logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Halusinasi Nindy

“Aku pikir mbak Ruby tidak akan datang menemuiku..” kata Nindy.
“Aku tidak punya banyak waktu.. Kamu menelponku terus menerus mengajakku untuk bertemu, aku pikir aku tak ingin mengganggu pekerjaanku nantinya. Jadi hari ini aku putuskan untuk bertemu denganmu,” ucap Ruby.
Nindy tesenyum.
“Jujur saja.. Mbak Ruby sebenarnya penasaran dengan apa yang ingin aku sampaikan, bukan?”
Ruby menatap Nindy.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ruby.
“Tidak penting untuk tahu siapa aku..” jawab Nindy.
“Lalu jika begitu.. Apa yang menurutmu lebih penting?”
“Yang penting itu adalah kamu tahu siapa Nemo sebenarnya”.
“kenapa kamu menyebut dia jahat?”
“karena dia memang penjahat yang sudah menghilangkan banyak nyawa!”
“Apa?”
“Kamu tidak percaya?” tanya Nindy.
“Jangan membuat fitnah, Nindy. Aku kenal Nemo bukan baru kemarin. Sudah bertahun tahun aku mengenal dia”.
“Benarkah?”
“Tidak usah berbelit belit, langsung saja katakan apa yang menurutmu harus aku ketahui!” tukas Ruby.
“Kamu galak sekali..” Nindy tetawa. “Tapi aku tak bisa bicara hari ini padamu”.
“Apa maksud kamu? Aku sudah meluangkan waktu untuk bertemu dan kamu bilang tidak bisa?” Ruby emosi.
“Lihat kebelakang, siapa yang baru masuk ke cafe ini..”
Ruby menoleh. Ia melihat Nemo yang melangkah masuk.
“Ia pasti tidak ingin kamu tahu sehingga menyusul kita kesini..”
“Kamu gila! Dia bahkan tidak tahu aku kesini..”
“Selamat sore, dokter..” sapa Nindy.
Nemo menoleh.
“Nindy?”
“Apa kabar dokter? Punya waktukah untuk duduk bersama kami?” tanya Nindy.
Nemo menoleh pada Ruby.
“Ruby? Sedang apa disini?” tanya Nemo.
“Saya ingin mentraktir mbak Ruby disini..” jelas Nindy.
“Memangnya kalian kenal? Bukannya hari itu adalah pertemuan pertama? Cepat sekali terlihat akrab?” tanya Nemo.
“Sebenarnya..” Ruby tak melanjutkan kata-katanya.
“Tidak apa-apa.. Lanjutkan saja. Aku hanya mampir sebentar disini untuk membeli kopi,” Nemo meninggalkan meja dimana Ruby dan Nindy duduk.
“Sepertinya Nemo tidak suka melihatmu duduk denganku..” Nindy tersenyum kecil.
“Sebaiknya aku pulang..” Ruby segera berdiri.
“Dia sedang membuatmu mengikuti apa yang ia inginkan. Dia tak ingin kamu mendengar apa yang akan aku ungkapkan..” kata Nindy.
Ruby tak menjawab, melangkah menyusul Nemo yang sedang membayar kopi dan sekotak donat di kasir.
“Nemo..” panggil Ruby.
Nemo memandang Ruby.
“Ada apa?”
“Kamu mau kemana?” tanya Ruby.
“Ke rumahmu..” jawab Nemo. “Papa minta dibawakan donat..”
“Aku ikut..” Ruby mengikuti Nemo keluar dari cafe dan masuk ke mobil.
“Bukannya kamu sedang bicara dengan Nindy?”
“Aku ingat papa harus minum obatnya..”
“Aku bisa menggantikanmu melakukannya..”
“Kamu pasti lelah, terlihat mengantuk karena itu kamu membeli kopi untuk perjalanan ke rumahku kan?”
Nemo tersenyum.
“Kamu paham sekali denganku..”
“Aku ini kenal kamu bukan baru kemarin.. sudah tinggal di komplek yang sama sejak kita masih anak-anak”.
“Apa Nindy masih mengatakan hal yang sama?”
“Maksud kamu?”
“Aku tahu dia sejak awal bertemu kamu seperti ingin menceritakan satu hal padamu.. Dia bilang aku ini penjahat kan? Aku menghilangkan nyawa orang?”
“Sebenarnya..”
“Tidak masalah, lebih baik kamu mencari tahu siapa aku sebenarnya sebelum kita benar-benar menikah. Karena setelah pernikahan aku harap tidak ada kata menyesal dan perceraian”.
“Kenapa dia menyebut kamu pembunuh?” tanya Ruby.
“Kenapa tanya aku? Coba kamu tanyakan pada dia.. Bukankah dia yang mengatakan padamu?”
“Ya, tapi gak ada asap jika gak ada api”.
“Dan di dunia cukup banyak orang gila yang berkeliaran tapi terlihat hidup normat seperti tak terjadi apa-apa”.
Ruby terdiam.
“Maafkan aku.. Memiliki keraguan padamu..”
“Kamu berhak melakukannya.. Kita memang kenal sejak anak-anak.. Tapi kamu tak pernah melihatku selama 4 tahun ini..”
“Tetap saja, meski tidak pernah bertemu kita selalu membangun komunikasi..”
Nemo memandang Ruby dan tersenyum.
“Tidak perlu minta maaf.. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun,” kata Nemo.
Ruby tersenyum sambil merangkul leher Nemo.
“Hal yang membuat aku dari dulu jatuh cinta padamu adalah sikapmu yang sangat pengertian dan sabar. Membuat aku tak bisa melihat laki laki lain yang lebih baik darimu..”
“Terimakasih sayang..” Nemo mencium pipi Ruby. “Semoga proses pernikahan kita dilancarkan hingga harinya ya?”
“Aamiin..”
***
Nindy Alicia duduk di hadapan cermin dengan wajah datar.
“Kamu dari mana?” tanya Keisha.
Keisha adalah kakak perempuan Nindy. Sejak usia 14 tahun dan kedua orangtuanya meninggal, Nindy memang hidup hanya berdua dengan kakaknya.
“Kenapa?”
“Sudah aku bilang, kalau mau pergi kasih tau! Aku tidak mau lagi ada masalah selama kamu berada di luar!”
“Apakah aku pembuat masalah?”
“Nindy!”
“Aneh, bakhan kakak kandungku sendiri tidak percaya padaku!”
“Dokter Nemo tadi menelponku, katanya kamu mengusik calon istrinya”.
“Aku?”
“Brrhentilah membuat cerita yang tak masuk akal, Nindy! Aku sudah capek!”
“Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran! Aku ingin orang-orang tahu apa yang sebenarnya terjadi!” Nindy meraih buku gambar di hadapannya.
Leisha menarik buku itu.
“kembalikan,Kak!”
“Buku ini membuat kamu semakin gila! Kamu sudah tenggelam terlalu jauh lewat imaginasi kamu! Sudah tidak berada di dunia nyata lagi!” Keisha keluar dengan membawa buku itu.
“Kak! Berikan! Itu semua ADALAH BARANG BUKTI!”
“Barang bukti apa?”
“Sini!”
“Kamu sudah aku ingatkan untuk tidak keluar rumah lagi!”
“Aku tidak gila kak! Kenapa kakak harus emngurungku? Aku harus keluar mencari orang yang percaya pada kata-kataku kalau ..”
“Cukup, Nindy!”
“Kak..”
“Aku akan membakar buku ini!”
“kak.. Jangan!”
Keisha menutup pintu kamar itu dan menguncinya.
“Kakak! Jangan bakar buku itu! Sudah berapa banyak buku gambarku yang kakak bakar?”
“Berhentilah berhalusinasi dengan gambar gambar yang kamu buat!” Keisha tak bisa menahan amarah dan tangisnya bersamaan.
Nindy memukul pintu dengan kesal.
“Kenapa semua orang menyebut aku gila?” teriak Nindy. “Apa kalian semua tidka tahu kalau aku sedang bersaha melindungi kalian semua dari kematian? Dari kehilangan orang orang yang kalian sayangi?”
Nindy terduduk lemah di lantai, memangis sesenggukan. Ia meraih handphonenya an mencari nama Ruby.
“Aku sudah tidak tahan lagi.. Semua orang menyebutku gila. Tunggu saja akan aku tunjukkan kebenaran itu. Cepat atau lambat semua akan terungkap. Dan kalian akan berhenti menyebut aku GILA..” tulis Nindy.
Nindy mengirimkan pesan itu pada Ruby.
Pintu kamar kembali dibuka. Keisha melangkah masuk.
“Ada apa lagi, kak?”
“Waktunya kamu minum obat..”
“Aku tidak sakit!”
Keisha menarik handphone dari tangan Nindy.
“Apa lagi kak..?”
“Benda ini hanya akan membuat pikiranmu semakin tidak terkendali.. Aku akan menyimpannya”.
“Kakak!”
“Minum obat dan istirahatlah!”
“Tidak mau! Aku sudah bosan dengan semua ini!”
“Nindy! Tidak bisakah sekali saja kamu bekerja sama denganku? Bersikap baiklah! Jangan membuat orangtua kita sedih karena setiap waktu kita selalu bertemgkar!”
“Aku yang ingin meminta dengan kakak! Sekali saja! Tidka bisakah kakak percaya padaku?”
“Aku percaya padamu tapi tidka dengan apa yang kamu pikirkan. Halusinasi kamu itu bukan hal yang real!” Keisha segera keluar dari kamar itu.
“Kakak! Suatu hari nanti kakak dan semua yang lain akan menyesal!”

Komentar Buku (141)

  • avatar
    CandraLeo

    10000

    6d

      1
  • avatar
    SopyansyahAndre

    terima kasih

    8d

      0
  • avatar
    UlfaNaysa

    bgus bgt 💐

    13d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru