logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 10 Misi

"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur.
Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Cantik dan harum menggoda.
Nero memandang meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan.
"Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu-persatu menu yang tersaji.
"Engga. Bik Ijah." jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan.
"Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero. Mencari sosok wanita tua yang sedari tadi tak nampak.
"Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawabnya. "Ayo makan. Om pasti lapar kan? Tania temenin." Dia mengambil tempat duduk di sebelah suaminya. Mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya.
Aneh. Nero menjadi curiga. Sebulan ini hubungan mereka mulai membaik. Komunikasi lancar, tapi Tania belum pernah bersikap seperti ini.
Apa ini karena ucapan papanya waktu itu?
Apa yang di rencanakan bocah ini? Nero mulai berfirasat sesuatu.
"Kok bengong? Om ga suka, ya? Enak loh." Senyum manis Tania membuat Nero terpana. Jantungnya berdebar kencang.
"Suka kok. Enak ini!" Dia mengambil nasi goreng dan menyuapnya banyak-banyak. Masakan Bik Ijah emang dahsyat. Berpuluh tahun di dapur, ilmu masaknya sudah mumpuni.
"Tambah, Om. Minumnya?" Tania mengambilkan segelas orange juice. Sewaktu meletakkan gelas di dekat Nero dia sengaja menyentuhkan jarinya ke lengan suaminya dan mengusapnya pelan.
Eh?
"Boleh." Nero mengangguk kaku. Dia menjadi salah tingkah.
"Hari ini, om pulang jam berapa?" Tangannya masih mengelus.
Nero sendiri jadi gemetaran saat mengambil air minum. "A-gak ma-lam se-per-ti-nya. Ada meeting." Dia gelagapan. Apalagi tubuh Tania mulai merapat, dan mereka bersentuhan.
Mimpi apa dia semalam, pagi-pagi begini ketibab rezeki nomplok. Dapat sarapan enak sama dielus istri, batin Nero.
"Nanti ketemu papa, ga?"
Nah kan, benar dugaannya. "Iyalah. Kan sekantor," jawab Nero.
"Om, bilangin papa, ya. Siapa tau papa berubah pikiran. Aku boleh kuliah tahun ini."
Benar, ternyata tersimpan misi bujuk rayu di balik ucapan gadis itu.
Nero mengumpat dalam hati. Anak sama bapak sama aja. Kalau bapaknya ngotot, dia yang disuruh membujuk. Kalau anaknya yang ngambek, dia juga yang harus turun tangan.
"Iya. Nanti om bilang lagi. Semoga papa mau." Dia menambahkan nasi ke piringnya. Kalau sitiasinya begini, makannya jadi lahap.
"Om baik, deh." Tania semakin merapatkan pelukannya. Tangannya melingkari pinggang. Bibirnya berbisik, sedikit lagi menyentuh telinga lelaki itu.
Tuhan! Mau dong kayak begini setiap hari. Nero merapal doa dalam hati. Sementara itu, mulutnya tak berhenti mengunyah.
"Om. Hari ini aku mau jalan sama Clara. Boleh, ya?" Dia meminta izin. Setiap akan kekuar rumah, dia pasti akan memberitahu suaminya, supaya tidak ditelepon terus.
"Mau ke mana?"
"Nge-mall. Sama nyobain ada restoran baru deket kampus yang aku bilang itu, loh." Kali ini menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Nero.
Nero semakin salah tingkah diperlakukan seperti ini. "Oh. Jangan malem-malem pulangnya," pesannya.
"Sampai sore aja, kok. Clara tu mau cari kado buat pacarnya, mau ulang tahun."
"Clara punya pacar?" Lelaki itu menghentikan makannya. Dia serius mendengarkan ucapan gadis ini.
"Iya, dong. Temen-temen aku punya semua. Cuma aku yang ga." Sepertinya dia mulai lupa, kalau sudah bersuami.
"Kamu pengen pacaran?"
"Iya. Tapi, emang boleh aku punya pacar?"
Nero menggelengkan kepala. Mungkin ini sudah takdir yang dipilihnya, harus menikahi seorang anak kecil yang belum beranjak dewasa.
"Kalau dibolehin pacaran, emang kamu mau ngapain?"
Matanya menatap wajah indah yang sedang bersandar bahunya ini. Tania ingin mencurahkan isi hati dan dia siap mendengarkannya.
"Kalau udah jadian, kan bisa jalan bareng. Curhat. Nge-date, kayak yang lain gitu." Gadis itu tertunduk malu.
Tersipu membayangkan memiliki seorang kekasih hati idamannya. Dia mengimpikan indahnya melewati hari, bersama seseorang yang dia cintai.
Nero menggelengkan kepala. Tania, Tania. Kamu tidak tahu saja lelaki di dunia ini buaya. Memangnya mau kalau pacaran cuma begitu? Pasti minta lebih.
"Emang ada yang naksir kamu? Manja begini." Tangannya mencubit hidung bangir di sampingnya. Ingin yang lain, tapi dia tak punya nyali.
"Ada, dong. Kita udah mulai deket kok. Tau-tau aja papa mak-sa a-ku..." Kata-katanya terhenti. Ingat Tania, jangan sampai keceplosan lagi. Bisa gagal rencana-mu.
"Siapa?" tanya Nero galak. Entah kenapa hatinya jadi panas. Ada rasa cemburu, mendengar istrinya membicarakan lelaki lain.
Siapa lelaki itu?
Beraninya mendekati istri orang. Nero sungguh tak terima. Tidak rela Tania-nya direbut orang lain.
"Ah engga kok, Om. Aku cuma bercanda." Dia menuangkan air lagi. "Ini, tambah minumnya." Senyum terukir di bibir. Dalam hatinya terucap, semoga suaminya tidak marah.
"Pacaran aja sama om. Kan suami kamu sendiri," usulnya. Kenapa istrinya harus menjalin hubungan dengan lelaki lain? Kenapa tidak mencoba dengan dia saja? Mana tahu pernikahan mereka bisa berhasil seperti pasangan yang lain. Seperti dia dan Saskia dulu, saling mencintai.
"Tapi kan, aku ga suka sama om."
"Kenapa?" Nero mengernyitkan dahi.
"Om udah tua," jawabnya polos.
Nero menarik napas dalam. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini. Dia menghabiskan makannya dengan cepat, kemudian segera berangkat ke kantor. Meninggalkan istrinya begitu saja.
Tania yang tidak mengerti suasana hati suaminya, memilih untuk bersiap-siap pergi. Sudah terbayang nanti keseruan bersama sahabatnya.
Dia akan mencoba semua menu yang ada di restoran itu. Juga nonton film terbaru dan belanja sedikit untuk menghibur hatinya.
.
.
"Jadi, papa kamu bilang kayak gitu?" Clara menekuk tangan di dagu. Menyimak dengan serius semua yang dikatakan sahabatnya ini. Jadi ikut bingung juga, setelah Tania menceritakan semuanya.
"Iya. Makanya aku bingung. Kalau pun boleh kuliah, ya tahun depan." Tania mengaduk minumannya, agar gulanya tercampur merata. Menyesapnya perlahan, sambil mencocol kentang goreng dengan saus sambal.
Dia sudah menceritakan semuanya. Clara lebih berpengalaman soal ini, karena dia sudah punya pacar.
"Kudu ngasih cucu, ya? Berarti harus making love dulu dong," kata Clara dengan gayanya yang sok dewasa sekali.
"Ya itu kaaan ... ga mungkin aku sama om Nero begituan. Hiiiii ..." Dia menggelengkan kepala. Jijik membayangkan jika itu terjadi antara dirinya dan Nero.
"Eh, tapi kalau kata Ana nih, ya. Kita tuh ngelakuin itu sekali aja udah bisa hamil, kok." Mulut Clara sibuk berbicara sekaligus mengunyah makanan.
"Masa?" Tania mulai serius menanggapi ucapan sahabatnya ini.
"Iya. Jadi kamu tuh cuma sekali aja ngelakuin sama Om Nero, terus bisa hamil. Tapi harus di masa subur kamu." Clara menghabiskan makanannya dalam sekejap.
"Terus?" Dia berhenti makan. Penasaran dengan penjelasan yang sepertinya akan panjang lebar disampaikan.
"Tapi gini, ya. Kita kan masih virgin ni, jadi kalau pertama kali ngelakuin itu pasti sakit banget."
Tania bergidik ngeri. Tak bisa dia membayangkan. Dia takut.
"Masa?"
"Iya. Eh, tapi kan Om Nero kan suami kamu. Sah aja kalau ngelakuin sama dia. Ga bakalan dosa. Lagian dia kan udah pernah nikah, bilang aja pelan-pelan pas nusuk-nya'" ucap Clara santai.
"Nusuk apa?" Gadis itu terbengong.
"Itu, yang waktu kita nonton di rumah Ana. Pas si cowok mau masuk." Clara menjelaskan dengan penuh semangat.
Oh! Tania menutup mulutnya.
Makl saja, dua anak ini pingitan. Jadi untuk tahu hal seperti itu, mereka harus mencuri kesempatan. Orang tua begitu ketat menjaga pergaulan anak gadis mereka. Tidak mau terjadi hal-hal yang buruk kepada mereka.
"Waktu aku tanya Ana, katanya emang sakit beneran. Perih banget. Tapi habis itu enak. Apa coba enaknya?" Clara mengangkat tangan, gayanya semakin sok tahu.
Tania merasa ngilu pada kakinya. Tidak bisa dia bayangkan. "Emang Ana udah begituan sama pacarnya?"
"Katanya udah. Berkali-kali malah. Enjoy aja sih kayaknya." Clara memanggil waitress. Menambah makanan dan minuman. Perbincangan mereka kali ini benar-benar serius sampai memakan waktu yang lama.
"Kamu juga?"
Clara menggeleng. "Ya enggaklah. Bisa diusir papa kalau sampai aku begituan. Oh, no! Lagian katanya kalau ngelakuin sama suami lebih romantis daripada sama pacar."
Tania mengangguk tanda mengerti. "Berarti kalau aku ngelakuin sama om Nero, jadi romantis gitu?"
"Iyalah. Udah sah begitu. Kalau aku sih, udah dari malam pertama ngelakuinnya. Kan romantis, banyak bunga-bunga di ranjang, remang-remang. Ah ..." Clara tersipu malu membayangkan pacarnya.
Tania mulai berpikir. Jika benar apa yang dikatakan Clara, rasanya ga terlalu sulit untuk dilakukan.
"Cuma sekali ya, terus aku minta om Nero pelan-pelan. Terus aku hamil. Melahirkan. Udah, bisa kuliah habis itu. Simple."
Eh?

Komentar Buku (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru