logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Sama Saja

“Kamu mau ke mana, Sur?”
Aku berhenti di pintu, berbalik untuk menghadap Mami. Mami masih menggunakan pakaian tidurnya, padahal biasanya Mami selesai Subuh sudah wangi dan cantik.
“Sur? Kok, kamu diam saja?” Mami kembali mengajukan pertanyaan padaku.
Aku tersadar. “Pergi kerja, dong, Mi. Nanti terjebak macet kalau berangkat jam tujuh. Hari ini ada pertemuan bisnis.” Aku merangkul Mami, meletakkan tangan di bahu kanannya.
“Kerja? Kamu ngelindur, ya? Ini baru jam 3 pagi.” Mami menggeleng-geleng.
Pukul 3 pagi? Aku rasa tadi mendengar azan subuh. Karena itu aku bergegas mandi dan bersiap. Bahkan aku sempat tiduran sebentar karena pusing yang melanda. Aku berjalan pada tirai-tirai jendela yang menghadap ke halaman rumah, menariknya hingga terbuka. Di luar sana masih gelap gulita. Ada apa? Kenapa bisa aku aku kebingungan dengan waktu?
“Sana tidur lagi.” Mami mengusirku kembali ke dalam kamar untuk tidur.
Aku mengangguk. Namun, kantuk sama sekali tidak kurasakan saat ini. Karenanya, aku menunggu hingga azan subuh yang sebenarnya berkumandang dari kejauhan. Waktu berjalan dengan sangat lambat.
Pukul 6:30, seseorang mengetuk pintu rumah. Mami yang membukakan pintu sementara aku bersiap berangkat setelah menghabiskan sarapan di meja makan.
“Sur, temanmu.” Mami berkata di belakangku.
Aku menoleh melalui bahuku dan terkejut mendapati Jingga berdiri dengan senyuman yang manis.
“Assalamualaikum, Sur,” sapanya sangat ramah. Ia duduk setelah dipersikalan Mami, di kursi di hadapanku. Beberapa kali ia menolak saat Mami berbasa-basi menyuruhnya makan.
“Teman sekolah Surya jarang datang ke rumah. Surya sibuk terus, sih. Kamu kerja, ya? Apa kerjaanmu?” Seperti ibu-ibu pada umumnya, Mami mulai memberi daftar pertanyaan untuk tahu siapa tamu anaknya.
“Iya, Tante, saya kerja di rumah sakit. Perawat.” Jingga menjelaskan dengan cepat dan singkat. Sesekali ia melirikku yang melotot tak suka.
“Tante mau ke belakang, mungkin Bibi butuh bantuan.” Mami melayangkan tatapan menggoda padaku. Aku harus menggenalkan Nesya pada Mami secepatnya, tidak bisa ditunda lagi. Mami harus tahu jika putranya memiliki pacar yang cantik.
Kutunggu Mami hingga menghilang di balik dinding yang membatasi ruang makan dan dapur. Mami pasti akan mengguping kini, jadi kucondongkan tubuh dan mulai bertanya. “Mau apa kamu kemari?”
“Aku belum selesai bicara, kamu sudah pergi. Aku mencoba menghubungi ke nomor yang tertera di dokumen pasien, yang menjawab adalah seorang perempuan.”
Tentu saja yang, sebab memang Nesya yang mendaftarkan namaku waktu itu untuk pemeriksaan.
“Ada yang ingin kamu bicarakan denganmu.” Jingga memajukan tubuhnya sedikit. Tangan-tangannya saling terkait di atas meja.
“Kamu terlalu suka ikut campur urusan orang lain. Waktu SMP begitu, sekarang juga begitu.” Aku mendengus, dengan jelas menampakan ketidak sukaanku atas sikapnya.
“Itu karena aku peduli padamu.”
Alasan klise lainnya. Banyak orang yang mengaku peduli, tapi kemudian meninggalkan kamu ketika berada di titik terbawah. “Tapi aku tidak butuh kepedulianmu. Aku bisa mengatasinya.” Aku berdiri, memperbaiki pakaianku.
“Penyakitmu ….”
Aku menjulurkan tangan, menghentikannya bicara. “Mami tidak tahu apapun. Aku tidak ingin kamu memberi tahu dia apapun.”
“Orang-orang di sekitarmu akan membantumu untuk tetap kuat.” Jingga ikut berdiri, berjalan cepat ke arahku, memberi pengertian.
“Perhatian atau rasa kasihan? Aku tidak membutuhkan hal seperti itu.” Aku tidak mau menerima apapun bentuk pengertian yang diberikan Jingga. Siapa dia yang tiba-tiba datang kembali menjadi seorang perawat dan sok baik?
“Sur … kamu bisa sembuh.”
Aku menoleh padanya, sebelumnya aku sudah menyisir dengan cepat ruangan dan tidak melihat Mami. “Sebutkan satu orang saja yang aku kenal, pernah menderita penyakit yang sama dan sembuh total? Satu saja. Setelah itu, aku akan melakukan apapun yang kamu katakana.”
Jingga terdiam. Sebab memang tidak ada yang pernah sembuh total setelah terkena penyakit kanker. Semuanya sembuh, lalu kanker muncul di tempat yang lain. Aku bisa melihat mulut Jingga terbuka dan tertutup beberapa kali. Mungkin ia masih ingin bicara atau marah padaku. Terserah yang manapun.
“Pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu. Terima kasih sudah bersedia mencalonkan diri untuk menjadi pahlawan.” Aku merentangkan tangan ke arah pintu. Isyarat memintanya keluar dan tidak kembali lagi.
***
Kemarin dengan cepat aku telah mengambil keputusan. Aku akan menikahi Nesya secepatnya. Aku tidak bisa meninggalkan Mami seorang diri. Nesya mencintaiku, ia juga pasti akan mencintai Mami. Jika mungkin, sebelum mati, aku ingin memiliki anak darinya. Lelaki atau perempuan, sebagai pengingat Nesya padaku.
Setelah menikah, semua usaha ritelku akan kuberikan pada Nesya dan juga Mami. Berapapun sisa waktuku, aku ingin memperkuat usaha ini. Mami ataupun Nesya tak boleh mengalami kesusahan setelah aku pergi.
Senyum Nesya membuatku bahagia, ia pasti setuju. Sebuah cincin berlian ada di tanganku saat ini, terulur, menunggu untuk di sematkan di jarinya.
“Ini kejutan yang ….” Nesya kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan lamaranku. “Aku butuh waktu untuk meminta persetujuan orang tuaku dulu, Sur.”
Aku kenal kedua orang tua Nesya. Mereka akan segera setuju dengan lamaranku. “Kita temui mereka sekarang. Katakana pada mereka, kita akan segera menikah.”
“Biar aku yang mengatakan sendiri. Mereka juga pasti sama kagetnya denganku.” Nesya menolak saranku. Ia menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuhnya.
Aku berpikir sebentar. Akan lebih cepat jika kami berdua yang menemui orang tua Nesya. Namun, aku memberi kuasa pada Nesya. “Baiklah, kabari aku secepatnya,” pintaku.
Nesya mengangguk, membereskan semua barang-barangnya di atas meja restoran dan pergi. Aneh. Tidak seperti biasanya. Sebuah notifikasi masuk, aku mengambil telepon pintar yang terletak di dekat cawan kopi. Bukan notifikasi milikku rupanya. Dari balik buku menu, aku menemukan telepon Nesya, sepertinya ia melupakan benda pipih itu.
Sayang, kamu di mana?
Sayang? Darahku berdesir. Aku berdiri. Nesya harus kuikuti. Ada yang tidak beres dengan pesan yang ada di telepon pintarnya. Aku menemukan Nesya berdiri menunggu taksi. Ia tak sadar jika aku ada di belakangnya. Saat taksi melaju, aku mengikutinya dari belakang dengan mobil. Tempat yang dituju Nesya tidak jauh dari tempat kami tadi makan siang. Sebuah restoran lain di jalan yang sama, bernuansa rumah.
Nesya masih tidak menyadari aku mengikutinya dari belakang. Kulihat Nesya melambai, seorang pemuda yang duduk di tengah restoran juga ikut melambai. Kuperhatikan saja sampai Nesya duduk dan mulai menggobrol, aku masuk dari pintu samping, di mana tidak ada salah satu dari mereka yang akan menyadari kedatanganku karena fokus pada satu sama lain.
“Dia melamarku.”
Aku duduk tepat di sisi Nesya, punggungku menghadap bahu kirinya.
“Lalu?”
“Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ia mengatakan itu. Rasanya begitu hambar.”
Semua kepercayaan diriku runtuh. Nesya sama saja dengan orang-orang tidak penting yang berusaha dekat ketika aku di titik puncak. Nesya dan Jingga, sama saja.

Komentar Buku (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru