logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Tania Beraksi

Mika mendekat ke arah Tania dan membisikkan sesuatu di telinganya.
"Aku sudah mendapatkan bunganya, jadi kapan kita nikah?"
"Apa?" Mendapat pertanyaan seperti itu sontak saja Mata Tania membulat. 
"Hahaha." Mika tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Tania yang menurutnya sangat lucu.
Tania sendiri sangat kesal melihat tingkah Mika, dia merasa dipermainkan oleh cowok rese itu. 
Dari kejauhan Wira yang melihat kedekatan Tania dengan adiknya merasa sangat kesal, seakan ada perasaan tidak rela jika Tania akrab dengan orang lain. Sepertinya benih-benih cinta mulai muncul di hati Wira namun dia tidak memahami apa yang sedang dia rasakan. Wira memilih pergi dari tempat acara untuk mencari udara segar. 
Stefi mengajak Tania pulang namun sebelum itu Tania pamit ke kamar mandi dulu.
"Aduh, Mama harus segera pulang nih, ada teman Mama yang mau mampir ke rumah." 
"Mama duluan saja," ucap Mika.
"Tania gimana?" 
"Biar nanti pulang sama Mika."
"Yasudah, Mama, Papa sama Adit pulang duluan ya, jaga baik-baik tuh anak gadis orang. Kamu harus membawanya pulang dalam keadaan utuh, jangan sampai ada yang kurang satupun." Nasehat Stefi kepada anak keduanya itu.
"Iya Mamaku sayang, tidak akan kurang tapi nambah," celoteh Mika.
"Heh, maksud kamu apa bicara seperti itu?" Stefi menepuk bahu Mika dengan cukup keras.
"Aduh, sakit Ma," ujar Mika.
"Makanya jangan asal ngomong saja."
"Lagian Mama ini khawatir amat anak orang bakal aku apa-apain, Mika tidak akan macam-macam dengannya, cukup satu macam saja, hehehe." Mika berkata sambil nyengir kuda.
"Mika!"
"Sudah Ma, ayo kita segera pulang, Papa sudah menunggu tuh. Mas, jangan diapa-apain Mbak Tania ya, kalau terbukti Mas Mika berbuat macam-macam maka aku bakal memberi pelajaran kepadamu," ancam Adit terlihat serius.
"Ish, sejak kapan dia menjadi Mbak kamu, Dit?" Mika heran bagaimana mungkin orang yang baru semalam tinggal di rumahnya sudah bisa mencuri hati Adit yang terkenal dingin dengan wanita itu.
"Sejak kemarin sore, aku sudah memutuskan untuk melindungi dia dari playboy cap kadal macam Mas ini."
"Ish, tega bener ngatain kakak sendiri playboy cap kadal." Mika pura-pura sedih mendengar perkataan Adit.
"Adit, buruan, sudah ditunggu Papa," teriak Stefi memanggil nama anak bungsunya.
"Iya Ma, awas ya Mas." Adit berlari sambil menunjuk matanya menggunakan dua jari, selanjutnya dua jari itu ditunjukkan ke arah Mika.
"Sepertinya gadis ini memakai pelet deh, buktinya Mama sama Adit langsung jatuh cinta sama dia, aku harus berhati-hati nih jangan sampai masuk ke dalam jeratnya," ucap Mika.
Mika sudah berdiri di sana namun yang ditunggu tak kunjung datang. Khawatir terjadi sesuatu dengan Tania akhirnya Mika menyusul ke kamar mandi. Sampai di sana dia melihat Tania berdiri dipojokan sambil menundukkan kepala.
"Heh, Udik, kamu ngapain sih di sini? Sudah ditungguin dari tadi kok malah enak-enakan melamun di sini." Mika terlihat kesal karena Tania hanya diam saja di pojokan.
"Tante Stefi mana?" tanya Tania tanpa mempedulikan ocehan Mika.
"Pulang," jawab Mika ketus.
"Hah? Terus aku gimana?" Tania tidak menyangka jika Stefi meninggalkannya sendirian.
"Pulang saja sendiri."
Tania memandang ke arah Mika dengan tatapan sendu. Lama kelamaan netranya mulai merebak dan bulir bening membasahi pipinya. Mika yang melihat semua itu merasa panik, takut disangka telah berbuat yang tidak-tidak kepada gadis di depannya.
"Aduh, kok malah nangis sih, sudah gede kok cengeng banget, diamlah nanti aku belikan es krim." Mika berusaha membuat Tania diam dengan menjanjikannya es krim. Tania tidak tertarik dengan iming-iming Mika, tangisnya malah semakin pecah.
"Heh, kenapa tambah kencang sih, nanti dikiranya aku berbuat hal yang tidak benar kepadamu, diamlah! Apa maumu, tolong  katakan padaku. Kalau kamu tidak mengatakan masalahmu maka aku tidak akan bisa membantumu." Mendengar tawaran Mika, Tania langsung diam. Ada senyum samar terbersit di bibir Tania. Dia menyuruh Mika untuk mendekat ke arahnya.
"Ada apa sih?" Mika merasa enggan untuk mendekat ke arah Tania.
"Cepetan." Suara Tania cukup keras terdengar sehingga membuat orang-orang yang berada di toilet menoleh kepadanya. Tidak mau menjadi tontonan gratis orang-orang tersebut maka Mika memilih untuk mendekat ke arah Tania.
"Ada apa?" tanya Mika dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
"Tolong aku," ucap Tania lirih.
"Tolongin apa? Jangan menyuruhku untuk membelikanmu seblak yang terkenal itu ya, karena aku tidak mau jika harus mengantri di sana," jawab Mika ngelantur.
"Heh? Kalau mabuk jangan di sini."
"Habisnya kamu ini nyusahin saja sih."
"Mau nolongin aku tidak sih?" tanya Tania dengan tidak sabar.
"Iya, buruan ngomong." Mika menjawab dengan terpaksa.
"Beliin aku, itu …." Tania ragu untuk meneruskan perkataannya. 
"Itu apaan sih? Ngomong yang jelas dong."
"Itu loh masak kamu tidak tahu sih."
"Ish, ita itu mulu mana aku tahu, aku bukan seorang cenayang, Nona." Mika mulai kesal mendengar perkataan Tania yang bertele-tele.
"Ish, beliin pembalut," ucap Tania dengan pelan namun suaranya masih bisa didengar Mika.
"Apa? Gil* kamu ya, mau ditaruh mana mukaku kalau beli barang kayak gitu, big no." Mika berkata sambil membentuk tanda X di dadanya.
"Please." Tania memohon dengan mimik wajah yang memelas.
"Sekali tidak tetap tidak." Mika jelas saja menolak dengan keras permintaan Tania yang menurutnya akan mempermalukan dirinya itu.
"Hiks …." Tania mulai menangis lagi, semakin lama tangisnya semakin kencang membuat orang di sekitarnya menoleh ke arah Tania.
"Eh, diam napa? Kayak anak kecil saja nangis kencang banget." 
Mika terus berusaha mendiamkan Tania namun percuma saja. Semakin lama banyak orang yang menonton mereka, sontak saja hal itu membuat Mika semakin risih dan ingin segera pergi dari sana.
"Iya iya, aku belikan, sudah, diam sekarang." Akhirnya Mika mengalah, dia memilih untuk menuruti keinginan Tania.
"Benarkah? Terimakasih Mika." Tania menghentikan tangisnya dan matanya langsung berbinar.
"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana."
"Siap bos," ucap Tania sambil memberi hormat kepada Mika.
Mika mengambil motornya dan segera mencari supermarket terdekat. Sepanjang perjalanan dia terus saja mengomel, merutuki dirinya sendiri karena mau-maunya disuruh Tania untuk membelikannya barang yang menurutnya terlarang itu.
Tidak jauh dari tempat diadakannya pesta ternyata ada minimarket dua puluh empat jam. Mika masuk ke dalam dan mencari barang yang dia butuhkan.
"Aduh, yang mana ini? Kok banyak banget sih?" Mika  terlihat kebingungan memilih barang terlarang yang ternyata banyak sekali pilihannya.
"Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya pelayan menawarkan diri untuk mengatasi kesulitan yang dialami pelanggannya.
"Em, saya butuh ini," jawab Mika sambil menunjuk ke rak yang penuh dengan deretan pembalut wanita.
"Mau yang mana, Mas?" tanya pelayan itu sambil tersenyum.
"Yang mana sajalah yang sekiranya nyaman." 
"Loh, kriteria nyaman untuk masing-masing cewek itu berbeda Mas, memangnya Ibunya biasa pakai merk apa?" Pelayan itu bertanya sambil menebak kalau yang membutuhkan pembalut adalah ibunya.
"Ibunya siapa?" tanya Mika sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia merasa kalau pertanyaan barusan sangat aneh.
"Ibunya Mas lah, memangnya siapa lagi."
"Mana saya tahu, Mbak ini aneh, kenapa ngurusin Ibu saya?"
"Loh, bukannya Mas beli pembalut untuk Ibunya Mas ya?"
"Bukan, itu untuk … Ah, sudahlah tidak perlu dibahas. Mbak biasanya pakai yang mana?"
"Kok malah nanya saya pakai yang mana sih? Mas mau beliin buat saya juga ya?" Pelayan itu terus saja tersenyum saat menjawab pertanyaan Mika.
"Astaghfirullah Mbak, ngapain saya beliin buat Mbak? minta saja sama pacar Mbak sendiri. Saya bertanya cuma untuk mencari referensi saja merk apa yang biasanya diminati oleh cewek-cewek." Mika mulai gregetan menghadapi pelayan di depannya.
"Oh, begitu, kalau saya pakai yang ini Mas. Selain nyaman dipakai, daya serapnya juga sangat efektif untuk menampung …." ucapan pelayan itu terjeda karena bentakan Mika.
"Mbak! please deh, saya tidak butuh semua penjelasan Anda karena semua itu tidaklah penting untuk saya. Tolong segera bungkus satu biar saya bisa segera pergi dari sini." Mika tidak tahan berlama-lama di sana.
"Ok Mas, mari ikuti saya ke kasir." Pelayan itu berjalan ke kasir dan diikuti Mika di belakangnya.
"Saya sarankan untuk membeli ini Mas, biasanya cewek mengalami sakit yang tidak tertahankan di hari pertama dapat," ucap pelayan itu sambil menyodorkan sebotol minuman.
"Apaan tuh?" Mika bertanya sambil melihat botol yang disodorkan ke arahnya.
"Minuman pereda nyeri Mas."
"Ok, sekalian, jadi totalnya berapa?"
"Dua puluh lima ribu Mas."
"Nih." Mika menyerahkan uang pas dan berniat segera pergi dari sana, namun niatnya terhenti saat melihat bungkusan yang diberikan kepadanya.
"Mbak, apa tidak ada plastik yang berwarna hitam?"
"Tidak ada Mas."
"Huft." Mika mendengus, dia cuma bisa berharap tidak akan ada teman kampus yang melihat dia membawa barang terlarang itu.
Mika kembali ke tempat Tania, di lobi tidak sengaja dia bertemu dengan Robi, teman kampusnya.
Mat* aku, bisa dibully habis-habisan kalau sampai Robi tahu barang bawaanku.
Mika berjalan sambil menutupi wajahnya dengan satu tangan namun tetap saja ketahuan Robi.
"Mika, ngapain di sini?" Sapaan tak diinginkannya muncul juga, Robi berjalan mendekati Mika.
"Eh, Robi, aku menghadiri acara pernikahan saudaraku, kamu ngapain di sini?"
"Aku menginap di sini." 
"Oh, jangan lupa pengaman." ucap Mika sambil melirik cewek yang ada di sampingnya.
Mika tahu kalau Robi itu doyan banget bergonta-ganti pasangan. Kalau sudah bosan dia akan mencari mangsa baru, ujung-ujungnya diajak check-in. Robi memiliki wajah yang tidak tampan tapi orang tuanya sangat kaya raya makanya dia dengan mudah mendapatkan cewek yang dia inginkan.
"Beres, kamu bawa apa sih? Kok dari tadi kamu sembunyikan di belakang terus?" tanya Robi penasaran dengan bawaan temannya yang menurutnya sangat mencurigakan itu.
"Bukan apa-apa." Mika semakin gencar menyembunyikan barang bawaannya, hal itu membuat Robi semakin penasaran dan berusaha untuk merebutnya.
Mika berusaha mempertahankan barang bawaannya namun Robi terus saja memaksa untuk bisa melihat barang itu. Perebutan yang cukup sengit berakhir dengan Robi sebagai pemenangnya.
Mata Robi membulat saat melihat barang bawaan Mika, tetapi sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak saat mengetahui barang terlarang itu. Kekasih Robi juga tertawa tak kalah kencangnya sampai-sampai orang di sekitar melihat ke arah mereka.
Benar-benar pasangan aneh.
"Sejak kapan kamu mau disuruh-suruh beli kayak gini? Hahaha." Robi terus tertawa sampai perutnya sakit.
"Ketawa aja terus, sakit perut baru tahu rasa kamu." Mika kesal dengan kelakuan Robi dan meninggalkannya bersama kekasihnya.
Saat Mika datang Tania masih terdiam di sudut ruangan sambil menundukkan kepala.
"Nih barangnya," ucap Mika seraya menyodorkan barang terlarang itu kepada Tania.
"Terimakasih," ucap Tania dengan senyum mengembang.
"Cepetan pakai terus kita pulang," titah Mika.
"Tidak usah, ayo pulang."
"Kamu gimana sih? Katanya lagi dapet, kenapa tidak mau pakai? Butuh perjuangan berat untukku mendapatkannya tahu."
"Aku tidak dapat kok."
"Lah terus?"
Mika mencoba mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan kepadanya, dia melihat ke arah Tania yang sedang tersenyum lebar. Mika akhirnya sadar kalau dia hanya dikerjai oleh Tania.
"Tania!"

Komentar Buku (66)

  • avatar
    NgEme

    Saya sangat suka dengan ceritanya, seru

    15d

      0
  • avatar
    NiRa

    ceritanya sangat menarik

    18d

      0
  • avatar
    FahriFahri

    ceritanya sangat menarik

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru