logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

PIL AJAIB

“Lo sudah ketemu om Arez?” tanya Sully pada Rania dengan wajah yang menyembul dari balik laptop.
Rania mengangguk mengabaikan tatapan penasaran Sully. Saat ini ia tengah fokus mengerjakan tugas kuliah dari Pak Bagas tentang Hukum Pidana yang akan dipresentasikan siang nanti.
“Waah, laptop baru? Berapa digit dia transfer lo?”
“Harus banget ya, lo bertanya itu? Mending lo kerjakan tugas dari Pak Bagas deh,” ucap Rania yang membuat Sully berdecak protes, “Jangan lupa nanti presentasi lo yang menerangkan di depan kelas,” lanjut Rania lagi mengingatkan Sully.
“No! No! Kenapa harus gue? Kan ada lo!” pekik Sully tidak terima.
Rania tidak lagi mendengar ucapan Sully dan lebih memilih menyandarkan punggungnya di sandaran kursi begitu saja. Ia memperhatikan orang sekitar yang sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing. Saat ini ia berada di foodcourt kantin fakultas Hukum di salah satu kampus yang lumayan bonafit di Jakarta.
“Lo jadi pindah ke apartemen om Arez hari ini?” tanya Sully lirih sambal matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Takut ada yang mendengar pertanyaannya.
Rania tidak menjawab dan hanya tersenyum tipis. Kemarin sore dia sempat terkejut dengan banyaknya digit angka yang masuk ke rekeningnya. Sebagian dari uang itu sudah ia pakai untuk membayar kost yang nunggak berbulan-bulan dan untuk membayar biaya SPP dua semester, juga biaya praktik magangnya hari ini. Sisanya untuk membeli laptop.
Habis.
Tinggal dua ratus ribu untuk membayar ojek online yang akan mengantarkannya ke apartemen lelaki itu.
Sebenarnya Rania bukan gadis yang boros, Ia juga tidak memiliki gaya hidup hedon yang suka menghambur-hamburkan uang. Uang apa yang akan ia hamburkan jika kiriman dari orang tuanya terlalu pas-pasan? Bukan ia menyalahkan orang tuanya. Tidak sama sekali. Rania anak berbakti yang tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya meski dengan cara yang salah. Menjadi simpanan seorang pria kaya, sugar baby, baby girl, atau apapun istilahnya, yang jelas ia merasa jalan ini salah, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Rania mendesah. Ia kembali duduk tegak sambil membetulkan letak kacamatanya. Melirik sekilas pada wajah Sully yang menatapnya dengan penasaran. Berusaha mengabaikan tatapan itu, Rania berusaha untuk kembali konsentrasi menatap layar monitor laptop 24inci sementara jemarinya aktif menggerakkan mouse dan telinganya sibuk mendengarkan pertanyaan Sully yang semakin berisik.
“Stt… apa lo udah melakukan ‘itu’ sama Om Arez? Bagaimana? Apa dia hebat di ranjang?” tanya Sully sambil menangkup kedua pipinya yang memerah.
Rania kembali menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil mendesah pelan. Memijat kening dengan gerakan memutar agar peningnya berangsur-angsur membaik. Sudah lima menit berlalu sejak Sully bertanya dan ia tak mampu menjawabnya.
Memikirkan hal itu saja sudah membuat hatinya gamang. Rania dilema. Antara menjadi gadis baik-baik kebanggan orang tuanya atau gadis bejat yang rela menjual kehormatannya.
Astaga. Apakah dia bisa mundur sekarang? Tapi bagaimana cara mengembalikan uang Om Arez yang sudah dipakainya?
Rania menyingkirkan laptop di depannya ke samping dan berdiam diri dengan ponsel selama beberapa menit. Mencoba berpikir dengan kepala dingin solusi dari semua permasalahan yang menjeratnya.
Sully menyenggol siku Rania dan menatap penuh tanya pada gadis yang tengah larut dalam dunianya itu.
“Ra, lo baik-baik saja?”
“Gue nggak apa-apa,” kilah Rania kembali menscrol layar ponselnya.
“Lo kalau mau mundur, gue akan bilang sama Om Arez,” kata Sully sambil merampas ponsel Rania dan menaruhnya kembali di atas meja.
“Gue sebenarnya juga nggak ingin lo melakukan ini, Ra. Lo jangan sampe bejat seperti gue. Cukup gue yang terjerumus. Gue terlalu ngikutin gaya hidup temen-temen gue. Papa gue kerja mati-matian buat gue. Tapi gue dengan seenaknya berfoya-foya. Hingga Papa bangkrut dan meninggalkan banyak utang, lalu mama gue pergi dengan laki-laki lain, dan gue jual diri,” terdengar helaan napas Sully yang terasa berat dan Lelah.
“Sull—"
“Apa gue bisa menebus semua kegilaan gue dengan bantu lo agar tidak terjebak dalam lubang hitam yang sama?” tanya Sully ragu. “Sungguh, Ra, gue ingin bantu lo, tapi lo tahu sendiri, kan? Dwit gue selalu habis dirampas para penagih utang keparat itu.”
“Gue nggak tahu, Sull. Gue juga nggak tahu kenapa gue pakai uang Om Arez buat membayar semua keperluan gue. Da kalo gue berhenti? Bagaimana cara gue mengembalikan uangnya?” tanya Rania sepelan mungkin. “Gue terlalu terburu napsu dan takut gagal. Hingga gue nggak berpikir akibatnya terlalu fatal buat gue.”
Selama beberapa detik tak ada satupun yang bersuara. Rania dan Sully larut dalam pikiran mereka masing-masing.
“Bagaimana kalau gue yang menggantikan lo?”
Rania mendelik, “No! Bagaimana bisa? Lo menggantikan gue karena kesalahan yang gue lakukan?”
“Gue udah terlanjur rusak, Ra.”
“Dan bukankah lo mau mencoba berhenti?”
Sully menatap Rania yang tengah menatapnya juga, “Gue ingin. Tapi gue nggak bisa. Gue harus membiayai hidup gue, kuliah gue, adik-adik gue, utang keluarga gue, selama papa masih ada di penjara.”
“Kenapa? Bukankah Bobby berjanji mau menikahi lo?”
Sully menggeleng.
“Lalu?” tanya Rania sambil menyipitkan mata ke arah Sully sambil meraih botol air minum kemasan di depannya.
“Bobby anak kesayangan maminya, Ra. Dia udah dijodohkan. Dan dia ingin gue jadi istri kedua. Ogah!” tukas Sully yang membuat Rania tersedak. Alhasil air yang berada di dalam mulutnya tersembur ke arah meja dan membasahi kemeja lengan pendek-nya.
Sully terkikik geli. Sementara Rania mengambil tisu untuk membersihkan baju-nya.
“Gue kadang nggak mengerti, Sull,” Rania menatap Sully intens, “Kenapa kita melakukan semua ini?”
“Demi masa depan, Ra?”
Holy crap!! Rania mengumpat dalam hati.
“Masa depan yang bagaimana, Sull? Kita sudah nggak punya masa depan?”
Sully yang duduk di depan Rania melayangkan pandangan tak percaya, “Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana,” perempuan itu menggaruk kepalanya, “Mungkin kita melakukan semua ini hanya untuk bertahan hidup kali, Ra?”
Rania tersenyum miris,” Kita menjual kehormatan kita untuk bertahan hidup sedangan banyak gadis yang memberikan kehormatan mereka secara cuma-cuma pada kekasih mereka atas nama cinta. Andai kita bisa memilih, kita tidak akan memilih keduanya…,” Rania menghela napas, membuang semua beban yang bersarang di paru-paru.
Tiba-tiba ponselnya di atas meja bergetar, sepertinya ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
Kening Rania mengernyit ketika membuka pesan itu dan menduga-duga pengirimnya, ‘Siang ini sepulang kampus, Pak Hasan akan menjemputmu! Bersiap-siaplah!”
‘Ini nomor pribadiku. Hanya kamu yang tahu. Arez’
“Siapa?”
Rania kembali menatap Sully. Ia menggeleng sambil tersenyum canggung.
“Om Arez.”
“Kenapa?”
“Dia menyuruh sopir menjemputku.”
“Kamu serius?”
Rania mengangguk. Gadis itu melihat jam tangannya sejenak lalu terpekik kaget. “Kita harus segera kembali ke kelas, Sull.” Rania segera mengemasi laptopnya. Ia bangkit perlahan sambil meraih ponsel dan tas punggungnya, melangkah keluar dari kantin dengan tergesa, diiringi Sully.
“Tapi gue belum makan apa-apa, Ra?” gerutu Sully seraya membelai perutnya.
“Lo terlalu banyak bertanya sampai kita lupa waktu,” keluh Rania di sisi Sully.
“Habisnya perbincangan tentang Om Arez bikin gue selalu tertarik, Ra,” ucap Sully sambil mencoba mensejajari langkah Rania. Perempuan itu menyikut lengan Rania pelan lalu menyisipkan benda asing di genggaman Rania.
“Apa ini?” tanya Rania mengacungkan benda berbentuk bundar dengan pil-pil kecil yang ditata melingkar.
“Bodoh! Jangan diacungkan seperti itu!” Sully berusaha merebut kembali lalu segera memasukkan benda itu ke dalam saku baju Rania.
“Apa?”
Sully mengedipkan sebelah matanya, “Ini pil ajaib.”
“Pil ajaib?”
“Pil pencegah kehamilan.”
*****

Komentar Buku (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru