logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 8 Mencoba

Suara piring pecah dan teriakan membuat Nero terbangun. Dia langsung berlari ke bawah melihat apa yang terjadi. Satu persatu ruangan dia datangi tetapi tidak ada apa-apa. Ketika suara isakan terdengar dari dapur, Nero bergegas ke belakang.
Tangan Tania berlumuran darah. Ada pisau jatuh, piring dan gelas yang pecah dan sayuran berhamburan di lantai. Ada apa ini?
"Kamu kenapa?" Nero menarik tangan gadis itu. Membersihkan darahnya di wastafel. Tapi tetap saja mengucur, tidak mau berhenti. Sepertinya harus ditutup, kalau tidak bisa merembes terus darahnya.
"Luka," jawabnya sesegukan.
"Sebentar, om ambil plester." Nero berlari menuju kotak obat. Mengambil perban dan plester. Membalut luka itu. Tidak terlalu dalam sebenarnya. Luka gores biasa, tapi yang terluka ini anak manja. Jadi panjanglah ceritanya.
"Sakit," isaknya. Bibirnya cemberut tak karuan. Persis seperti bocah lima tahun yang menangis karena balonnya diambil.
"Kamu ngapain main pisau segala. Biasanya ga pernah ke dapur juga." Giliran Nero yang memarahinya. Gantian, biar seri. Satu sama.
"Aku mau masak mie. Aku laper." Suara rengekan Tania kali ini persis seperti anak kecil yang ketahuan ibunya curi-curi main pisau di dapur.
"Kan bisa delivery. Ngapain juga masak? Biasanya kalau laper kamu kabur-kabur aja beli di luar." Nada suaranya menyudutkan. Seperti seorang polisi yang sedang meng-intrograsi seorang tahanan.
"Aku maunya indomie rebus pake sayur, jawab gadis itu dengan manja. Saat bicara saja bibirnya ditekuk begitu.
"Kenapa enggak bangunin om?" Nero sedikit panik melihat kondisi Tania. Gadis itu masih meringis kesakitan. Mulutnya meniup bagian lukanya. Memangnya kalau di iup jadi sembuh begitu, ya?
"Enggg ... enggg ... enggg ..." ucapnya terbata. Dia tidak mungkin masuk ke kamar Nero kan? Dia takut.
"Yaudah mulai besok, Bik Ijah ke sini." Nero mencoba membujuknya. Dia tidak tega melihat istrinya harus kerepotan di dapur secara gadis itu selama ini tidak pernah melakukannya.
"Jangan!" kata gadis itu ngotot. Sikapnya benar-benar bikin Nero gemas. Enaknya diapakan ya, kalau begitu?
"Udah, jangan bantah!" Dia balik membentak. Lama-lama kesal juga.
Mendengar nada amarah Nero, suara tangisan makin menjadi.
Setelah menikah, Nero membawa Tania pindah ke rumahnya. Itu juga atas permintaan Bram. Walaupun kepindahan mereka itu mirip seperti drama sinetron, penuh dengan derai air mata. Gadis itu awalnya tidak mau tinggal berdua saja dengan suaminya.
Bram meminta Ijah pengasuh Tania sejak kecil diikut sertakan, tapi gadis itu menolak. Tania tidak mau ada orang lain di rumah Nero, karena nanti ada yang mengadu kepada papanya. Dia tidak mau sekamar dengan suaminya. Semua orang dibuat bingung dengan sikapnya yang masih labil.
Selama ini Nero selalu men-transfer sejumlah uang yang cukup untuk kebutuhan Tania sehari-hari. Belum dari Bram sendiri yang dia tidak tahu berapa jumlahnya.
Untuk makan sehari-hari Nero membebaskannya memilih atau membeli apa saja yang disuka. Dia diberikan mobil tapi harus ijin jika keluar rumah. Kadang-kadang Nero memesan online jika sedang tidak sibuk.
"Udah, jangan nangis. Maafin om, ya. Cuma khawatir kamu kenapa-napa." Dia meraih gadis itu dalam pelukannya. Kasihan juga anak ini.
Tania balas memeluk. Sebenarnya dia suka bermanja-manja seperti ini.
Deg!
Jantung Nero berdetak lagi. Dua bukit kembar gadis itu menempel di dadanya. Dia menelan ludah dengan wajah memerah. Kenapa sekarang rasanya berbeda?
"Eh, Om." Tania melepaskan pelukannya. Nero tersadar. Mereka sama-sama malu.
"Kamu tunggu. Duduk di situ. Om bikinkan mie rebus pake sayur." Nero mengambil alih dapur. Biar begini juga dia masih lebih jago memegang pisau dibanding gadis itu.
Tania mengangguk dan memilih duduk melihat omnya beratraksi memotong sayuran, merebus mie dan telur. Perutnya sudah sangat lapar minta diisi. Sepuluh menit semuanya selesai.
Nero meletakkan dua mangkok besar di meja makan. Mata Tania berbinar-binar melihatnya. Asap panas mie yang masih mengebul membuatnya kalap. Dia makan dengan lahap. Dua porsi indomie rebus habis dalam sekejap. Tania menambahkan banyak cabai di dalam kuahnya. Sehingga beberapa kali mulutnya berdecap karena kepedasan.
Anak-anak masa pertumbuhan makannya banyak juga. Nero berkata dalam hati sambil mengulum senyum. Dia sendiri sudah menghabiskan mie-nya sejak tadi. Memang enak, makan mie berkuah panas di tambah sayuran dan cabai rawit.
"Mulai besok Bik Ijah ke sini. Nanti om telepon papa." Nero masih mencoba membujuk rayu.
Tania menggeleng.
"Kenapa?" Lelaki itu menatap istrinya galak. Sengaja, selama ini dia sudah sabar menghadapi kelakuan bocah ini.
"Nanti Bik Ijah ngadu sama papa," katanya dengan wajah memelas. Memasang puppy eyes, membuat Nero menjadi tidak enak hati.
"Ngadu apa?" Tatapan matanya tajam. Mencari tau alasan kenapa gadis itu menolak.
"Pokoknya aku enggak mau aja." Tania mengalihkan pembicaraan.
Akhirnya, dia mau juga bicara. Sebulan ini rumah mereka seperti neraka. Suara teriakan, amarah, isak tangis, dan bantingan pintu membuatnya tidak betah.
"Yaudah. Bik Ijah sampai sore saja. Habis itu pulang."
Tania balas menatap. Nero berasa perutnya mulas dilihat seperti itu.
"Terserah om aja, deh. Tapi ga usah bilang sama Bik Ijah, kalau kita pi-sah ka-mar ..." Wajahnya terlihat takut saat mengatakan hal itu. Mengalah juga, dengan syarat tentunya.
Nero mengerti. Ternyata ini alasannya kenapa dari awal dia tidak mau Ijah di bawa ke sini. "Gitu dong dari tadi. Pake nangis segala."
"Iya, deh. Lagian aku bosen beli di luar. Makanya tadi pengen masak mie," jawabnya polos.
Melihat ekspresi Tania yang menggemaskan, rasanya Nero ingin menciumnya kalau begini.
"Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama om," bujuknya. Kasihan juga dia melihat gadis itu terluka.
"Enggak mau. Aku takut." Matanya menatap Nero ragu. Sesekali melirik wajah lelaki itu. Batinnya berkata, dia suamimu Tania.
"Takut apa?" Nero menjadi bingung. Apalagi ini?
"Takut om marah." Gadis itu menunduk, memainkan sendok yang ada di mangkok. Tangannya gemetaran, gelisah karena suaminya sedang menatapnya tajam.
"Kenapa om harus marah?" Nero melipat tangan di dada. Sebenarnya bukan untuk menakuti, hanya mengurangi grogi saat berdekatan dengan gadis ini.
Gadis? Iya. Tania masih gadis, belum dia perawani sama sekali. Mungkin suatu saat dia akan melakukannya. Entah kapan waktunya tiba, semoga nanti akan ada keajaiban datang.
"Kan aku suka ngusir-ngusir. Aku sebel sama om." Dia tersipu malu saat mengakui semua kesalahannya.
Nero tertawa dalam hati. Dasar bocah. "Kenapa sebel?"
"Aku enggak mau nikahan sama om."
"Kan papa yang minta. Om nikahin kamu buat jagain." Kali ini Nero menggeser duduknya. Posisi mereka lebih berdekatan. Dia bahkan bisa berbisik di telinga Tania.
"Aku enggak terima." jawabnya cepat. Memang dia tidak mau kan?
"Tapi kita kan udah nikah. Gimana, dong?" Nero tersenyum geli. Lucu sekali kalau sudah begini.
"Om ga marah sama aku?"
"Enggak, asal kamu jangan ngambek terus. Om bingung harus gimana kalau kamu dikit-dikit marah." Tangannya mengusap kepala Tania dengan lembut. Memainkan anak rambut yang terjuntai di kening. Wajah gadis cantik itu berseri senang dengan senyum yang merekah indah.
"Yaudah besok Bik Ijah ke sini temenin aku. Tapi dia jangan nginap," Itulah syarat yang dia ajukan.
"Iya." Nada suara Nero kali ini melembut penuh dengan kasih sayang. Dia mengalah lagi, dari pada harus ribut dan membuat kepalanya semakin pusing.
"Asyik. Makasih, Om." Gadis itu hendak memeluknya, tapi tangannya yang luka tersenggol bahu Nero.
"Aduh!" Dia meringis.
"Kenapa lagi?"
"Sakit ..."
"Hah, dasar manja. Baru luka sedikit sudah mewek. Belum kalau ku--"
Nero menggantung ucapan. Pikirannya sekarang berkelana entah kemana.

Komentar Buku (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru