logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Tersakiti

Aku sudah mengetahui sedikit kebenaran tentang diri Exel. Memang benar dan sangat benar, ia sudah berubah sedikit demi sedikit kepadaku. Lebih lembut dan penuh kasih. Demmed pun tidak mengira jika ternyata kami memang pernah memiliki kenangan manis bersama sejak kecil dulu. Namun dari sederetan kelembutan yang diberikan, hanya satu yang masih belum hilang, yaitu kelainan biologis yang dideritanya.
Seperti janjiku kepadanya, aku bersedia menerima segala rasa sakit ini hanya demi kepuasannya. Aku berusaha sekuat tenaga menahan dengan caraku sendiri. Walau pada akhirnya hanya kata maaf yang terlontar dari bibir Exel ketika dia selesai menyakitiku. Berhari-hari, dan berulang kali. Dengan cara yang sama pula dan dengan rasa sakit yang sama pula.
“Nyonya, apakah sebaiknya kita melakukan suatu tindakan? Sungguh, saya miris melihat Nyonya harus tersiksa setiap hari dan setiap malam melayani Tuan.” Nasehat Demmed ketika ia menemaniku bersama Rose di teras belakang.
“Demmed, aku sudah berjanji pada Tuan, aku rela menerima semua ini. Aku tahu, ini bukan maunya, tapi jika dia tidak ingin sembuh, bagaimana aku bisa menentang keinginannya, jika pun aku mati di tangannya, tak mengapa. Setidaknya aku sudah membayar dukanya selama bertahun-tahun sejak aku meninggalkannya dulu.”
“Tapi, Nyonya ….” Lelaki tua itu ternyata memiliki sisi kemanusiaan juga. Sangat jauh dari perasangkaku terhadapnya di awal perjumpaan kami. Aku memahami kekhawatirannya, namun aku juga tidak ingin melangkahi keinginan Exel hanya untuk mencari tahu penyebab kelainannya itu. Setidaknya sebelum ia sendiri yang ingin terbuka kepadaku.
“Bersabarlah, Demmed. Aku yakin semua akan segera berakhir. Tunggulah sebentar, jika Tuanmu sudah siap untuk terbuka padaku, maka aku juga kita semua akan membantunya melewati semua ini.” Demmed dan aku sama-sama menoleh kea rah lorong sudut ruangan. Ada beberapa pengawal yang segera berhambur ke ruang utama. Pemandangan yang familiar ketika Exel tiba ke rumah sepulang bekreja.
Demmed mempercepat langkahnya dan membungkuk hormat. Lelaki itu mengekori Exel untuk menerima jas Exel yang diserahkan kepadanya. Rutinitas ketika tuannya kembali pulang. “Bagaimana kabar Nyonya?” tanyanya sembari berjalan dan membuka satu persatu pakaian yang terpasang di badannya. Lelaki itu pun menjawab seraya menerima dan menggantung kembali dengan rapi jas Tuannya. “Nyonya bermain dengan Rose saja, Tuan,” jawabnya.
Exel terdiam dan merengut memandang Demmed, lalu berkata,”Lalu kenapa dia tidak menemuiku?” Demmed menghela napas dalam, namun berlum sempat ia menjawab, suaraku menginterupsi dari arah pintu. Aku mengangguk kepada Demmed, meminta lelaki tua itu untuk memberi kami ruang.
Lelaki tua itu membungkuk dan segera meninggalkan kamar kami. Aku mendekati Exel yang sedang meneguk minuman champagne-nya, aku mengalungkan tanganku dari belakang ke tubuhnya, menyandarkan kepalaku di punggung kekar itu, “Ada apa kau pulang lebih awal?” tanyaku sengaja. Lelaki itu memutar tubuh, menghadap ke arahku. Manik-manik mata kami bertemu. Kedua tangan yang biasa melukis luka di sekujur tubuhku, kini menakup rahangku.
Aku tidak tahu, ia terlihat lembut sore ini, tatapannya pun sangat hangat, menenangkan hatiku untuk tetap membalasnya, “Kau, cantik sekali, Liana,” pujinya. Ia pun mendaratkan ciuman dalam kepadaku. Tidak menolak, aku semakin mengeratkan pelukanku dan memberinya sensasi ciuman yang menggairahkan, “Bisakah, kita melakukannya dengan lembut?” pintaku setengah berbisik.
Ia tak menjawabiku, tetapi mendorong tubuhku, dan kami terhempas ke atas ranjang. Aku tahu, dia sedang berusaha. Berusaha menahan tangannya untuk tidak menghunuskan ikat pinggang kulitnya, berusaha menahan keinginannya untuk melakukan kekerasan. Aku memutuskan untuk mendominasi hubungan intim kami, agar ia bisa meraih puncak biologinya tanpa harus menyakiti.
“Dizzel ….” Kudengar suaranya yang melirih, memintaku untuk lebih mendominasi lagi. Aku tentu saja tidak berkebaratan, asal ini demi kebaikannya, aku rela jika terlihat seperti wanita rendahan. Sampai malam tiba, dia berhasil melakukannya setidaknya tiga kali, bagiku sebuah kemajuan yang diraih tanpa melakukan penyiksaan.
Seulas senyum terpahat di wajah Exel. Aku bangkit meninggalkannya setelah memberikan kecupan singkat di bibirnya, “Kau berhasil, Exel. Kau bisa melawannya.” Lirihku.
“Ini semua, berkatmu, Liana. Aku tidak bisa menyakitimu, aku … Tidak sanggup.” Suara yang berat, suara yang membuatku merasa ingin di sisinya. Ya, setidaknya itulah keistimewaanmu di mataku, Exel. Teman masa kecilku.
Untuk pertama kalinya, aku menemani Exel bersantap malam di ruang makan. Hm, tidak seperti sebelumnya, di mana kami menjadikan ruang tidur sebagai tempat inti kegiatan kami. Exel terlihat memiliki selera yang bagus dalam menikmati menu malam ini. Setidaknya ia perlu mengisi perutnya setelah sepulang bekerja aku langsung memintanya menguras tenaga di tempat tidur. Demmed yang setia menemani kami begitu juga beberapa pelayan wanita yang sudah memegangi menu penutup, terlihat lega dan bahagia menyaksikan perubahan kecil dari pria menakutkan itu.
Aku tidak tahu, seperti apa kehidupan Exel sebelum aku menginjakkan kaki setelah kepergianku. Bagaimana lelaki itu melalui hari-hari di istana termegah bernama Villa ini, dengan perasaan mengerikan itu.
“Exel.”
“Liana”
Kami tersentak mendengar kami memanggil nama satu sama lain bersamaan. Demmed dan beberapa pelayan, mengulum senyum melihat kekonyolan tingkah kami, “Kau, duluan,” kataku, memecah kecanggungan yang tiba-tiba menderu.
“Kau, duluan, Liana.” Ia sengaja memberiku kesempatan terlebih dahulu, agar ia bisa memmiliki ruang untuk menetralisir perasaannya.
“Aku ingin kita berkunjung ke rumah keluarga kita, Exel. Aku merindukan mereka.” Aku menghentikan kunyahanku, kemudian meneguk minuman yang tersaji di sisi kananku. Beberapa pelayan tadi segera menyuguhkan makanan penutup dan meninggalkan kami kecuali, Demmed.
“Aku sebenarnya, belum ingin mengajakmu menjenguk mereka. Ada hal yang ingin aku lakukan bersamamu sebelum itu. Bisakah kita mengundurnya, Liana?”
“Hm, baiklah. Terserah bagaimana menurutmu. Aku sama sekali tidak berkeberatan.”
Exel beranjak bangkit, ia menjulurkan tangannya meminta aku untuk menyambut ulurannya. Dengan semua perasaan damai yang tercipta aku mengikuti langkahnya. Aku belum tahu kemana ia akan membawaku. Kami menelusuri sebuah lorong asing dalam pandanganku.
Jika aku amati, ruangan itu lebih kepada sebuah ruang pribadi. Lihat saja untuk membukanya kita harus menekan beberapa digit angka. Retinaku memperhatikan arah telunjuk Exel menekan tombol angka di layar kunci pintu ruangan itu, “010499.” Aku mengeja angka tersebut.
“Itu adalah, tanggal pertama kali kau menggangguku, Exel?” ujarku lebih kepada sebuah pertanyaan, “Hm.” Hanya itu jawaban yang terdengar darinya. Tak berselang, pintu itu pun akhirnya terbuka lebar. Aku terkesima lagi. Desain interior yang artistic dan mewah memanjakan retina mataku. Jejeran rak buku yang menjulang menggapai pelapon ruangan. Berpindah dari sana, aku memandang ke arah tatanan meja kerja dan sebuah sofa santai yang harganya sudah pasti ratusan dollar.
Exel membuka sebuah tirai hitam. Di balik tirai itu, ada sederetan fotoku yang sudah diberi tanda merah dan beberapa kalimat sarkas dari Exel. Aku membelalak mengamati setiap coretan sakit hatinya, “Exel, apa ini?” tanyaku memindahkan pupil mataku kepadanya.
Anehnya lelaki itu masih terlihat tenang dan tanpa merasa canggung, takut, ataupun bersalah. Matanya pun turut menatap papan mading buatannya itu. Dan menyeringai geli seolah membayangkan bagaimana perasaan kecewanya kepadaku tatkala itu.
“Itulah amarahku kepadamu, saat kau pergi tanpa pamit kepadaku. Aku hancur, Liana. Selama belasan tahun kamu meninggalkanku, aku hancur. Dan kini kau harus menanggung semua kehancuran bekas masa lalu itu. Waktu itu aku sangat membutuhkan seorang teman, tidak ada satupun yang ingin berteman denganku. Dan ketika aku teringat kamu, aku berteriak sekerasnya memanggilmu, dengan harapan kau akan mendengar dan kembali memelukku. Tapi tidak, yang ada malah Daddy, mempersiapkan pertunanganku dengan Rhiana. Aku semakin benci. Dan aku melampiaskan kebencianku pada Rhiana. Setidaknya dengan menyakiti Rhiana, aku sudah membalasmu.”
Aku masih tidak merespon, sejujurnya aku terkejut, jika Exel begitu teramat menyayangiku, melebihi seorang teman. Namun sungguh aku pun sebenarnya merasa pupus ketika mendengar orang tua kami menjodohkannya dengan kak Rhiana.
Entah sejak kapan lelaki itu berpindah, ia kini sudah bersedia tepat di hadapanku seakan meminta jawaban dari perpisahan kami di masa lalu, “Aku minta maaf, sungguh. Semua di luar kehendakku. Daddy dan Mommyku menjodohkan kalian, bersamaan dengan itu panggilan pendidikan yang membuat kakakku harus memilih. Exel, kenapa kamu tidak pernah katakan jika kau membutuhkanku. Aku sudah melanggar persahabatan kita, maafkan aku.” Suara begitu ringan. Keluar begitu saja tanpa tahu apakah tepat atau tidak kuucapkan sekarang.
“Apa kau tahu apa yang terjadi padaku setelah kau pergi?” suara Exel tiba-tiba terdengar getir memandangku. Hatiku mulai meras cemas. Firasatku mulai tidak bersahabat dengan apa yang akan ku dengar ini, “Aku mengalami pelecehan, Liana. Beberapa orang kakak tingkat kelasku membullyku dan melakukan hal itu berulang kali.”

Komentar Buku (389)

  • avatar
    Nadiraumairaa

    ceritanya bagus banget thor😍😍 di lanjut dong season 2 nya, beneran ga sabar nih nunggu nyaaa

    22/06/2022

      1
  • avatar
    rahmandaniMeta

    kisahnya bagus bermanfaat.bagus di baca buat kakain buruan bacaaa sekranggggg

    25/01/2022

      0
  • avatar
    AndreanoFarhan

    200

    29d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru