logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 13 Date

Danny berdandan se casual mungkin. Ia menata bekal dalam keranjang bambu sembari menunggu Matthew keluar dari kamar. Terdengar siulan jahil ketika ia selesai. Daniella tersenyum, Matthew segera mengambil alih tempat makanan dan memimpin jalan. Setelah memastikan semua bersih, barulah Danny mengikuti dan mengunci pintu.
Danny duduk di bangku depan, tepat di sebelah Matthew. Memasang sit belt sebelum SUV berwarna hitam melaju. Matthew menyalakan radio agar perjalanan tak terlalu membosankan. Danny mengganti saluran karena Matt harus fokus mengemudi. Saat lagu favoritnya muncul, Danny menghenyakkan punggungnya kembali ke bangku.
Danny mulai bernyanyi,
When you think you've done enough
Can you love me harder?
Matthew mengetukkan telunjuk ke setir, telinganya mendengarkan.
"Kok ini lagunya kayak lagi nyindir aku ya?"
Daniella menoleh untuk menatap Matthew, berhenti menggerak gerakkan kepala karena tak mengerti maksudnya.
"Apa aku kurang berusaha cinta sama kamu? Makanya kamu minta aku berusaha lebih keras lagi?" Matthew membalas tatapan Danny.
"Sensitifffffffff amat mas kayak test pack? Yaudah, yaudah. Aku ganti nihh." Danny terbahak, jarinya memilah saluran baru.
I've still got so much love hidden beneath this skin
Will someone
Put a little love on me
Danny menggumamkan beberapa baris lirik. Kebetulan ia juga hafal lagu ini.
"I will put so much love on you, babe."
Danny terdiam lagi, akhirnya ia mematikan radio karena Matt terus menerus mengungkapkan perasaannya lewat lagu. Ia jadi mati kutu.
Matt terkekeh, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Daniella terlebih dahulu keluar dari mobil, menunggu Matt membuka bagasi untuk mengambil perlengkapan piknik. Tapi, Matt tak membiarkan Danny membawanya. Mau tak mau Danny menurut.
Mereka memulai langkah dengan bersisian satu sama lain. Danny dapat merasakan hangatnya jemari Matthew masuk ke sela sela jarinya. Gadis itu berusaha mencari tau apa tujuan Matt menggenggam tangannya seperti ini. Tapi, Matt malah melemparkan pandangannya ke arah lain.
Mereka berhenti di salah satu spot terbagus di pinggiran taman. Danny menggelar alas piknik tepat di bawah pohon oak rindang. Kemudian menata beberapa bantal segiempat agar mereka nyaman mengobrol. Lalu Matt mengeluarkan bekal yang Danny buat karena ia merasa lapar.
"Jadi, aku tiga bersaudara," ucap Matt mengawali pembicaraan. Mulutnya agak penuh karena ia sudah terlebih dahulu melahap sandwich bacon buatan Danny.
"Makan dulu napa mas." Danny mengusap bibir Matthew yang belepotan.
Tapi, Matt tak mendengarkan. Ia terus menceritakan keluarganya pada Danny. Awal mulanya mereka pindah ke Australia. Kehidupan mereka setelah pindah, hingga saat ini. Daniella mendengarkan dengan seksama. Mengunyah anggur hijau dan ungu bergantian.
"Ulang taunku ...."
"6 October 1994."
"Golongan darah ...."
"O."
"Wah. Kamu stalker ya?" Tanya Matt meneguk mojito dari tumbler bertuliskan namanya.
"Ya kali ulang taun bos aku sendiri nggak tau. Kebangetan! Sekarang apa yang mas tau tentang aku?" Danny menopang dagu menggunakan tangan kanannya. Menatap Matthew yang seketika membisu.
Daniella sadar, jika Matthew benar - benar tak tahu apapun mengenai dirinya. Jadi, ia mulai dengan anggota keluarganya terlebih dahulu. Bagaimana kehidupannya di Jakarta sebelum mencari peruntungan di Negeri Kangguru. Melihat ujung mata Danny yang basah sehabis bercerita. Matt segera merangkul gadis itu, ia terkejut saat Danny bersembunyi di ceruk lehernya. Memeluk pinggang Matt erat, menangisi kisah yang baru saja ia ceritakan.
"I am sorry to hear that, baby," ucap Matt mendekap Danny dalam pelukannya.
***
Matt membawa gelato berbeda warna di kedua tangan. Menyodorkannya ke ujung hidung Danny.
"Makasi." Danny tertawa kecil, hidungnya masih berwarna merah.
"You're welcome." Matt menggigit ujung gelatonya.
"Sampe sini dulu aja ya tuker informasinya. Minggu depan lanjut lagi," kata Danny menikmati benda dingin itu lumer dalam mulutnya.
"Kita masih punya banyak waktu kok sayang. Tenang aja." Matt mengusak rambut Danny.
Daniella sendiri merasa cringey, sedari tadi Matt terus melontarkan kata sayang padanya.
Ia segera menata makan siang di atas tatakan kayu. Tak lama kemudian, mereka menggenggam tangan satu sama lain untuk berdoa sebelum menyantapnya.
Danny tertawa melihat Matt mengangkat botol wine. Ia bahkan mengeluarkan dua buah gelas tinggi dari dalam tas. Menyerahkan salah satu pada Danny. Menuangkannya tak sampai penuh. Matt menatap gadis di sampingnya sekali lagi sebelum bibir gelas mereka berdua berdenting.
Daniella menatap jauh ke depan, menikmati pantulan matahari di jernihnya air danau. Selama ini ia terlalu fokus pada pekerjaan. Hingga tak pernah menikmati waktu liburannya. Padahal visanya sekarang itu Work and Holiday. Tapi, hidupnya penuh dengan slogan kabinet indonesia bersatu. Yaitu kerja, kerja, kerja.
"Ngelamun!" Tegur Matthew, suaranya membuat Danny kaget.
Danny memukul mukul lengan Matt karena kesal.
"Ayo kita foto. Kan kata kamu perlu dokumentasi segala kan. Sini, sini." Matthew merangkul Danny. Menempelkan pipinya ke pipi Daniella. Lalu mengaktifkan kamera depan, mereka berdua tersenyum. Selanjutnya Matt mengecupi wajah Danny, gadis itu mengeluarkan suara puppy saat bibir Matt menjelajah wajahnya. Danny merada geli, gugup dan bahagia sekaligus. Matt membiarkan kameranya menjadi saksi kalau ia sudah jatuh hati.
***
"Halo."
"Heh. Kia! Lo kemana aja sih? Please lah, gue lagi jalan sama Minara ini. Masak tiap kali pacar lo mabok, kudu gue yang jemput sih? Lo berdua kalo punya masalah, selesein dong. Jangan kayak anak - anak gini."
Tut
"Hi Matt."
"Nona Kiana! Ini saya lagi ada kencan sama Daniella Denallie. Ya kali baru mau gandengan tangan. Saya dapet panggilan dari bartender buat jemput Tuan Muda Wilmer. Untuk kali ini saya keberatan! Mohon pengertiannya. Thanks."
Tut
Kiana mengusap wajahnya kasar, hari ini ia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi untuk menjemput Wilmer. Ia sudah terlalu sering merepotkan Alex juga Matthew. Sebenarnya tiap kali kekasihnya mabuk. Yang pertama di telphon adalah dirinya. Karena Wilmer mensetting nomor Kiana sebagai nomor darurat pertama. Karena ia sedang menghindari Wilmer, tiap kali menerima telephon. Kiana akan menyebutkan nomor Alex atau Matt.
Mau tak mau ia menelphon nomor Wilmer. Menunggu bartender tadi mengangkatnya. Ia segera memberi alamat rumah agar orang itu dapat memesankan taksi untuk Wilmer. Tangan hangat meraih bahu Kiana lembut.
"Mama," panggil Kiana menggamit tangan sang ibu.
"Mau sampe kapan kamu di sini? Tega ngeliat Wilmer ke bar terus tiap ada waktu luang?"
Kiana terdiam.
"Putus aja sama Wilmer."
Kiana mendelik.
"Mama nih ngomong apa sih?"
Kiana melepaskan tangan ibunya.
"Kalo kamu sayang sama Will. Pulang ke Aussie. Trus putusin dia, lepasin dia Kia. Jangan egois. Kamu yang nolak lamaran Wilmer. Kenapa juga kamu nahan dia buat terus terusan berada di samping kamu kayak gini?"
Kiana membuang pandangannya ke luar jendela.
"Kalo kamu mau ngejar karir. Kejar nak. Mama nggak keberatan. Tapi, nyia - nyiain waktu Wilmer buat nungguin kamu yang nggak jelas sama komitmen. Mama nggak setuju. Liat mama!"
Kiana terkejut saat ibunya menarik tangan kirinya. Kini pandangan mereka bertemu.
"Pernah Wilmer larang kamu ikut festival fotografi? Pernah Wilmer komplain kalo kamu terlalu sibuk foto kesana kemari? Pas kamu sakit karena kecapean ngurusin project , pernah Wilmer marah? PERNAH NGGAK WILMER NENTANG HOBI KAMU? JAWAB MAMA!"
Kiana terisak, jawabannya tidak pernah. Sama sekali tidak. Bahkan Wilmer selalu menemaninya. Membantu segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Menenangkannya jika ia merasa hasil usahanya tidak memuaskan. Will selalu memberinya semangat agar menjadi lebih baik lagi. Tapi, Kiana menyalah artikan dukungan Wilmer untuk mengejar ambisinya. Padahal selama ini tanpa ia sadari, hidupnya sudah lengkap. Karir dan cinta sudah ada dalam genggamannya. Namun, kenapa ia begitu di butakan dengan karir di bandingkan dengan cinta?
Ibunya memeluk Kiana pelan, membelai rambut panjang putri semata wayangnya lembut. Kiana memang tak terbiasa akan kegagalan. Segala sesuatunya harus sempurna. Walaupun itu artinya harus menghancurkan dirinya terlebih dahulu. Seperti ini, ia mematikan perasaannya. Mengesampingkan cintanya dan mengedepankan obsesi.
***
"Mas. Kok gitu sih? Kan kita udahan pikniknya lagian. Kita bisa jemput Kak Will kok." Daniella memasang sit beltnya.
Matt jelas sekali masih kesal mendapat panggilan untuk menjemput Wilmer yang mabuk.
"Kebiasaan tau nggak Al? Kayak kita nggak ada kerjaan selain bawa hulk pulang."
Danny tertawa saat Matt menyebut Wilmer dengan Hulk.
"Ya kan nggak tiap hari mas."
"No complaining. Please ya, jangan ngomongin Wilmer lagi. Huh!" Matt menstater mobilnya.
Lebih tepatnya ia masih kesal karena tadi ia belum sempat mengecup bibir Danny. Karena panggilan sialan itu terlebih dahulu menuntut dirinya untuk menjawab.b

Komentar Buku (2781)

  • avatar
    Rg Magalong

    Sana Mas madali

    11d

      0
  • avatar
    yantiely

    😭😫

    22/07

      0
  • avatar
    PratamaZhafran

    aku sama sekali tidak bosan membaca ini dengan ska

    12/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru