logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Suara Ibu Yang Kurindukan

“Halo, sayang. Apa kabarmu?” suara ibuku yang memberi kejutan padaku pagi itu. “Baik, Momm. Mommy apa kabar? Kak Rhiana juga apa kabar?” tanyaku.
“Kami semua sehat, apa kau bahagia di sana?” nah, inilah yang aku khawatirkan ‘bahagia’ pada akhirnya aku harus menutupinya, “Mommy, apakah kak Rhiana bersamamu sekarang?” aku pun memilih mengalihkan pertanyaanku.
“Ouh, ya, dia di dekatku, nak. Apa kau ingin bicara dengannya?”
“Ya, Momm. Jika bisa, aku ingin berbicara berdua saja dengannya, bisakah Mommy memberikan ponsel ini dan memberi kami ruang?”
“Tentu, sayangku.” Jawab ibuku begitu saja tanpa rasa curiga.
Suara Rhiana segera menyambutku dari seberang, dan memberitahuku jika dia benar-benar sendiri sekarang. Mengetahui akan hal itu, seketika aku menumpahkan tangisku di telinga wanita itu, “Sudah berapa lama kau mengalami ini, kakak?” tanyaku di sela isakan tangisku.
“Selama satu tahu, Liana. Sama sepertimu, aku pun tidak mendengarkan nasehat para wanita yang pernah berhubungan dengan Exel. Ketampanan dan sikap dinginnya pada wanita, membuatku berasumsi jika dia lelaki yang baik. Tak kusangka dia memiliki kelainan biologis. Dan selama aku menjadi pacarnya, aku hanya bisa bertahan semampuku. Dia mengancamku, akan membunuh ibu kita, jika aku mencoba melaporkannya atau melawannya.”
“Kakak, apakah kakak tahu sejak kapan Exel seperti ini?” apa-apaan aku ini, apa yang kuharapkan dari pertanyaanku itu. Padahal sudah jelas-jelas, lelaki itu mengalami kelainan, apalagi yang harus aku ungkit.
“Entahlah, tapi selama setahun aku berpacaran, aku hanya bisa menghindarinya, itu pun hanya beberapa kali, sisanya, dia akan menyiksaku sampai tak berdaya.”
Selesai dari percakapanku dengan keluargaku, kulihat Demmed juga baru selesai dari telponannya. Lelaki itu mendekatiku dan menyita kembali ponselku, “Nyonya, selama dua hari Tuan akan ke luar kota. Tuan berpesan, Nyonya tidak boleh keluar dari kamar ini, bahkan ke halaman Villa, Nyonya di larang. Ini adalah bell, bunyikan ini jika Nyonya membutuhkan sesuatu.”
Apakah aku seorang istri? atau tawanannya? Mulutku serasa dibekap mendengar serentetan peraturan gila yang disebutkan lelaki tua itu. Aku jadi berpikir, apakah Demmed juga tidak punya hati. Jika Tuannya berjiwa binatang, setidaknya dia sebagai pelayan memiliki rasa kemanusiaan. Bukankah aku dan dia sama-sama di bawah tekanan Exel? Tapi sudahlah, setidaknya selama dua hari ke depan aku bisa memulihkan luka dan tenagaku.
Aku mencoba merileksasikan tubuhku, menikmati pemandangan taman melalui jendela kamarku, tanpa kusadari aku mengulas senyum behagia menikmati warna hijau dan bayangan burung gereja yang berterbangan.
“Nyonya, ada telpon untuk anda dari Tuan.” Kutatap wajah semringah lelaki tua itu. aku merengut heran, kenapa ia begitu bahagia dengan telpon dari Tuannya itu, bukankah ini adalah hal yang biasa.
“Halo.” Sapaku, terdengar riuh dari seberang. Bahkan suara perempuan yang kesakitan tapi juga menikmati sensasi. Apakah Exel sedang menelponku sambil berhubungan badan.” Pikirku mulai melayang.
“Bagaimana, harimu, istriku? Apa yang sedang kau lakukan sekarang?” astaga, dia bahkan sedang bersama wanita lain, lalu aku ini dianggap apa? Exel, ada apa sebenarnya denganmu. Aku mengenalmu sejak kecil, dan apakah aku ini tidak berarti apa-apa di matamu? Aku diam, tidak menanggapi obrolannya. Dan yang lebih mengecewakannya lagi, aku memutuskan sambungan telpon. Kutatap Demmed yang massih berdiir dengan tampang semringahnya. Dan menyerahkan benda pipih itu kepadanya. Aku merasa muak dengan wajah pelayan tua itu. ingin rasanya aku mencekik dan memutilasi tubuhnya, kurasa itu akan sepadan dengan perbuatan Tuannya.
“Apa kau begitu bahagai pak Tua?!” bentakku. Entah keberanian dari mana, tapi aku bersyukur, semoga rasa beraniku ini tetap terus ada selamanya, agar dua orang iblis ini bisa kembali ke asalnya yaitu neraka.
Wajah Demmed seketika berubah. Dia terlihat dingin dan menyeramkan. Aku saja sedikit menciut oleh pandangannya. Tapi kalimat ketus yang sudah kulontarkan sudah terlanjur terucap.
“Apa maksud, Nyonya?” lelaki itu membalasku dengan sebuah pertanyaan lagi.
“Jika kau merasa bahagia dengan semua yang dilakukan oleh Tuanmu, maka pergilah, ambilkan sebilah pisau, lalu bunuh aku sekarang juga. Karena sungguh, berada di antara orang sepeti kalian adalah kesialan terbesar dalam hidupku.”
“Nyonya, jaga bicara anda, perlu anda ketahui, andalah wanita paling beruntung yang dipilih oleh Tuanku. Dan jauh sebelum ini, memiliki anda adalah sebuah keinginan terbesar Tuan Exel. Dia bahkan lebih mencintai anda dari yang dunia ketahui.”
Setelah menyampaikan kalimatnya, lelaki tua itu membungkuk hormat kemudian berjalan mundur dan meninggalkanku. Seringai geli terpahat di ujung bibirku, aku sangat ingin tertawa, mendengar kalimat memuakkan yang benar-benar sebuah dusta, “Demmed, kau dan Tuanmu adalah satu paket komplit,” Kataku dalam hati.
Sejak hari itu,aku benar-benar memutuskan untuk mengunci diri di dalam kamar. Aku tahu Demmed memiliki kunci cadangan kamarku. Tapi aku tidak mati akal. Dengan beberapa benda berat dan perabotan yang memajang di dalam kamar itu aku gunakan untuk menyangga pintu raksasa itu. aku yakin, sekuat apapun tenaga lelaki tidak akan bisa membuka pintu itu.
Dan hanya inilah ide satu-satunya yang tercetus dalam pikiranku untuk memberi si Gordon itu pelajaran atas kekurang ajarannya kepadaku.
Benar, sudah dua hari Demmed dalam amarah Exel. Selama dua hari itu, lelaki tua tersebut dirundung kesialan. Ia tidak bisa lagi masuk untuk membawakanku makan siang dan sarapan lagi, dia tidak bisa memberikanku telpon dikala Exel merindukan suaraku. Apa dia buta atau tuli? Bahkan hewan pun akan marah jika pasangannya diganggu hewan lain. Lalu perasaanku ini dianggap apa? Aku harus duduk manis begitu ketika dia memperdegarkanku suara desahan wanita di luar sana? Ya Tuhan, dia salah besar, sangat besar.
“Apa yang bisa kau lakukan, Tua Bangka! Cepat kerahkan semua anak buah kita, bila perlu kau rusak pintu itu. perempuan itu harus membayar semua yang dia perbuat kepadaku.” Berangnya dari suara seberang. Demmed gelagapan, ia tidak tahu harus bertindak apa, sedang pintu itu teramat besar dan tinggi, sehingga sebanyak apapun anak buah tidak akan mampu mendorongnya. ‘Ya Tuhan, Tuan, desainmu terlalu berlebihan, penjara mewah ini tidak bisa kami taklukkan’ pikir Demmed.
Perjalanan yang tadinya tiga tiga hari menjadi dua hari. Exel kembali malam itu juga. Tentu dengan tampang penuh murkanya. Matanya memerah seakan ingin menelan mentah-mentah siapa saja di depannya. Tak ada yang berani mendekatinya ataupun bersuara. Semua menunduk.
Lelaki itu mempercepat langkahnya, menelusuri setiap lorong sudut ruangan Villanya. Begitu tiba di depan pintu kamarnya, tanpa mengetuk lelaki itu berdiri dan mengeluarkan suara dinginnya, “Jika kau tidak membuka pintu ini dalam hitungan kurang dari nol koma satu millidetik, ibumu seketika akan mati.” Serunya.
Hanya sepenggal kalimat itu, hatiku tercekat. Serasa tercekik. Aku langung berlari dengan kecepatan tak terhingga dan membuang semua benda yang menyangga pintu kemudian membukannya.
Tatapan bengis Exel adalah pemandangan pertama yang ditangkap retina mataku tatkala daun pintu raksasa itu terbuka. Semua menyingkir dan memberi ruang kepada kami. Exel mengunci kembali daun pintunya, “Atas dasar apa kau berulah, Liana?” tanyanya dengan suara dingin dan tatapan membunuh.
Aku berjalan mundur. Seluruh urat tubuhku terasa menggigil. Bahkan kini persendianku sudah mulai terasa lemas. Aku takut,sanat takut pada tatapannya itu. Sekuat aku menghindarinya, namun kini ia berjalan menujuku dan mulai menghunuskan sabuk kulitnya. “Agh!” teriakku kesakitan. Cambukannya kali ini terasa kuat hingga bisa merobek kain gaunku, “Exel, kumohon, jangan! Sakit,” keluhku.
“Ini akibat yang harus kau tanggung karena berani menentangku, Liana.” Hardiknya terus melayangkan cambukan ke tubuhku. Aku terpental ke atas ranjang dan kini seperti biasa, dia mulai mencabik kulit tubuhku. Menjerit? Entah sudah berapa kali jeritanku melengking, “Gordon!” akhirnya tanpa kusadari aku mengeluarkan panggilan masa kecil kami pada lelaki itu. “Gordon! Jangan! Gordon!”
“Jangan panggil aku Gordon! Jangan sebut nama itu lagi!” balasnya dengan suara yang tak kalah meningginya dari suaraku. Tumpukan helai rambutku yang sudah menutupi setengah wajahku, kini menghalangi pandanganku terhadap lelaki itu.

Komentar Buku (389)

  • avatar
    Nadiraumairaa

    ceritanya bagus banget thor😍😍 di lanjut dong season 2 nya, beneran ga sabar nih nunggu nyaaa

    22/06/2022

      1
  • avatar
    rahmandaniMeta

    kisahnya bagus bermanfaat.bagus di baca buat kakain buruan bacaaa sekranggggg

    25/01/2022

      0
  • avatar
    AndreanoFarhan

    200

    23/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru