logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 17 Kecewa

Tania menggeliat di atas kasur, rasanya nyaman sekali tertidur. Sampai dia merasa sesuatu yang berat menindih tubuhnya dan diserang dengan berbagai cumbuan. Siapa ini?
"Bangun anak manja. Sudah sore." Nero menangkup pipi istrinya dengan kuat, sehingga bibir Tania terlihat mengerucut ke depan. Lucu, membuatnya tertawa geli. Apalagi matanya masih terpejam, antar sadar dan tidak.
Nero kembali menghadiahkan sebuah kecupan lembut, membuat Tania akhirnya membuka mata. Dia tertunduk malu, saat mendapati wajah suaminya sedang menatap mesra. 
"Aku nggak tau kalau kamu udah pulang?" Dia mengerjapkan mata berkali-kali. 
"Kamu enak banget tidurnya. Kaya' kebo." Nero mencubit hidungnya gemas. Tangannya mengusap helaian rambut yang terjuntai di pelipis. Aroma harum tubuh istrinya membuatnya menginginkan kemesraan lagi. 
"Tante mana?"
"Di rumah papa. Nginap di sana."
"Katanya mau jalan sama aku sore ini." Dia bergerak menyandarkan tubuhnya di head board ranjang. Kepalanya pusing, berdenyut sejak tadi. Perlakuan Nero kepadanya kemarin malam benar-benar membuatnya lelah. 
"Besok pagi aja. Penerbangannya di undur malem."
"Bik Ijah?"
"Udah mas suruh pulang tadi. Pengen berduaan sama kamu." Lelaki itu mengedipkan mata.
"Mas ini." Tania itu tersipu malu, kemudian mencubit perut suaminya. Lelaki itu mengaduh kesakitan, kemudian balas menggelitik. 
"Aku mau ke kamar mandi," Dia hendak melepaskan diri, tapi malah ditahan dengan sebuah pelukan. 
"Mandi bareng, ya?" bisik Nero.
"Aku mau pipis ini." Dia mengelak, bisa bahaya kalau sampai diulangi.  
"Jangan lama-lama." 
Nero terduduk di kasur, menjelajah isi kamar ini. Setelah kejadian tadi malam apa mereka masih akan pisah kamar? Dia berdoa dalam hati, semoga Tania mau pindah ke kamarnya. Dia ingin mencumbui istrinya sesering mungkin, sesuka hatinya.
Pintu kamar mandi terbuka. Tania muncul dengan wajah segar. 
"Gimana kabar papa?"
"Sehat. Tadi ngobrol lama. Terus Ovi bilang dia mau nginep di sana. Jadi mas tinggal."
Tania mendekati sang suami, duduk di sebelahnya dengan posisi berpelukan. "Mas. Papa kenapa ya kok aneh."
"Apanya yang aneh?"
"Kayaknya papa sakit, deh. Aku lihat banyak rambut rontok di baju waktu pulang dari Singapura."
"Ah, masa' sih?" Nero mengalihkan pembicaraan.
"Aku tanya papa katanya laki-laki emang gitu. Kalau makin tua rambut rontok."
"Ada beberapa. Buktinya mas nggak rontok, padahal usia kita deketan." Tangan Nero mengusap bahu istrinya, sesekali mengecup pucuk kepalanya. Rasanya dia tidak ingin keluar kamar sampai besok pagi. 
"Jangan bohong!" ancam Tania. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, entah apa. Bertanya kepada suaminya pun, tak mendapatkan jawaban yang pasti. 
"Beneran!. Mungkin capek mikirin anak semata wayangnya yang manja," jawabnya asal. 
"Biarin, yang penting papa sayang." Tania membenamkan kepala ke dalam dekapan hangat sang suami. Harum aroma tubuh Nero membuatnya nyaman, juga memberikan rasa tenang.
Kalau sudah begini Nero semakin tidak tahan jadinya. Ingin mengubah posisi mereka, Tania berada di bawahnya, sehingga dia bisa leluasa beraksi.
"Padahal aku masih kangen sama tante."
"Kata Ovi kamu berisik, teriak-teriak." 
"Mas!" Dia memukul dada suaminya karena malu digoda seperti itu. 
Nero memeluknya, menggelitik pinggangnya. Mereka berdua bergulingan di ranjang. 
"Mas mau lagi," bisiknya mesra.
"Apaan?"
"Yang tadi malem," bisik Nero sambil mengusap rambut Tania.
"Masa' diulang lagi? Tunggu hamil dulu baru coba lagi," jawabnya polos.
“Aduh, belum mengerti juga,” rutuk Nero dalam hati. 
"Kan kamu belum hamil juga. Jadi kita ulang aja sekarang," Dia memberikan alasan. Merayu istrinya ini ternyata susah-susah gampang.
"Masih perih ini," tolaknya. Dia memang merasakan hal itu sehingga sedikit takut jika suaminya meminta lagi. 
"Makanya biar enggak perih diulang terus. Lama-lama nanti nggak lagi." Seribu satu cara Nero keluarkan untuk merayu istrinya.
"Enggak mau. Mas nakal, sampai sakit ini." Tania menunjuk dadanya.
"Mana coba lihat?" Lelaki itu mengerling ke arah yang ditunjuk. Dia tersenyum senang, melihat bekas perbuatannya semalam.
"Ini." Tania membuka sedikit bajunya.
Melihat itu Nero langsung mengambil kesempatan. Dalam sekali serang, si cantik berbulu mata lentik itu tak berkutik. Suaminya tak memberikan peluang sedikitpun untuk mengelak. Tubuh mungilnya hanya bisa pasrah menerima. 
Para malaikat di atas sana mungkin sedang menyaksikan percintaan mereka. Percintaan halal suami istri yang penuh rahmat dan kasih sayang. Sambil melantunkan doa-doa agar benih yang ditanam Nero kepada istrinya berbuah.
* * *
Kring!
Suara telepon di tengah malam membangunkan Nero. Tania masih terlelap di sebelahnya seusai percintaan panas mereka tadi. Entah berapa kali mereka mengulanginya, yang pasti Nero benar-benar puas sampai Tania kelelahan.
"Ya, Vi. Ada apa?" Matanya masih mengantuk saat meraih ponsel di nakas. Dia antara sadar dan tidak, dia menjawab panggilan itu.
"Mas Bram di bawa ke rumah sakit," terdengar isak tangis Ovi di sebarang sana
"Apa?! Ya Tuhan!" Nero segera bangun, menyibak selimut dan berganti pakaian.
"Cepat ke sini Nero. Bram koma," Panjang lebar dia menjelaskan.
"Aku ke sana sekarang. Tunggu bentar." Dia mengambil dompet dan kunci mobil. Pelan-pelan keluar kamar agar Tania tidak terbangun.
"Tania gimana?"
"Masih tidur. Jangan dibangunkan. Biar besok pagi aku jemput."
Di tengah malam mobilnya melaju membelah jalanan ibukota. Nero tetap menyetir dengan tenang, bisa bahaya kalau dia panik. Untunglah rumah sakit tempat Bram dirawat tak jauh dari tempat tinggal mereka. 
Sepanjang jalan pikirannya bimbang. Bagaimana nanti menjelaskan semuanya kepada Tania. Istrinya itu pasti akan bertanya kenapa tiba-tiba saja papanya sakit.
Jangan dipikirkan Nero, yang penting saat ini kamu segera sampai di rumah sakit.
* * *
"Papa." Tania menangis di ruang tunggu. Bram belum boleh dibesuk. Mereka bertiga hanya bisa melihat dari ruang kaca. Siapapun tidak diperkenankan melihat, termasuk keluarga dekat.
Sementara itu dokter dan para perawat sedang melakukan tindakan medis. 
"Kita keluar dulu," bujuk Nero. 
"Belum boleh. Kita tunggu nanti hasil dari dokter."
"Papa kenapa, Mas? Papa sakit apa? Kenapa aku enggak tau"
"Sabar. Nanti dokter yang akan jelaskan semuanya," Nero mendekapnya erat.
Tak lama menunggu, seorang dokter keluar dari ruang intensif. 
"Keluarga Bapak Bram?" tanya lelaki berjas putih itu.
"Kami dokter!" Ovi berdiri. 
"Mari ikut ke ruangan saya." 
Mereka bertiga berjalan mengikuti dokter masuk ke dalam sebuah ruangan. 
* * *
Lelaki berjas putih itu tampak tenang saat menjelaskan secara detail dari hasil diagnosanya.
"Kondisi Bapak Bram sedang kritis. Kami sedang berusaha. Kankernya sudah cukup menyebar, tapi tubuh Pak Bram ini kuat sekali. Dia melawannya. Untuk sementara belum bisa dibesuk. Nanti jika ada perubahan yang membaik, pasti akan kami kabari."
Sebuah map hasil pemeriksaan diserahkan dokter itu kepada Ovi.
"Kanker? Sejak kapan, Dokter?" Tania terkejut saat mendengarnya. Dia memandang mereka satu persatu dengan tidak percaya. Apa dokter ini sedang bercanda?
"Sudah dua tahun terakhir ini, Dek. Beliau memang salah satu pasien saya. Waktu itu Pak Bram meminta rujukan ke luar negeri. Setiap bulan atas permintaan beliau, saya yang mendampingi ke Singapura."
“Apa? Jadi selama ini papa bukan meeting tapi berobat?” Batin Tania bergejolak, antara percaya dan tidak dengan apa yang baru saja dia dengar.
Ovi dan Nero hanya terdiam. 
"Mas tau?" Dia menoleh ke arah suaminya dan bertanya. Nero mengangguk. 
"Tante?" Dia bertanya kepada Ovi.
"Iya, Sayang. Kami tau. Maaf." Wanita itu menggenggam tangan Tania dengan penuh penyesalan.
"Kenapa dirahasiakan?" Dia bertanya lagi. Hatinya gamang. Pikirannya kalut.
"Tapi tenang saja. Kami sedang berusaha. Papamu kuat sekali. Pasien saya yang lain biasanya tidak bertahan lama. Tapi papamu ini luar biasa." Dokter tersenyum menepuk bahu Tania.
"Terima kasih, Dokter." 
Mereka kemudian pamit pergi, dengan perasaan yang kacau. Masing-masing menyimpan rasa sedih yang mendalam.
Ovi dan Nero tidak menyadari. Sejak mereka keluar dari ruangan itu, sikap Tania berubah. Dia benar-benar kecewa. Hatinya terluka. Lebih sakit daripada ketika papa memaksanya menikah dengan Nero.
Kenapa hanya dia yang tidak tahu? 
Kenapa mereka menutupinya? 
Kenapa mereka merahasiakannya?
Dia merasa dianggap seperti anak kecil, yang tidak perlu tahu sekalipun kondisi papanya sedang sedang sekarat.
Sejak hari itu, semua sudah tak sama lagi. Dia membencinya. Membenci semuanya.

Komentar Buku (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    19d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru