logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Sebuah pengakuan

“Sudah lama tidak bertemu denganmu..” kata Raissa. “Terakhir bertemu ketika aku melihatmu bersama Ruby..”
“Itu 2 minggu lalu..” ujar Nemo.
“Bagiku itu sudah sangat lama..” kata Raissa.
Nemo hanya bisa geleng kepala.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu minum kopi diluar.. tapi aku melihat kamu sangat sibuk”.
“Ya, operasi..”
“Kalau begitu sekarang sudah luang kan?” tanya Raissa.
“YA, tapi aku sedang tak ingin kemana-mana.. ingin istirahat saja”.
Seseorang mendorong pintu.
“Maaf sudah tutup..” kata Nemo.
“Lalu kenapa dia masih bisa berada disini?” tanya Ruby yang melangkah masuk.
“Ruby..”
“Aku datang bukan sebagai owner, aku datang sebagai sahabat!” tukas Raissa.
Ruby melihat jam dinding.
“Aku rasa ini sudah bukan jamnya bertamu.. ini sudah jam 11 malam..”
“Kamu sendiri ngapain kesini jika sudah malam?”
“Aku mengantarkan makan malam untuknya.. Karena aku yakin dia pasti melewatkan makan malamnya lagi..”
“Perhatian sekali.. Aku harap ini bukan perhatian palsu”.
“Aku calon istrinya, Raissa!” tukas Ruby. “2 bulan lagi kami akan menikah! Dan kamu ingat! aku tidak suka kamu terus mengganggu waktu calon suamiku!”
“Lihat, aku benarkan? Ketika kamu memilih dia.. sepertinya pertemanan kita akan tamat!” Raissa meninggalkan tempat itu dengan kesal.
“Raissa..” panggil Nemo.
“Tidak bisakah kamu menghormati aku sebagai calon istrimu? Sudah jelas aku tidak suka dengannya tapi kamu masih saja meladeni dia”.
“Raissa itu temanku sejak dulu, Ruby. Dia juga pelanggan tetap disini.. Tidak mungkin aku menolaknya ketika ingin datang”.
“Haruskah datang pada jam malam seperti ini?” tanya Ruby.
“Dia sudah datang dari tadi.. tapi karena aku sedang ada operasi dia menungguku. Tidak mungkin aku mengusirnya pulang”.
“Oh begitu? Ok.. Baiklah”.
“Kamu kenapa? Datang dan menjadi marah hanya karena melihat Raissa disini? Cemburu? Aku tahu kamu tidak suka dengan dia.. tapi Aku rasa tidak ada yang perlu dicemburui”.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu dan cukup! Aku tak ingin lagi membahas soal Raissa!”
“Siapa yang membahas Raissa? Bukannya kamu yang lebih dulu mempermasalahkan kedatangannya? Aku capek, Ruby.. Jangan memancing pertengkaran”.
“Siapa yang mau bertengkar? Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal!”
“Apa lagi?” tanya Nemo.
“Kamu sepertinya tidak suka saat aku bertemu Nindy.. Kenapa?” tanya Ruby.
“Aku hanya tidak mau kamu terpengaruh dengan ceritanya dan berakibat pada rencana pernikahan kita”.
“Bukankah semua orang menyebut dia gila?”
“Ruby..”
“Kenapa dia begitu ketakutan setelah 4 bulan bekerja denganmu hingga memutuskan untuk keluar?”
“Ada apa Ruby? Apa yang sudah kamu dengar dari Nindy?”
“Kenapa dia bilang kamu adalah sosok yang berbeda? Kamu terlihat dingin dan berlumuran darah?” tanya Ruby. “Tadinya aku pikir mungkin dia memang mengalami masalah dengan psikologi.. Namun setelah aku pikir kembali.. Bagaimana bisa dia tiba tiba begitu ketakutan? Apa yang dia lihat sebenarnya? Kenapa dia menyebut kamu pembunuh? Kenapa Nemo?”
Nemo diam tak menjawab, hanya menatap wajah Ruby dengan kaku.
“Ada yang kamu sembunyikan dariku, Nemo?”
“Ya..” jawab Nemo pendek.
“Apa yang kamu sembunyikan? Kenapa kamu takut aku bicara dengan Nindy? Apa yang kamu lakukan dan ia lihat?” tanya Ruby.
“Kamu yakin ingin tahu?”
“Ya..”
“Tidak takutkah kamu melihatnya?” tanya Nemo.
“Aku tidak ingin ada hal yang aku tidak tahu sebelum kita menikah..” tegas Ruby.
“Ok, ini yang kamu inginkan.. Ikut aku,” Nemo menarik Ruby agar mengikutinya.
“kemana?”
“Ikut saja..”
Nemo menarik Ruby ke sebuah ruangan.
“Aku melakukan semuanya disini..”
“Maksud kamu?”
“Lihat ini..” Nemu menunjukkan gunting bedah.“Nindy benar.. Aku melakukan sebuah kekejian di ruangan ini.. membedah perut.. mengamputasi kaki.. Di ruangan ini tanganku selalu berlumuran darah..”
“Nemo.. Kamu?” wajah Ruby mendadak pucat.
Nemo menjentik dahi Ruby.
“Ah.. Sakit!” protes Ruby.
“Dimana pikiranmu? Kamu tahu apa profesiku?” tanya Nemo.
“Dokter he..wan..”
“Ketika aku melakukan sebuah operasi.. Menurut kamu apakah tanganku tidak akan berlumuran darah?” tanya Nemo. “Apa menurutmu hewan tidak punya darah?”
Ruby menghela nafas lega.
Nemo menggenggam jari Ruby.
“Telapak tanganmu dingin..”
“Aku ketakutan..”
Nemo tertawa dan memeluk Ruby.
“Ayo.. aku bikinkan kopi untukmu,” Nemo merangkul bahu Ruby agar mengikutinya keluar.
Mereka duduk di sofa.
“Maafkan aku sudah menakutimu..”
“Kamu membuatku ketakutan setengah mati..” Ruby memukul lengan Nemo yang hanya tertawa.
“Aku harus bagaimana? Kamu sepertinya kebingungan setelah mendengar cerita dari Nindy”.
“Kakaknya Nindy yang bercerita padaku..”
“Kak Keisha?”
“Ya.. Dia berkata kalau Nindy mengalami sedikit amsalah kejiwaan.. Namun di perjalanan aku tiba-tiba berpikir.. Bagaimana jika apa yang diaktaakn Nindy benar?”
“Kamu kira jika apa yang ia ceritakan itu benar.. aku bisa berjalan kemanapun aku suka? Tentunya kamu tidak akan bertemu aku dan kita tak akan pernah punya rencana untuk menikah.. Kamu akan melihatku di penjara selama bertahun tahun dengan tuduhan pembunuhan berencana”.
“Benar juga..” pikir Ruby.
“Bagaimana aku harus mengatakannya ya? Calon istriku study sejauh itu ke negara eropa namun cara berpikirnya ternyata masih zaman batu?”
“Nemo..” Ruby merengut.
“Kenapa aku suka sekali melihat bibirmu saat merengut seperti itu?” Nemo mengedipkan matanya.
“Apaan sih..” Ruby mendorong Nemo.
Nemo menarik Ruby ke dalam pelukannya. Membuat wajah mereka bertatapan begitu dekat.
“Katanya mau membuatkan aku kopi..”ucap Ruby.
Jantungnya terasa berdetak lebih kencang saat berada sedekat itu dengan Nemo.
“Tapi aku masih ingin memelukmu seperti ini..” Nemo berbisik di telinga Ruby.
“Aku harus pulang.. Sudah malam”.
“Nanti aku yang mengantarmu pulang..”
“Aku bawa mobil sen..” ucapan Ruby terhenti karena mendadak Nemo mencium bibirnya.
“Permisi...” terdengar sebuah panggilan.
Nemo segera bangkit dan berjalankeluar dari ruang istirahat.
“YA..” jawab Nemo. “Maaf, kami sudah tutup”.
“Saya melihat pintu belum dikunci.. Jadi saya pikir saya bisa minta bantuan kesini..” ucap Pria yang berdiri di pintu masuk.
“Ada apa?” tanya Nemo.
“Seseorang menabrak kucing saya.. lihat mulutnya berdarah,” ucap Pria itu.
Nemo memandang wanita yang menangis di samping pria itu.
“Ayo masuk..” kata Nemo.
“Terimakasih, dokter..”
Ruby keluar dari ruang istirahat.
“Kenapa?”
“Kucing mas ini ketabrak.. Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang..” jawab Nemo.
“Oh, tidak apa-apa.. Aku bisa pulang sendiri,” ujar Ruby.
“Hati- hati di jalan..”
“Jangan melewatkan makan malammu lagi..” Ruby mengingatkan.
“Ya..”
“Aku akan menelponmu sesampai di rumah,” Ruby meninggalkan ruangan itu.
Ruby masuk ke dalam mobilnya, memandangi plank nama klinik hewan milik Nemo dan tersenyum.
“Aku tidak pernah suka dengan hewan jenis apapun.Tapi aku akan menikahi seorang yang dunianya dipenuhi hewan.. ironis juga”.
Handphone Ruby berdering.
“ya, pa..”
“Kamu dimana? Sudah malam kenapa belum pulang?”
“Ini mau pulang,pa.. Tadi mampir ke kliniknya Nemo mengantarkan makan malam.. Ruby pikir dia pasti belum makan, karena seharian ini terlalu sibuk dengan jadwal operasi”.
“Ya sudah, hati hati ya nak..”
“Ya, papa..”
Ruby yersenyum meletakkan handphonenya. Tapi sebuah pesan yang masuk membuat ia kembali meraihnya untuk membaca pesan itu.
“Nindy? Mau apa lagi dia? Buaknnya kak Keisha bilang menahan handphonenya?” gumam ruby.
Ia membuka pesan dari Nindy.
“Perhatikan taman belakang.. Kamu akan merasa hawa yang aneh jika duduk disana saat malam hari..”
“Apa maksudnya?” gumam Ruby

Komentar Buku (141)

  • avatar
    CandraLeo

    10000

    6d

      1
  • avatar
    SopyansyahAndre

    terima kasih

    8d

      0
  • avatar
    UlfaNaysa

    bgus bgt 💐

    13d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru