logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Berkemah

"Udara mulai mendingin, pakai jaket kalian," ujar Giand dengan suara menggigil.
Aku hanya menoleh ke arah yang lain, posisi dudukku yang paling dekat dengan perapian membuatku tidak begitu merasa dingin. Tetapi pada akhirnya aku mengenakan jaketku karena Evyta sudah tidak sabar untuk mengadakan permainan Truth or Dare. Anak itu memang memiliki kebiasaan bersikap bossy, Ia selalu bertingkah seolah-olah dirinya bisa mengatur segalanya. Aku tidak terlalu tertarik dengan permainan seperti ini karena sama saja mengundi nasib dengan cara yang konyol. Tetapi bagaimanapun aku tetap harus berterima kasih pada teman-temanku ini karena aku bisa memiliki harapan untuk melupakan Algha, meski sejenak.
Charly bernasib buruk kali ini, ujung botol berkali-kali terhenti mengarah kepadanya setelah diputar sedemikian rupa, bahkan Ia juga sempat memintanya untuk mengulang putaran sendiri, tetapi tetap saja Ia mendapat giliran lagi dan lagi. Karena Ia memilih Truth, kami melontarkan pertanyaan yang harus Ia jawab dengan jujur. Giand yang terlalu usil, menanyainya tentang kehidupan asmaranya.
"Sudah kubilang berkali-kali aku tidak punya kekasih," gerutu Charly.
"Ah, tapi aku pernah memergokimu menggandeng seorang gadis di akunmu. Kau menghapusnya karena mungkin Kau akan berganti gadis yang lain. Iya 'kan?" Giand tidak kalah mengotot.
"Charly itu kalau urusan wanita terlalu tidak meyakinkan, yang jelas Ia tipe badboy," cibir Sharon.
"Benar, Kau ini tipe badboy. Menurutku Kau lebih baik tidak usah berpacaran saja sekalian. Percayalah, Charly. One night stand itu lebih enak," ujar June disusul gelak tawa keempat temanku yang lain.
Aku sendiri tidak berkomentar apapun tentang apa yang mereka bahas mengenai Charly dan sikapnya. Ini mengingatkanku pada Algha. Meski aku tidak pernah merasakan sakit hati atas perilaku Charly --karena mungkin Ia bagiku hanya teman, tetapi Ia cukup membuat pikiranku tertuju pada Algha.
"Nah, sekarang giliran Alisha," seru Bernard.
"Lho, bagaimana bisa?" aku bahkan tidak tahu kapan salah satu dari mereka memutar botol bir yang masih penuh ini.
"Ujungnya mengarah padamu," seru Charly dengan senang hati, Ia pasti merasa terbebas setelah empat kali digilas dengan tantangan.
"Kau pilih truth atau dare, Alisha?" tanya Sharon.
"Truth saja," jawabku tidak yakin.
Mereka menghujaniku dengan bermacam-macam pertanyaan, aku sampai berteriak agar cukup satu saja yang perlu kujawab. Dan tentu saja mereka sepakat untuk memintaku menjawab tentang sikapku yang terlalu mencolok hari ini serta hubunganku dengan Algha. Bagaimanapun aku menyembunyikannya, mereka tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
"Benar, aku dan Algha putus," lirihku. Mereka terbelalak tidak terkecuali Charly, bukankah seharusnya Ia biasa saja karena kehidupan asmaranya pun putus nyambung?
"Bagaimana bisa?"
"Kapan tepatnya?"
"Seminggu yang lalu," jawabku singkat.
Sekarang aku bisa bercerita pada mereka meski dengan berat hati, rasanya sangat amat menyakitkan. Aku menyembunyikan ini dari siapapun. Awalnya hanya prasangka, saat itu aku bahkan malu karena telah berburuk sangka pada Algha. Aku mengenal gadis yang terlalu dekat dengan Algha meski tidak akrab, Ia teman seangkatannya. Sarah namanya. Aku yakin teman-temanku juga tidak asing dengan nama itu.
"Ngomong-ngomong mengapa Kau tidak membaca pesanku sama sekali? Padahal aku memberitahumu sesuatu, bahkan sangat berkaitan dengan Algha," Bernard berkata dengan nada menyesal. Mungkin Ia akan memberitahuku siang tadi, tetapi Ia mengurungkannya begitu tahu bagaimana situasiku.
"Pesan yang mana? Kau tidak mengirimiku pesan apapun," ujarku.
Aku yakin Bernard pasti mengada-ada, kubuka handphone-ku dan kutunjukkan kepadanya bahwa kotak pesan darinya benar-benar kosong. Ia terkejut sekaligus bingung, aku memintanya menunjukkan layar handphone-nya agar tahu pesan apa yang Ia kirimkan kepadaku. Bernard mengatakan kepadaku tiga minggu yang lalu bahwa Ia sudah tiga kali memergoki Algha berkencan dengan seseorang yang kukenal.
"Aha! Mungkin waktu itu handphone-mu sedang dipegang Algha, jadi Ia menghapusnya sebelum Kau membacanya," cetus June.
Mungkin. Sangat mungkin. Algha memang memiliki akses tak terbatas untuk menyentuh barang-barang di rumahku. Ia hampir mengetahui semua barang milikku, akupun tidak keberatan akan hal itu. Ia kekasihku dan tidak masalah jika Ia juga turut menyentuh barang-barangku. Bahkan aku nyaris tidak memiliki privasi di matanya. Ia tahu segalanya tentangku mulai dari jadwal belajar, tugas, simpanan makanan, bahkan hal remeh temeh seperti pernak-pernik mainanku.
"Ekhm, sudahlah. Kupikir jalan hidupmu masih sangat panjang, masih banyak lelaki yang mungkin sangat mencintaimu lebih dari Algha. Kau tidak perlu berlebihan seperti ini, Alisha. Lupakan Ia pelan-pelan, anggap saja ini pembelajaran untukmu bahwa manusia tidak bisa berharap secara berlebihan," ucap Sharon.
Aku menghela napas, rasanya berat dan sesak. Meski angin laut berhembus sangat kencang, rongga dadaku seakan kekurangan oksigen dan membuatku sesak. Mataku menerawang ke pemandangan pantai di mana alunan ombaknya saling memburu. Suara gemuruh semakin meyakinkan bahwa angin menghantam-hantam air laut dengan sangat kencang. Tetapi terlepas dari itu pikiranku kosong, aku sudah tidak sanggup lagi menampung rasa sakit hatiku pada Algha.
Tunggu, apakah benar jika aku menyalahkan Algha? Atau seharusnya membenci gadis itu? Bagaimana pun Ia tahu kalau Algha adalah milikku, tidak seharusnya Ia seenak hati merebutnya dariku. Sarah, bagaimana bisa Kau melakukannya? Aku tidak dekat dengan gadis itu, Ia sekitar lima tahun di atasku, sama seperti Algha. Mungkinkah Algha memang mengharapkan gadis yang seumuran dengannya? Ah, aku tidak tahu. Tetap saja gadis itu tidak seharusnya merebutnya dari tanganku.
"Permainannya ada di sini tetapi mata Alisha tak lepas dari laut," Evyta menyindirku.
Aku terkesiap dan memaksa diri untuk kembali mengikuti permainan teman-temanku yang konyol, kali ini Charly memimpin mereka membaca tarot-tarot di depannya. Padahal Ia tidak tahu apapun tentang tarot, yang lain pun tidak menganggap apa yang Ia ramalkan serius. Mungkin jika suasana hatiku sedang bisa diajak kompromi aku akan menertawainya habis-habisan karena Ia seharusnya bermain kartu judi saja. Ia lebih bisa memainkan itu, suatu hari Ia pernah bercerita kepadaku bahwa Ia beberapa kali menyelinap ke kelab malam dan ikut mencoba mengundi nasib di meja judi. Ia memaksaku merahasiakan setelahnya karena Ia masih di bawah umur.
Setelah dirasa cukup mengantuk, kami memasuki tenda masing-masing. Satu tenda untuk putri dan satu tenda lagi untuk putra.
"Guys, jangan lupa datang ke wisudaku," seru Charly dari tenda sebelah.
"Ah, masih lama. Tidak usah senang dulu, Kau bahkan belum menyentuh soal ujiannya!" suara Bernard menyahut, Giand terdengar tertawa.
"Ngomong-ngomong Kau akan masuk ke kampus mana?" Sharon berbisik kepadaku.
"Sebenarnya aku ingin masuk Bilimdi, tapi bukankah itu terlalu khayal? Mungkin aku akan tetap di sini, sama seperti June," jawabku.
"Sidorfa tidak terlalu buruk, menurutku," Sharon mengaminkan.
Aku bergelung memeluk tubuhku sendiri, membelakangi ketiga temanku. Sayup-sayup dari kain tenda yang terlalu tipis amukan ombak tampak semakin menjadi-jadi. Udara memang sangat dingin tetapi baru terasa setelah kami menjauh dari area perapian. Titik-titik embun mulai berjatuhan mengalir di badan kain tenda.
Hari ini meski menyenangkan tetapi aku tidak menyangkal bahwa aku masih belum bisa melupakan Algha. Aku belum bisa melupakannya dan juga memaafkannya. Mungkin besok akan berbeda, besok masih ada acara lagi yang bisa kulakukan bersama teman-temanku di sini. Kupejamkan mataku erat-erat bersama air mata yang akhirnya menetes membasahi pipiku yang dingin.
***

Komentar Buku (30)

  • avatar
    Nurshahirah Kay

    good,😘

    19/07

      0
  • avatar
    izwanFarshanda

    bole lh

    13/07

      0
  • avatar
    SulistyawatiWahyu

    bagus buat dijadiin buku ╥﹏╥♡

    28/11

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru