logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Queen Disaster

Senja kedua di pantai akhirnya bisa ku nikmati. Kemarin cuaca nya mendung jadi ngga bisa liat indahnya suasana sore kalo di dermaga. Sangat romantis kalo saja hal ini dinikmati bersama orang yang tersayang. "Akh baper aku dengan suasana senja nya,"ucap Ayesha ceria.
"Nanti kalo aku nikah pergi ke sini lah,"ucapku tersenyum lebar. "Sama aku juga Al. Nanti kita sama pasangan masing-masing,"ucap Ayesha. "Ew jauhnya kita halu,"ucapku terkekeh geli. Sembari menikmati suasana senja tanganku bergerak memetik senar gitar yang ku bawa.
Mengingat sebuah lagu Tri Suaka yang selalu ku ingat saat masa liburan sebelum pindah ke Kalimantan di Jogja. Lagian tujuan kami ke Kalimantan juga untuk merantau.
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Baru saja dua bait terlantun tapi gemuruh tepuk tangan menggema dari para wisatawan lain. Bahkan beberapa kamera menyorot keindahan senja dengan berlatar lagu yang terlantun. Akh bisa juga saat ini aku bercita-cita punya impian hebat begitu. Sukses saat aku juga menemukan pasangan hidup di titik keberhasilan ku.
"Almira kan itu,"
Ck siapa lagi coba yang mengenalku di tempat begini. "Kak Almira tumben ngga koploan kak,"ucap Maira duduk di sebelahku sembari menikmati senja. "Beda Dek. Beda suasananya,"ucapku. "Maira kok sendiri? Arini sama Naina mana,"tanya Ayesha. "Mereka masih makan Kak,"ucap Maira ku angguki.
"Kamu ngga ada request lagu kah Sha,"tanyaku saat lagu akan berakhir. "Jangan Korea,"ucapku mewanti-wanti. "Ngga juga kali. Itu aja selamat virgoun,"ucap Ayesha membuatku nyaris memutus senar. "Galau nya lagu mu. Kamu pernah ditinggal nikah kah,"tanya ku. "Pernah ya yang sama Ustadz.
Aku pernah ketemu disini tapi dia sudah bahagia dengan istri sama anaknya. Aku masih gembel,"ucap Ayesha. "Nyeseknya. Ya sudah khusus buat Ayesha. Tapi jangan nangis ya. Ntar ku lempar ke laut kalo nangis,"ucapku sembari mengingat ingat kunci lagu yang dia maksud.
"Kak kenapa sedih? Bukannya kalo pernikahan itu harusnya senang ya. Maira pernah dua kali ikut Bunda sama Ayah semua temannya bahagia,"ucap Maira membuatku terdiam. "Itu tuh begini nah. Kan semisal ada dua orang yang sudah dari lama suk
"Ehm begini Dek. Beberapa teman terkadang butuh waktu melepas temannya pergi untuk menikah. Dari yang biasanya ketawa jalan jalan jadi harus sama pengantin laki-laki nya,"ucapku. "Beh habis belajar parenting kah Al,"tanya Ayesha. "Ngga cuma aku agak agak ingat aja,"ucapku.
"Maira,"
"Dek dipanggil,"ucapku sembari menggeser memberi tempat beranjak.
Byurr
Tanpa tedeng aling-aling, ku taruh gitar sembari langsung melompat masuk ke air begitu saja. Begitu air mulai menenggelamkan seluruh tubuh ku, baru ku lihat Maira membuatku langsung menarik tangannya. Eh tunggu ini laut Almira. 'ALMIRAAAA KAN KAMU NGGA BISA BERENANG. KOK BISA SOK TERJUN!!!??,'teriak ku dalam hati.
Malah Maira yang menarik ku ke permukaan. "ALMIRA WEH JANGAN PINGSAN AL,"teriak Ayesha bukannya menyelamatkan malah makin membuat ku panik. "Kamu naik aja,"ucapku melepas pegangan sembari berusaha tetap tenang seperti ajaran Ayesha saat di speedboat kemarin. Masa ending hidup ku begini sih.
Apalagi ku rasa kan banyak sudah air yang tertelan membuatku hanya bisa merasakan air yang bergerak beralur mengikuti. Pasti ada yang tolong tapi mata ku sudah ngga sanggup terbuka lagi. Sudahlah saatnya mengucapkan jargon pamungkas. 3T (Tabah, Tenang, Tawakal).
Tarikan pelan di pundakku sepertinya malaikat Izrail tengah berkunjung membuatku tersenyum kecil. Aku tau mungkin ada yang tolong tapi aku sudah ngga sanggup lagi bernafas dalam air.
-^-
Uhuk
"Almira,"
Ku rasakan tepukan berulang pada pipi juga sayup-sayup panggilan. "Almira bangun weh,"ucap Ayesha perlahan menarik kembali kesadaran ku. Beberapa wajah menatapku panik membuatku tersenyum lebar. "Almira menurut mu itu benar? Kamu tau ngga bisa berenang tapi masih aja nekat lompat apalagi situasi air sedang pasang?,"ku lihat sosok yang berdiri menatapku tajam.
Tampak seperti Aufa tapi ayolah dia ngga datang kemari. "Fa Almira baru sadar. Rasanya ngga perlu lah. Lagian Maira juga bisa berenang kan,"ucap wanita yang waktu itu mengajak ku memasak di rumahnya. "Sha Almira ngga papa,"tanya Novia panik. "Ngga papa Bu. Liat sehat begini,"ucap ku sumringah.
"Kak maaf ya,"ucap Maira. "Eih ngga papa kali,"ucapku santai sembari memijat pelipis ku. "Sakit kayaknya kamu Al. Aku juga ngga bisa berenang kalo panik makanya ngga nyebur,"ucap Ayesha tak ada habisnya mengomel. "Refleks Sha. Tapi tadi siapa yang aku ngga mungkin orang yang mirip dosen ku itu kan,"ucapku melihat hanya diri nya yang baju nya basah kuyup.
"Almira becanda mu tuh nah. Bukan mirip memang Pak Aufa yang nyebur beliau baru datang trus liat ada rame rame makanya nyebur,"ucap Ayesha. "Ngga yakin aku,"ucapku tertawa kecil sembari menggeleng pelan. "Nak Almira baru sadar mungkin agak bingung. Makasih Pak,"ucap Novia menyelimuti ku dengan handuk hangat sembari membantu ku berlalu pergi.
"Masa iya Pak Aufa sih,"ucapku berusaha mengingat meskipun ngga guna. "Sudahlah Al namanya baru aja tenggelam. Udah mending kamu langsung mandi ganti baju. Habis itu makan,"ucap Ayesha. "Iya Nak. Sampai kaget Ibu katanya kamu nyebur bantu orang,"ucap Novia.
"Maaf ya Bu. Almira ngerepotin aja,"ucapku. "Ngga papa Nak. Kamu sudah kayak anak ibu,"ucap Novia mengantar sampai kamar menyisakan ku sendiri karena Ayesha pergi mengambil selimut lagi. Aufa di sini? Ku rasa mimpi kali ini terlalu bagus ya. Ngga mungkin Aufa yang tolong karena dia kan tau sendiri waktu itu aku sangat menjaga diri. Saatnya untuk positif thingking.
-^-
Aufa POV
Seharusnya aku teguh pendirian ngga turut datang ke pulau Derawan. "Aufa ngelamun terus Nak,"tanya Gifari menyenggol lengan ku menyodorkan teh. "Nggak papa Yah,"ucapku santai. "Masih terngiang tadi?,"tanya Gifari ku angguki pelan. Gadis itu sepertinya otak nya selalu di tinggal makanya ngga pernah waras.
"Namanya juga untuk keselamatan. Tadi kan kondisi darurat,"ucap Gifari menepuk paha ku. Aku bukannya membenci, untuk beberapa alasan namanya terlalu sering disebut di rumah ku. Karena itu juga aku lebih memilih tinggal di apartemen saja. Citra kembali urung datang pada hari yang telah dia tentukan sendiri.
Atas alasan itu juga yang semakin membuat keluarga kian gencar menyebut nama Almira. "Almira cantik kan aslinya,"ucap Gifari menyenggol lengan ku. "Lebih cantik Citra Yah,"ucapku membuatnya tergelak ringan. "Citra perawatan nya mahal. Tapi coba lihat Almira. Polos memang wajahnya tanpa apa-apa. Tapi bersih,"ucap Gifari.
"Belum tentu Yah. Kan ngga tau juga gimana aslinya. Seharusnya Aufa ngga usah datang ke sini,"ucapku. "Kamu nyesel ketemu dengan Almira? Kalo gitu menurut mu apa Almira tau kalo kamu juga mau ke sini?,"tanya Gifari. "Bukan gitu Yah. Kayak yang waktu itu Aufa bilang. Almira itu nanti jadinya wanita karier dan usianya jauh lebih muda dari Citra.
Jadi jangan terus terusan tentang Almira Yah,"ucapku. "Katanya Almira anak pedalaman. Justru orang pedalaman lebih taat dengan adat sama hukum Fa. Mereka lebih takut jadi bahan omongan tapi lebih ramah dengan orang di sekitarnya,"ucap Gifari membuatku menghela nafas pelan.
"Liat gadis itu,"ucap Gifari menunjuk dua orang gadis yang ku kenal sebagai mahasiswi ku. Mereka berjalan sepanjang tepi pantai sembari berlari kecil penuh tawa. Aku tak tau gadis itu yang tadi nyaris mati bisa menjadi se ceria itu. "Yah kalo ngga bisa Citra bisa kah selain mahasiswi ku? Kalo Ayah minta Almira, dia juga harus nunggu lulus dulu tahun depan,"ucapku.
"Kemana saja kamu selama ini? Ayah sudah cari kan dari yang guru, dosen, ustadzah, ngga ada pekerjaan juga. Semua jenis sudah Ayah kenalkan tapi ngga satu pun yang nyangkut malah di luar konteks dan ngga pernah datang ke rumah. Salah siapa jadinya?,"tanya Gifari.
"Waktu itu lain cerita Yah,"ucapku. "Gitu? Sekarang pertanyaannya kamu mau nikah di umur berapa?,"tanya Gifari membuatku terdiam. "Kalo bisa besok, besok Aufa nikah Yah. Aufa juga sadar sudah hampir kepala empat paling ngga sudah ada keturunan lah biar nanti ngga terlalu tua,"ucapku. "Manut sama Ayah mau ngga,"tanya Gifari persis seperti kalimat Dimas malam itu.
"Beri waktu seminggu Yah,"ucapku. "Terlalu lama kalo seminggu. Dua hari aja gimana,"tanya Gifari. "Jangan juga dua hari 4 hari aja Yah,"ucapku. "Alah terlalu lama 4 hari. 3 hari aja gimana? Pas ngga terlalu lama ngga terlalu cepat,"ucap Gifari membuatku menghela nafas berat. "Ya sudah 3 hari. Kalo sudah lewat belum ada progres, otomatis Aufa manut.
Tapi minta tolong Yah yang memang bisa jadi istri jangan dari wajah aja. Eh penting lah. Kayak Mbak Ayana aja sudah,"ucapku. "Lah kamu suka sama kakak ipar mu sendiri Fa,"tanya Gifari. "Ngga gitu maksudnya. Perempuan yang kayak Mbak Ayana. Ku lihat Kak Dimas ngga pernah kekurangan bahagia dari Mbak Ayana,"ucapku.
"Namanya hidup rumah tangga pasti ada liuknya sendiri. Kan kamu masa lupa dulu Dimas pernah tinggalin Ayana di jalan karena mantannya kecelakaan. Yang waktu itu ngga ada angkot ngga ada apa karena hujan. Makanya jalan kaki pulang. Asal tau aja gimana caranya,"ucap Gifari.
"Gimana caranya Pak,"tanyaku dirudung rasa penasaran. "Nerimo ing pandum. Terima kekurangannya, kalo salah ngaku. Sama yang paling penting jaga jarak dimana aja mood nya lagi memburuk,"ucap Gifari membuatku terdiam. Artinya sama saja seperti saat akan melakukan riset terhadap suatu hal harus paham terlebih dahulu bahan tersebut baru bisa melakukan pengembangan di dalamnya.
"Udah nanti aja di pikir. Mending temani Mbak itu bakar ikan sama Naina,"ucap Gifari terkekeh sembari berlalu pergi membuatku melihat dua orang beda usia didekat api. Tunggu aja beberapa menit kemudian pasti ada keributan karena queen disaster itu. Sembari menegak teh yang tersisa ku langkahkan kaki menuju dermaga menikmati angin malam tanpa gangguan.
3 hari?
Sedangkan aku kembali dua hari lagi. Rasanya ini bukan tantangan tapi jebakan biar bisa manut. "Woilah om Aufa,"ucap Dimas menepuk pundakku. "Apa sih Kak,"ucapku tak ingin di ganggu. Sudah tau gara-gara kamu tolong Almira tadi malah makin akrab tuh. Ayah ngga ada bilang apa-apa tentang hubungan?,"tanya Dimas.
"Ada. Dikasih waktu 3 hari bawa cewek pulang,"ucapku. "Apa ku bilang? Dari kemarin kemarin juga sudah dikasih tau. Kamu sih ngga dengerin,"ucap Dimas. "Mau gimana lagi? Citra sendiri yang ngga bisa datang waktu itu,"ucap ku. "Gimana ya? Kita balik juga dua hari lagi. Kamu bujuk bujuk apa gitu. Atau ngga kamu bilang ngajak ketemuan tapi malah kamu bawa pulang.
Ngga papa kali bohong sedikit kalo masih mau mempertahankan kekasih. Kalo aku sekarang sih sudah sangat cocok dengan pilihan Ayah. Selain karena memang sudah ada anak, ya kayak pilihan orang tua itu yang terbaik Fa,"ucap Dimas. "Tapi melewati masa mencocokkan diri itu susah Kak. Karena kita ngga tau sosok yang dipilih gimana,"ucapku.
"Waktu itu perlu tapi jangan terlalu lama mengulur. Harus cerdas memahami aja lah. Lagian aku sudah 100% yakin orangnya siapa. Karena kalo dari satu sisi setelah aku sama Ayah liat bahkan Ayana itu masih kalah dan kalo kamu dapat dia beruntung. Udah nanti dulu mikirnya. Kita kan ke sini liburan Fa.
Ayo lihat orang bakar-bakar di deket pantai,"ajak Dimas. "Akh ngga usah Kak. Lebih baik dari Mbak Ayana? Ngga bohong kan,"ucapku. "Ngapain pake bohong segala Fa. Lagian juga kalo kamu ngga mau turun karena Almira. Ku kasih tau ya semakin kamu menghindar atau benci semakin kamu dekat. Jadi kalo memang kamu merasa biasa aja ya seperti profesional jadi dosen ke mahasiswi,"ucap Dimas.
"Akh iya ya turun. Profesional jadi dosen,"ucapku pasrah. "Tau ngga hal berharga di usia 30 an,"tanya Dimas melambankan langkahnya sejajar dengan langkah ku. "Ngga mau tau. Pasti ujungnya sesat,"ucapku sudah hafal dengan semua tingkah laku Dimas.
"Su'udzon. Beneran kalo kamu punya hal berharga ini wajib di jaga dan selalu di hormati dengan cara yang berbeda,"ucap Dimas. "Apa? Istri?,"tanyaku. "Cincin nikah. Coba bedakan kalo belum punya, dimana mana selalu dipanggil Mas. Kalo sudah punya lebih berwibawa satu tingkat di panggil Pak,"ucap Dimas melantur.
"Aneh kamu Kak. Kalo di instansi ku biar ngga punya cincin nikah tetap di panggil Pak,"ucapku menggeleng lelah. Mana bisa disamakan instansi pendidikan dengan pelayanan publik. Konyol juga ku pikir diri nya. "Sst Fa arah jam 12,"bisik Dimas membuatku mendongak.
Gadis itu lagi. "Ck kamu itu katanya suruh profesional,"ucapku cuek. "Jomblo tuh Om,"ejek Dimas tak ku peduli kan. "Malam Almira,"ucap Dimas membuatku membuang ke arah lain. "Malam Pak. Tadi Bu Aisha minta saya manggil Bapak. Permisi,"ucap Almira singkat, padat dan jelas sebelum berlalu memutar arah tanpa menunggu jawaban.
"Fa katanya profesional,"tanya Dimas menyenggol lengan ku. "Lah karena profesional makanya aku diam,"ucapku santai. "Ck terserah mu lah. Terima kasih ya Almira,"ucap Dimas setengah berteriak. Hanya tampak di angguki pelan tanpa berbalik. Ck begini dia bilang etika? Dasar queen disaster.

Komentar Buku (284)

  • avatar
    Joni Parmam

    sipppppppp

    10/06

      0
  • avatar
    WulandariDea

    cerita nya sangat bagus bangett

    09/03

      0
  • avatar
    전 정국Solehati

    cerita nya sangat menarik, tokoh nya juga sangat bagus. saya menyukai nya

    07/12

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru