logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2. Petaka

Part 2
Petaka
Gerakan Andrew terhenti saat sebuah kapak mendarat dipunggungnya.
Aku yang menyaksikan pun tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana pun berusaha menghentikan, tetap saja tak berarti. Karena aku tak terlihat oleh mereka.
Entah, dari mana Lukman mendapatkan kapak itu. Yang pasti, kapak itu sudah berada di tangannya. Andrew langsung tersungkur ke lantai.
Melihat kesempatan itu, Lukman langsung mengayunkan kapak itu berulang kali ke tubuh Andrew.
Aku hanya melongo menyaksikan semuanya. Air mata tak bisa dibendung lagi dan jatuh membasahi kedua pipiku.
Sementara itu, Shinta kembali bangun dan langsung menghujamkan kapak yang ada di tangan Lukman ke dada Andrew.
Selain itu, Shinta menghampiri seorang balita yang berada di box bayi, sekitar berusia satu tahun.
Andrew yang melihat sangat ketakutan dan memohon pada Shinta agar tidak melakukan apapun pada balita itu. Walau dia pun sedang dalam keadaan sekarat.
"Shi--Shinta ... Ja--jangan ... ka--kau ... la--lakukan ... a--apa puun ... pada ... anak kita." Andrew sangat memohon.
Sedangkan aku mencoba untuk menggendong dan melindungi balita itu, tetapi sia-sia. Aku tak bisa dan hanya menembus tubuh mungil tersebut.
Shinta yang sudah kesetanan tak perduli lagi dengan perkataan Andrew, suaminya. Dia terus menghampiri dan ....
"Jangan Mbak Shinta, jangaaaannn ...." Aku pun ikut memohon.
Crak! Crak!
Percuma, suaraku tak bisa dia dengar. Shinta melayangkan kapak di tangannya sebanyak dua kali ke arah balita tersebut dengan sadisnya.
Aku terduduk lemas dan hanya bisa menangis sesegukan. Selain itu, aku benar-benar tak sanggup menyaksikan pembantaian sadis ini.
Di hati Shinta sudah tak mempunyai rasa keibuan lagi, dia raih jenazah putrinya dan melemparkan ke tubuh Andrew.
Andrew menangis dan memeluk erat putrinya. Walau dia sudah sekarat, Andrew masih memiliki rasa kasih terhadap putri semata wayangnya.
"Dengar Andrew, semua harta ini sudah kupindahtangankan atas namaku. Hahahaha ...." Shinta begitu senang, begitu pun dengan Lukman.
"Shinta ... kau ... tak akan ... bi--bisa ... mengambil ... se--mua ... hartaku. Karena ... se--muanya ... sudah ... a--aku ... hibahkan ... ke ... se-luruh ... panti ... a--asuhan. Surat ... yang ... ka--kau ambil ... a--dalah ... palsu."
Terlihat senyum kemenangan di wajah Andrew. Tetapi, tidak di Shinta. Dia marah dan langsung menghujamkan kapak itu tepat mengenai kepala Andrew.
Andrew meninggal dengan sangat tragis bersama putri yang berada dalam pelukannya.
Tidak itu saja, karena merasa kesal, Shinta dan Lukman memutilasi kedua jenazah tersebut walau mereka masih dalam keadaan telanjang bulat.
Shinta dan Lukman memang benar-benar sadis. Tubuh yang sudah mereka mutilasi itu dimasukan dalam sebuah koper besar. Kemudian mereka membersihkan ruangan itu dan tubuh mereka.
Kini kamar besar bekas pembantaian itu sudah bersih dari darah dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Shinta dan Lukman membawa koper besar itu pergi dari rumah.
"Maaf, Mbak, aku telah mengajakmu ke sini." Tiba-tiba Andrew datang.
Aku sangat terkejut dengan kehadirannya. Wajahnya yang semula pucat pasi, kini dipenuhi dengan darah. Walau takut melihatnya, tetapi rasa iba-ku lebih besar. Aku bertekad akan membantu mencari jasadnya dan memberitahukan siapa pembunuhnya.
Andrew bukanlah pembunuh, tapi ia adalah korban sebenarnya. Entah, kenapa dia mengatakan bahwa telah membunuh anak dan istrinya.
"Mas, tadi kamu bilang, Mas telah membunuh istri dan anakmu. Tapi, kenyataanya?" Aku mencoba bertanya.
"Ya, aku telah membunuh istriku. Istri yang dulu kucinta, telah terbunuh dari dalam hatiku." Andrew terlihat mengusap air matanya.
"Aku telah membunuh anakku. Karena, sebelum melabrak perselingkuhannya, aku tidak mengamankan anakku terlebih dulu," lanjutnya lagi.
Terlihat sekali penyesalan diwajahnya. Aku hanya bisa menghiburnya sedikit.
"Mas, aku akan membantumu sebisaku. Yang terpenting, jasadmu harus segera ditemukan," ujarku.
"Mbak, di dalam laci meja rias itu telah kuletakan kamera untuk merekam semua perbuatan mereka. Awalnya, aku hanya ingin menyelidiki kebenaran tentang perselingkuhan istriku, Shinta. Tapi tak menyangka akhirnya akan seperti ini."
Andrew menunjuk meja rias yang berada tepat di depan ranjang di mana Shinta--istrinya-- telah melakukan zina.
"Ini kuncinya." Dia memberikan sebuah kunci padaku.
Kuterima kunci itu, kemudian berjalan menghampiri meja rias tersebut dan mencoba membukanya.
Tapi tidak bisa, karena aku seperti roh yang sedang berjalan. Andrew mentertawakan kebodohanku.
"Hahahahaha ... mana bisa kamu membukanya. Kamu harus secara nyata datang ke rumah ini dan temukan kameranya sebelum mereka yang menemukannya."
"Tapi, aku tak tahu di mana alamat rumahmu ini."
"Aku akan memberikan petunjuk agar kau sampai di sini dan segera berikan bukti nyata ini ke kantor polisi."
"Dan tolong temukan jasad kami, di mana mereka membuangnya."
Saat Andrew memegang tanganku, aku seperti tersedot dan masuk dalam lingkaran waktu. Lalu, seketika sudah berada kembali di taman tempat bertemu dengan Andrew.
Tapi, Andrew tak terlihat di sana. Yang ada hanya kerumunan orang yang mengelilingiku.
"Alhamdulillah ... Kamu sudah sadar, Nak," ucap seorang ibu tua yang berada di sampingku.
"Emang ada apa, Bu?" tanyaku.
"Dari kejauhan ibu lihat kamu seperti berbicara sendiri. Setelah itu jatuh pingsan."
"Iya, Dek. Bu Odah lalu memanggil kami dan minta tolong mengangkatmu ke warungnya ini," sahut abang-abang yang berada di belakang Bu Odah.
"Terima kasih, Bu, Bang," ucapku.
"Kalau adek mau pulang, nanti abang antarkan," tawar abang itu.
"Terima kasih, Bang. Gak usah," sahutku.
Aku pun berusaha bangun dari kursi panjang tempatku berbaring. Tetapi, tubuh ini langsung limbung dan hampir jatuh. Beruntung Bu Odah langsung menangkap tubuhku.
"Tuh, kan, belum bisa berdiri sendiri. Biar abang antar, ya?" ucap abang-abang tadi.
Aku pun mengiyakan agar segera pulang dan bisa dengan cepat membantu mencari jasad Andrew dan anaknya yang dibawa Lukman dan Shinta.
***
Sesampai di kosan, aku segera beristirahat. Kebetulan hari sudah senja. Sebelumnya, aku membersihkan diri dan sholat.
Baru saja selesai sholat, aku di kejutkan dengan kehadiran Andrew.
"Mbak, kapan kira-kira ke rumahku?"
"Kapan kamu mau menuntunku menuju ke rumahmu?" Aku balik bertanya sambil merapikan tempat sholat.
"Kalau malam ini?"
"Sebenarnya aku masih lemas, takut gak bisa maksimal melakukan pencarian."
"Ya sudah, besok pagi setelah sholat subuh. Gimana?"
"Ya, udah. Oke deh. Aku mau istirahat dulu. Oh, ya, kalau mau datang, jangan ngagetin. Paling tidak ucapkan salam dulu," sewotku.
"Siap, Bos." Dia pun tiba-tiba hilang.
"Dasar hantu." Aku ngedumel sendiri.
"Eits, jangan anggap remeh aku, ya. Biar hantu, aku masih ganteng." Andrew tersenyum.
Syukurlah aku bisa membuatnya tersenyum. Walau dia hantu, tapi rasa takutku sudah tak ada lagi.
***
Setelah sholat subuh, Andrew sudah menunggu di luar kamar kost-ku. Dia sedang duduk termenung di sofa ruang tamu.
"Hei, yuk kita berangkat!"
"Berangkat kemana, Salsa?" Tiba-tiba Aira, teman kost, keluar dari kamarnya.
"Kamu ngomong sama siapa, sih?" tanyanya lagi.
"Ah, gak sama siapa-siapa kok. Aku sedang nelpon teman kerjaku, kok. Nih, pakai headset."
Aku perlihatkan headset yang nempel di telinga. Beruntunglah, kebiasaan memakai headset saat keluar kamar bisa memberikan alasan untukku.
"Tapi, subuh begini kamu mau kemana?" tanya Aira penuh kecurigaan.
"Eemmm ... mau pulang kampung," sahutku asal.
"Hah! Tumben kamu gak bilang terlebih dulu."
"Dadakan, Ra. Baru tadi malam aku di beritahu, bahwa ayah sedang sakit." Aku mencoba berbohong.
"Tolong beritahukan sama ibu kos, aku gak sempat," lanjutku.
"Oke, deh. Hati-hati, ya, Sa."
Aku mengangkat kedua jempolku.
"Aku berangkat dulu, Assalamualaikum ...."
Aku langsung melesat membelah jalan bersama matic kesayanganku. Di jok belakang, duduk Andrew memberikan petunjuk arah menuju ke rumahnya.
"Woow ... lumayan jauh juga ya, rumahmu. Sudah hampir dua jam ini masih belum nyampe."
"Maaf, Salsa." Hanya itu yang diucapkan Andrew.
"Rumah kamu jauh dari kotaku, kok bisa sih hantumu ini nyasar ke tempatku?" tanyaku dengan maksud bercanda.
"Entahlah, aku juga bingung," jawabnya.
Tidak berapa lama, kami pun memasuki sebuah gang. Awal memasuki gang, terlihat banyak rumah mewah berderet di sana.
"Hhhmmm ... rumah Andrew berada di kawasan elit," gumamku lirih.
"Kamu mengatakan sesuatu?" tanya Andrew.
"Di sini hampir semuanya rumah mewah, ya! Yang mana rumahmu?"
"Itu dia yang cat berwarna hijau dengan pagar abu-abu." Andrew menunjuk salah satu rumah yang di yakini adalah rumahnya.
Aku berhenti tepat di depan pagar rumah itu. Kuperhatikan dengan teliti, bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumah itu. Pagar besi rumahnya pun seperti terkunci.
Saat berpikir cara memasuki rumah tersebut, tiba-tiba pintu pagar seperti ada yang membuka. Aku terkejut. Dengan hati yang dag dig dug, kutunggu siapa yang membuka pagar itu.
Saat pagar terbuka, muncullah Andrew dari dalam dengan wajah cengengesan.
"Ya ampun, Andrew, aku sudah dag dig dug takut ketahuan, kamu malah tertawa."
"Maaf, Salsa. Yuk, masuk, bawa skutermu dan letakan di bawah pohon itu."
Saat memasuki halaman rumah itu, aku teringat saat berada di alam bawah sadarku. Sama persis seperti yang aku lihat sebelumnya.
Setelah memarkir matic di bawah pohon yang dikatakan Andrew, aku segera melangkah masuk ke rumah besar itu. Karena tak ingin membuang-buang waktu lagi, aku pun langsung menuju ke kamar utama.
Di dalam kamar itu, terlihat pemandangan yang membuatku bertanya-tanya. Kamar itu sudah porak poranda seperti ada yang masuk dan meobrak abrik tempat itu mencari sesuatu.
Sesuatu. Ya, baru aku sadar, jangan-jangan mereka sudah tahu kalau ada kamera yang tersembunyi.
Aku segera memeriksa laci yang dikatakan Andrew. Laci itu masih terkunci. Dengan gerakan cepat, kubuka laci tersebut dan mengambil kamera yang ada di dalamnya.
Segera saja aku menuju keluar dan ingin meninggalkan rumah bekas pembantaian ini.
Tetapi, ada suara mobil terparkir tepat di depan pintu.
"Ya ampun, pembunuh sadis itu sudah tiba di sini," teriakku tertahan.
Yang membuat aku lebih panik lagi, pintu luar lupa ditutup. Bagaimana ini?
____________________

Komentar Buku (242)

  • avatar
    zulizalzul

    I don't have wanna say this is so scary and good novel

    11d

      0
  • avatar
    Rainiee

    ini menurutku bagus dann plot twist bgtt,kerenn dehh bagus bgtt

    14d

      0
  • avatar
    Rosadlin Lin

    bestt gilaa

    14d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru