bung Karno.
Akibatnya, kami telat pulang. Rencana awal kami akan pulang sore tadi, tapi kenyataannya sekarang masih di jalanan.
Akupun kelabakan mencari alasan kenapa aku telat pulang. Padahal setau Ibu, aku kerja seperti biasa, dan pulang pukul empat sore.
"Aku pulang kerja langsung ke rumah Lala Bu,"
Itu pesan yang kukirim untuk Ibu. Semoga Ibu percaya karena balasannya hanya, "iya."
Lala itu anak Pakdhe ku. Aku lumayan sering menginap di rumahnya. Tempat pelarian terakhir kalo kamarku sudah gak bisa menjadi tempat penenang disaat aku gundah gulana. Harusnya aku kesana untuk mengaji, karena rumahnya adalah pesantren. Tapi aku nggak, hanya numpang meneteskan air mata lalu akhirnya tertidur.
"Sab, jangan tidur," seru Barikli langsung membuatku membuka mata. Aku terlalu menikmati suasana, hingga lupa bahwa aku sedang berkendara. Terlalu nyaman bersandar di punggung Barikli, sembari menghidu aroma parfumnya yang menenangkan jiwa.
"Masih lama ya Ki?" tanyaku. Aku besok pagi  harus kerja, karena izin liburku hanya satu hari. Malam ini, kami harus sampai rumah sebelum pukul sepuluh. Agar, waktu tidurku nggak berkurang, dengan begitu aku gak punya hutang tidur, dan esok hari bisa bekerja dengan riang.
"Kita masih di Blitar. Belum keluar lho ini. Kenapa? Ibu kamu nyariin?"
Aku menggeleng pelan, dan Barikli harusnya melihat gelenganku sebagai jawaban, karena sedari tadi matanya mengawasiku lewat spion.
"Aku  capek banget Ki, pengen cepet sampe rumah, terus tidur," lagi dan lagi aku menyerukan keluhanku.
"Kita berhenti aja cari tempat tidur apa gimana?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak-enggak. Lanjut gas sampai Trenggalek,"
Mengeratkan tanganku pada pinggang Barikli, aku kembali menyandarkan kepalaku.
Aku bukan cewek polos yang gak pernah pacaran. Sudah kukatakan, kalo mantanku entah berapa lusin. Interaksi seperti ini bukan hal asing lagi bagiku. Orang pacaran, saling bersentuhan itu biasa, dan setiap kali berpacaran aku melakukan itu. Ya, hanya sebatas itu. Meskipun aku tau dan faham betul, karena aku lulusan pesantren, tidak. Jangan bahas pesantren saat ini, karena aku  malu, saat ini kelakuanku sangat gak mencerminkan seorang santri. Aku tau kalo pacaran itu DOSA. Berpelukan itu dosa, bahkan berboncengan dengan cowok bukan mahram sekalipun ada jarak, itu adalah DOSA. Dan neraka adalah hukumannya.
Tapi, aku gak menjauh dari perbuatan itu, dan malah dengan bangga melakukannya, sekalipun Allah sudah berfirman bahwa Ia akan mengganjarku dengan neraka.
"Kenapa berhenti?  Kan aku bilang, lanjut aja sampe rumah," protesku saat motor yang kami kendarai berhenti.
"Kayaknya bannya bocor." Barikli menyuruhku turun, dan aku menurutinya.
Cowok ini berulang kali menekan ban motor, dan hasilnya memang sama. Keduanya sama-sama bocor.
Udara sekeliling dingin, menusuk kulitku yang sudah terbalut jaket pinjaman dari Barikli. Mengabaikan Barikli yang seharusnya sangat kedinginan karena cowok ini hanya memakai kaos lengan pendek.
Hanya suara jangkrik terdengar, juga cahaya remang-remang dari lampu jalan di ujung sana. Jarak lampu satu dengan yang lainnya terbilang cukup jauh. Dan jalan ini dikelilingi dengan pohon pohon besar, yang jelas jauh dari rumah warga. Aku gak tau, kenapa Barikli memilih melewati jalan ini. Setauku ini jalan tikus, agar cepat sampai ke rumah.
Kalo saja tau keadaannya akan begini, harusnya aku mencegah untuk gak melewati jalanan ini.
"Terus gimana Ki?" Tanyaku mulai cemas. Malam akan semakin larut. Aku sudah mendengar adzan isya' tadi.
"Coba ke jalan raya dulu aja ya Sab," katanya lalu menuntun motor. Aku mengangguk, lalu membantunya mendorong motor dari belakang.
"Dapat mangsa bos." Sebuah teriakan disusul seorang pria bertubuh ringkih mendadak muncul, menghadang jalan.
Lalu, dari balik pohon pohon yang tumbuh berderet, keluar tiga pria lain yang bertubuh kekar, penuh otot, juga tato bergambar gak jelas tertoreh di bagian badan mereka.
Jantungku berdetak kencang, peganganku pada belakang motor kulepaskan, dan secepatnya mendekat pada Barikli. Orang-orang itu menghampiri kami, tampak bengis dari raut wajahnya yang berminyak penuh bekas luka, dan aku yakin, wajah wajah itu sama sekali gak pernah terguyur air wudhu.
"Ada ceweknya Bos," Kata pria bertubuh paling kurus diantara para orang berbadan kekar seperti preman yang kulihat di TV. Bukan seperti, kayaknya mereka benar benar preman, itu artinya kami dalam bahaya.
"Cantik Bos," katanya lagi. Aku semakin memepetkan tubuhku ke Barikli. Memegang lengan Barikli dengan erat, saat preman kurus itu mendekat ke arahku. Jantungku jumpalitan gak karuan. Tubuhku tegang, disertai keringat dingin yang mulai meneteskan diri.
"Kamu tenang ya. Aku bakalan nyerang, kalo mereka nyerang." Dengan santainya Barikli mengatakan kalimat itu, tanpa melakukan aksi apapun. Dia hanya diam di tempat, seperti memang mengimplementasikan ucapannya yang membuatku gelisah gak karuan.
"Aku takut Ki. Aku takut." kataku panik. Harusnya aku menanamkan rasa keberanianku menghadapi preman itu karena saat ini aku berada di samping seorang pendekar pencak silat. Hampir lupa, kalo Barikli punya ilmu bela diri. Ilmu itu harusnya berguna untuk saat saat seperti ini.
"Mau serahin nyawa, ceweknya, apa harta?" Suara bariton milik seorang yang dipanggil 'bos' menggetarkanku. Menambahi rasa ketakutanku akan kemungkinan buruk yang terjadi untuk beberapa menit ke depan.
"Aku takut diperkosa Ki," kataku lagi. Satu-satunya ketakutan terbesarku, kalo aku diberi kesempatan untuk tetap hidup, aku gak mau kehilangan keperawanan. Para preman beringas itu, sangat menakutkan. Satu air mataku yang gak bisa kubendung menetes. Aku menangis tanpa isakan, sebagai bentuk ketakutan yang melandaku.
"Itu gak akan terjadi Sab. Aku bakal melindungi kamu,"
Lalu, sebuah tendangan lolos dari Barikli untuk pria kurus yang tangannya hendak meraih lenganku. Pria itu terpental.
"Kamu hati-hati. Aku mau melawan mereka,"
Berdiri disamping motor, dengan tubuh bergetar menahan isak tangis, aku menyaksikan dengan mata penuh air mata. Cowok itu berkelahi melawan empat pria yang jelas bukan tandingannya. Itu gak adil. Bahkan gak ada yang namanya pertandingan satu banding empat. Aku ingin bergabung, tapi sadar kalo tenagaku gak seberapa.
Bingung dengan apa yang harus aku lakukan, aku hanya terus menyaksikan perkelahian itu sambil terus merapalkan doa. Menengok kanan kiri, siapa tau ada orang yang bisa kuminta pertolongan. Tapi nihil, disini sepi. Hanya suara gedebuk dari pukulan pukulan perkelahian yang terjadi di depan mataku. Adegan itu serasa berada di sebuah film sering kulihat. Tapi, itu nyata, aku menyaksikan perkelahian itu nyata. Katakan saja, live streaming.
Pantaskah aku menyerukan kalimat keterkaguman atas apa yang kulihat? Kagum dengan sosoknya yang semakin mempesona saat tangannya memukul, membanting, mempelintir. Tubuhnya yang meliuk saat mengindari serangan. Otot otot itu keluar, juga otot di rahangnya yang mengeras, didukung dengan matanya yang berkilat marah. Tatapan sendunya berganti, dengan sorot tajam. Dari mata itu aku bergidik ngeri. Ku kira, Barikli hanya bisa menunjukkan sorot matanya yang sayu. Itu menakutkan. Sorot mata itu pertanda bahwa sosoknya sedang marah.
Satu persatu, para preman itu lengah. Terbujur kesakitan di aspal rusak yang batunya sudah mencuat keluar.
Baru saja aku akan tersenyum lega, salah satu preman itu dengan kilat menghampiriku, mencekal lenganku kuat, hingga aku merintih kesakitan.
Kepalaku dikurung dalam lingkaran lengan yang tersaji pisau menghunus tajam dalam genggaman, menodongku.
"Barikli..... " teriakku meminta pertolongan. Cowok itu menatapku terkejut, lalu rahangnya kembali mengeras. Melangkah untuk menghampiriku, tubuhnya langsung limbung saat seorang preman yang terbaring di sebelahnya menjigal kakinya.
Disaat tubuhnya terjatuh, preman itu menendang punggungnya keras.
Air mataku kembali mengalir. Ya Allah, maafkan aku kalo ini karma dari kebohonganku pada Ibu. Tolong selamatkan kami.
###
Tau kan kalo Allah menguji hamba -Nya gak pernah diluar batas kemampuan. Fahamkan kalo dari setiap musibah yang terjadi pasti ada hikmah yang bisa diambil.
"Sisa berapa Sab?" tanya Barikli saat aku mengeluarkan uang yang kumiliki dari casing handphone.
"Tujuh puluh," kataku putus asa. Preman preman gak berperikemanusiaan tadi mengambil semua uang yang kami punya. Termasuk handphone milik Barikli, tapi untungnya motor masih aman. Aku lupa bersyukur, harusnya itu semua gak ada apa apanya dibanding nyawa kami yang masih selamat.
"Alhamdulillah," ujar Barikli lirih. Wajahnya penuh kebiruan, bekas tonjokan. Para preman itu memang kurang ajar.
"Kita gimana Ki? Dengan uang segini apa kita bisa pulang?" tanyaku gelisah. Lagi lagi harusnya aku bersyukur masih memiliki uang. Uang ini tadinya berupa seratus ribuan, lalu kubelikan minum saat di Candi Penataran tadi, lalu kembaliannya kuselipkan di casing handphone.
Aku bersyukur seketika teringat perbincanganku dengan Ratna dulu saat para preman itu berkelahi dengan Barikli tadi.
"Kalo darurat ya Na. Masukin aja ke dalam bra. Masa iya, mereka mau ngacak-ngacak dalaman juga," jawabku setelah Ratna melontarkan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan kalo ada razia kosmetik mendadak di sekolah.
Itu yang akhirnya kuimplementasikan tadi. Aku memasukkan handphone ku ke dalam bra. Hanya handphone, karena dompetku gak ada uangnya, hanya berisi ktp juga kartu Tanda pelajar dan struk pembelian yang tintanya sudah pudar.
"Bisa. Bensinku masih ada kok, cukup buat sampai rumah. Cuma, kayaknya malam ini kita nginep dulu Sab,"
Mataku terbelalak. "Nginep gimana? Dimana? Terus kita kapan pulangnya?"
Semakin gelisah dengan keadaan ini. Aku semakin teringat akan Ibu di rumah. Apa Ibu bisa tidur dengan nyenyak nanti. Masalah kebohonganku tentang tidur di rumah Lala, harusnya bisa apik tertutupi. Aku sudah kongkalikong dengan Lala tadi, menyuruhnya untuk membohongi Ibu juga. Berdosa banget aku.
"Ban motor bocor Sab," terangnya sembari meringis kesakitan akibat tangannya yang gatal untuk gak mengusik memar di wajahnya. "Bengkel jam segini gak ada yang buka. Ini udah malam. Kamu capek banget kan?"
Aku mengangguk mengakui. Kini, bukan hanya ragaku saja yang lelah, tapi jiwaku juga. Fikiranku pun ikut ikutan.
"Kita cari penginapan. Besok pagi, nambal ban, terus pulang. Tujuh puluh ribu cukup kok, aku tau penginapan murah sekitar sini,"
"Kita nginap? Tidur berdua?" Kataku tersentak. Segera aku menutup mulut, karena gak sopan mengatakan pertanyaan yang ambigu itu.
"Buat kamu aja, aku bisa tidur di mushola terdekat,"
Barikli berdiri, mengulurkan tangan, mengajakku agar ikut bangkit.
"Maaf ya. Kamu ikut susah gara-gara aku." katanya saat tanganku meraih uluran tangannya. Tangannya terasa dingin, penuh keringat, terasa basah.
Terisa satu kamar penginapan. Sepertinya Allah masih sayang kepada kami. Barikli bercerita mengapa dia hafal daerah sini, karena tempat psg nya dulu gak jauh dari sini. Pantas saja cowok itu dengan mudah bisa menemukan kamar inap dengan harga miring.
"Ini kuncinya. Hati-hati. Jangan lupa dikunci. Kalo ada yang minta bukain jangan dibuka kecuali aku. Kalo aku kesini, aku bakal bilang kalo itu aku," pesannya sambil mengulurkan sebuah kunci dengan gantungan miniatur  candi mini.
"Kamu beneran tidur di luar?" tanyaku prihatin. Mana bisa aku dengan ikhlas membiarkan cowok ini terlentang di ubin mushola yang dingin. Berada di kota orang yang aku gak tau seberapa kejamnya kota ini. Dengan keberadaan orang-orang yang gak semuanya bisa dikatakan baik.
"Iya. Tenang aja, aman kok. Aku cowok, aku bisa menjaga diri."
Dia tersenyum, mengelus lenganku, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Tanpa berkata lagi, dia melangkah meninggalkanku, hingga bibirku dengan sendirinya bersuara, mencegah langkahnya, "Ki, tidur sini aja ya. Berdua,"
Aku janji dengan diriku sendiri, juga berjanji dengan Barikli bahwa kami hanya akan tidur berjarak, dan gak akan melakukan apapun yang termasuk diluar batas kewajaran.
Selama kami berada di ruangan yang lumayan sempit ini, karena sesuai dengan harganya yang murah, kami bersepakat untuk gak bersentuhan fisik, agar tetap terjaga prinsip pacaran yang sehat.
"Blitar dingin banget. Aku minta selimut ya, buat alas,"
Aku mengangguk kaku, melemparkan selimut putih yang gak terlalu tebal ke arah Barikli yang masih mematung di depan pintu.
Rasanya canggung. Meskipun seharian ini kami gak pernah lepas bergandengan tangan, berdua di satu ruangan terkunci di kota orang rasanya seperti berada di bawah pengawasan aparat keamanan. Takut kalo mendadak ada penggerebekan, lalu kami diciduk polisi dengan dugaan mesum, padahal kami hanya numpang memejamkan mata. Yang kutakutkan itu, bukannya takut dengan Barikli yang bisa saja gelap mata, dan mendadak menyerangku. Memperkosaku, lalu memutilasiku dan membuang potongan tubuhku di Sungai Brantas, percis seperti di berita pembunuhan yang sering Bapak putar di channel kesayangan.
Aku menggeleng cepat. Menghilangkan bayangan menakutkan itu, meyakinkan kalo Barikli adalah cowok yang benar-benar baik, dan tentunya menghargai perempuan.
Tapi Sab, setan itu licik dan pintar. Mendadak, kalimat itu memutari neuronku, membuatku berfikir lagi, apakah ini adalah keputusan yang tepat, membiarkan Barikli satu ruangan bersamaku.
Mengawasi tingkah cowok itu dengan terus menimbang, aku mengangguk, yakin dengan keputusanku.
"Ki, kamu gak akan menyerangku kan? Kamu gak akan jahat selama aku tidur kan?" tanyaku menyerukan kebimbanganku.
Dengan tatapan sayu dia menatapku, gurat kelelahan hadir di wajahnya yang penuh luka. "Kamu kenapa nanya gitu?"
"Aku takut aja. Aku takut kamu kemakan hasutan setan, terus memperkosaku," Terangku dengan melirihkan suara di kata terakhir.
Barikli tertawa. "Bisa-bisanya kamu berfikiran kayak gitu,"
Cukup dengan menghilangkan fikiran fikiran buruk yang terlintas, maka aku akan bisa tidur dengan nyenyak, dan besok bisa pulang. Melirik Barikli yang terbaring di lantai beralas selimut, dengan tas sebagai bantal, cowok itu sudah terlelap. Maka, aku akan menyusulnya ke alam mimpi.
"Sab, kenapa?" Suara itu yang pertama kali kudengar setelah aku berhasil membuka mata. Entah ini jam berapa, dan entah sudah berapa jam aku tertidur. Aku terbangun karena meracau dan tubuhku kelonjotan dengan sendirinya. Kebiasaanku saat aku didera rasa lelah yang berlebih.
"Meracau." kataku lirih, lalu merubah posisi tidur. Barikli bangkit, dengan mata sayu khas orang bangun tidur.
"Kamu mendesah, bukan meracau." katanya, lalu menghenyakkan pantatnya di sebagian kasur yang kosong.
"Itu meracau Ki." Protesku. Racauanku emang begitu, dan itu sudah wajar saat aku tidur di rumah. Ibu akan membangunkanku dan memijat badanku agar aku kembali tidur tanpa racauan. "Ibu bakalan mijitin aku kalo aku begini. Soalnya aku meracau karena kelelahan. Rasanya kakiku linu banget, terus gerak sendiri, dan ujungnya aku merintih." terangku lagi.
"Kamu butuh dipijit biar tidur nyenyak?" Tanyanya. Aku diam, mengabaikannya dan kembali memejamkan mata.
Membuka mata akibat merasakan sentuhan di kakiku, lalu tekanan mengenakkan kurasakan di kakiku yang linu. Barikli beneran memijatku. Gak ada fikiran untuk menolak, ataupun menghindar, fikiran negatif yang ada di otakku sudah kuhilangkan. Aku percaya, cowok ini berbeda. Kembali aku memejamkan mata.
"Kamu cantik banget," ujarnya yang mengejutkanku karena suaranya yang begitu dekat. Aku membuka mata, dan mendapati bahwa Barikli sudah berpindah posisi terbaring tepat di sebelahku. Menatapku sayu penuh kagum, lalu tangannya memasukkan rambutku yang keluar dari hijab yang kupakai. Perlakuannya membuatku diam membatu, jiwaku menyuruhku untuk menikmati belaiannya yang kini sampai dipipiku.
Terlalu lama aku menatapnya dengan diam, mataku mencoba menyusuri bagian wajahnya dalam jarak seintim ini. Meskipun ketampanannya tertutup luka kebiruan, pesonanya masih tetap bisa kulihat. Ujung hidungnya selalu tampak mengkilat, menggodaku untuk mengabulkan keinginanku menyentuh disana.
Dan berhasil, jemariku menyentuh ujung hidung mancung miliknya. Gelagapan, aku langsung menyembunyikan jemariku dalam genggaman.
"Aku penasaran Sab, bibir kamu lucu banget. Boleh ya," pintanya tetap dengan sorot mata sendu. Jemarinya mengelus bibirku, aku hilang akal, dan malah terbuai dengan sentuhan itu. Lalu, kepalaku mengangguk.

Komentar Buku (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru