logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Sebuah Kegagalan

Anna bergegas keluar dari mobilnya, tak lupa sebuah pistol Pindad G2 peninggalan sang kakak ia sampirkan di pinggangnya. Semoga, malam ini berjalan seperti apa yang ia rencanakan. Percobaan pertama sejak orang itu bergabung dalam tim yang saat ini ia buru.
"An, jangan gegabah. Kita tunggu saat yang tepat. Aku tahu kau sangat membenci mereka, tapi mereka selalu punya banyak cara untuk meloloskan diri," ujar lelaki itu tempo hari. Ya, mereka semua memang tak mudah. Harus tetap bersabar meski kebencian itu menumpuk.
"Sudah siap?" sapa Lay, salah satu junior Anna. Wanita cantik itu hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Tim kepolisian tampak siap di posisi masing-masing. Kemarin malam mereka mendapat informasi jika salah satu pembunuh itu akan masuk ke gedung presiden guna mencari beberapa dokumen penting yang belum mereka dapatkan. Tentu saja itu membuat pihak polisi bersiap untuk penangkapan.
"Bersiap, sebentar lagi mereka datang," ujar salah satu polisi yang mengintai dengan satu teropong jarak jauhnya. Semua terkesiap.
***
Erick meraih masker hitam lalu mengenakannya. Jovi dan Brian terlihat antusias melakukan tugas mereka meski ini bukan pertama kalinya. Sementara Arthur, lelaki itu terlihat ragu entah apa yang ia pikirkan, hanya saja tak seantusias dua rekannya.
"Arthur, kau bawa tas di samping Edward," titah Jovi dengan mengarahkan dagunya ke arah dimana Edward duduk. Dengan langkah pelan dan tanpa semangat, Arthur meraih tas itu.
"Kau kenapa? Biasanya tak selesu ini?" ujar Brian yang sedari tadi memperhatikan.
"Apa kita akan berhasil?" tanya Arthur membuat semua perhatian terarah padanya.
"Berapa lama bergabung disini? Kau masih meragukan kami?" ketus Erick. Lelaki itu menarik hoody hitam miliknya dan berjalan keluar.
"Erick, bukan begitu ...." Arthur ikut menyusul. Keempat lainnya hanya menggeleng pelan. Tak heran jika mereka berdua bertengkar bahkan sebelumnya pernah lebih parah dari ini. Namun, mereka tetap bersama karena kebutuhan satu sama lain.
Selang beberapa menit Erick dan Arthur sudah ada di tempat tujuan, sementara Brian dan Jovi menunggu di pertigaan jalan. Gedung presiden, gedung megah itu terdapat penjagaan yang cukup ketat. Namun bukan Erick namanya jika tidak bisa menerobos masuk penjaga yang menurutnya hanya seperti pagar bambu. Erick mengendap, mengikuti instruksi Iyan yang mengatakan bahwa ada satu sudut yang lepas dari pengawas CCTV juga tak terlihat ada penjaga disana. Tempat yang remang, memudahkan Erick untuk menyelinap masuk meski harus melompati dinding tinggi. Tak lupa, di belakangnya Arthur tetap mengekor. Mengendap masuk nyaris tanpa suara.
Mereka sampai di depan gudang tempat penyimpanan dokumen-dokumen lama. Tanpa menunggu, Erick memegang knop pintu dan bersiap masuk, tapi sebuah keramaian yang tak jauh dari tempatnya kini membuat mereka mundur, berlindung di balik tembok yang bersebelahan dengan toilet. Erick mengisyaratkan agar Arthur lebih dulu pergi dengan memanjat pagar tembok yang cukup tinggi di sisi kanan toilet. Meski ragu, lelaki itu tetap melakukan apa yang diperintahkan.
"Ada penyusup!" teriakan seseorang dari ujung koridor terdengar jelas. Erick dengan sigap melompat dan menjangkau dinding tinggi tempat dimana Arthur berhasil keluar. Mereka sigap berlari keluar wilayah gedung dan menghentikan taxi sesaat setelah mereka tiba di sisi jalan raya.
"Ke mana mereka!" seru Anna yang berlari bersama beberapa polisi ke arah lima orang yang baru saja memergoki penyusup.
"Dia ... Dia berhasil lolos," ujar salah satu polisi baru yang di bawa Brigjenpol x Said Husain beberapa hari lalu. Melihat gelagatnya saat awal pertemuan saja Anna tak begitu suka, meski kecerdasannya di akui rekan-rekannya.
"Cari mereka! Jangan biarkan lolos begitu saja!" perintah Anna pada semua bawahannya. Sesekali ia melirik tajam lelaki yang kini hanya bisa tertunduk. Wanita itu memilih pergi membantu yang lain. Sementara lelaki yang ia tinggalkan menatap kepergian Anna dengan smiriknya.
*
Di tempat lain, Brian dan Jovi berhasil menyelinap masuk ke dalam rumah salah satu target, dia pejabat tinggi kota. Rumah megahnya terlihat sepi, hanya terang lampu halaman yang bahkan tak lebih terang dari lampu kamar mereka. Keduanya mengendap masuk setelah melompati pagar yang tak begitu tinggi. Dari informasi yang di berikan Edward, rumah ini tanpa CCTV. Jovi mencungkil jendela di sisi kiri pintu masuk menggunakan alat yang di bawanya. Setelah berhasil, mereka masuk dengan sangat hati-hati.
"Apa kau pikir mereka orang kaya?" tanya Jovi dengan volume suara sekecil mungkin. Brian melirik heran.
"Kenapa? Kita kemari bukan untuk mengeruk hartanya bodoh, kita hanya ...."
"Memang kenapa? Kalau kita bisa dapatkan keduanya kan lebih menyenangkan," potong Jovi cepat yang nyaris saja mendapat hantaman dari Brian.
"Kau ke kamar atas," titah Jovi sementara dia sudah melangkah ke satu ruangan yang ada di ujung penglihatannya. Brian hanya menggeleng, temannya itu memang kerap membuat jengkel. Ia melangkah menuju kamar di lantai dua, rasanya ia pernah melihat suasana rumah ini. Tapi entahlah, lelaki itu membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci. Menutupnya pelan dan mengendap untuk melihat lebih dalam lagi ruangan yang cukup besar itu. Yang pertama menjadi fokusnya adalah sebuah nama yang terlukis di dinding kamar dengan warna cat yang bermacam-macam.
"C.L.A.R.r.A." Brian mengeja setiap huruf di sana. Detik berikutnya ia ter mundur, nafasnya tak beraturan, perasaannya mulai tak menentu.
"Kak, jaga ayah ya. Arra berangkat ke Jepang minggu ini. Ayah sendirian di rumah, Arra takut terjadi apa-apa pada ayah."
Teringat ia pesan gadis bernama Clarra tempo hari. Dan hari ini ia ....
"Clarra ...." Ia juga ingat apa tugas mereka disini. Brian berbalik dan bergegas keluar tepat saat Jovi akan masuk ke kamar yang ia masuki.
"Kau kenapa? Kau sudah membunuhnya?" tanya Jovi bingung.
"Kau ... Belum membunuhnya?" tanya Brian tanpa mengindahkan pertanyaan Jovi.
"Tidak ada siapa-siapa di bawah. Aku pikir ini kamarnya. Tak ada berkas apa pun juga. Hanya aku menemukan ini." Jovi mengacungkan sebuah coklat batang yang ia ambil dari kulkas. Brian mengerling malas, selalu saja makanan yang lebih dulu di ambilnya.
"Tak ada orang?" tanya Jovi lagi sembari menunjuk kamar yang baru saja dimasuki Brian dengan dagunya sementara mulutnya sibuk makan. Brian menggeleng. Benar, sepertinya memang tak ada siapa pun disini. Gadis itu sedang ada pekerjaan di Jepang.
"Haruskah aku geledah semuanya? Sepertinya di ruangan ...."
"Aku sudah menggeledah semuanya," tandas Brian cepat. Jovi menatap lelaki itu lama sebelum ia mengalihkan tatapannya kearah lain lalu berbalik.
"Kita pulang saja, aku tidak ingin diteriaki maling," ucap Jovi tanpa menatap Brian yang kini menatap punggung lelaki itu nanar. Dalam hati ia benar-benar minta maaf karena membohongi temannya, juga pada gadis manis yang pernah mengisi hari-harinya beberapa bulan lalu. Meski ada rasa bersalah, Brian mengikuti langkah Jovi yang lebih dulu menuruni tangga. Dan keluar lewat jendela tempat dimana mereka masuk.
***
Inspektur Jendral Polisi Jhonatan Friezrick, atau yang biasa di sapa Inspektur Jhon menatap Anna lurus. Meski tak ada gurat kemarahan di wajahnya, hanya saja tatapannya mampu membuat wanita itu tertunduk. Ia tahu kegagalannya kali ini tak patut mendapat maaf. Terlebih, mereka begitu mudah kehilangan target.
"Kau masih berambisi membasmi komplotan mereka?" tanya Inspektur John setelah lama diam.
"Masih, Pak," jawab Anna tanpa ragu. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekati gadis itu.
"Teruslah berambisi, maka kau akan memiliki kekuatan untuk terus memburu mereka." pelan, dengan sedikit penekanan. Seakan mendapat kekuatan, Anna menatap Inspektur Jhon lurus. Lelaki yang ditatapnya tersenyum penuh arti. Benar. Wanita itu hanya perlu ambisi, dengan begitu segala kegagalannya tak kan pernah membuatnya terpuruk. Sekali lagi hanya demi dendam itu.
***
Ke enam lelaki itu kini kembali berkumpul di tempat tinggal mereka. Rey dan Edward menatap laptop di depannya dengan tangan terlipat di depan dada. Erick membaringkan tubuhnya di sofa yang berhadapan dengan tempat duduk Rey, tangannya terangkat menutupi kedua matanya. Arthur hanya terdiam di samping Edward, entah apa yang ia pikirkan hanya tautan jemari yang syarat akan ke gundahannya. Brian juga tak bersuara, duduk di ujung sofa tempat Erick tidur. Sementara Jovi masih sibuk dengan coklat yang masih tersisa.
"Apa ... Kita akan menangisi hari ini?" Edward berujar lirih. Rey meliriknya sinis.
"Kenapa kita harus menangis? Kita hanya tidak beruntung hari ini, bukan berarti kita gagal. Ayolah ...." Rey mulai merengek. “Ini bukan pertama kali kita tak mendapat nyawa para petinggi itu. Kita bisa saja ...."
Tarikan nafas dalam dibarengi tangan Erick yang terkulai, membuat Rey menghentikan ucapannya. Yang lain ikut menatap Erick yang kini membuka matanya dan menatap langit-langit ruangan. Detik berikutnya ia duduk dan menatap Arthur sekilas sebelum beralih pada Brian yang juga menatapnya.
"Kau ... Tak bisa melakukannya?" tanya Erick tiba-tiba. Brian mengernyit bingung.
"Erick, tadi ...."
"Tak peduli apa yang menghalangi jalanku. Tak akan aku biarkan mereka lolos," potong lelaki itu cepat. Rahangnya mengeras, bahkan tatapannya menajam. Erick berdiri dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya, menutup pintu kasar.
"Ada apa? Apa ada masalah lagi?" tanya Edward bingung. Jovi kini berdiri dan menatap Edward lurus.
"Mungkin orang ini bisa menjelaskan," tuturnya sembari menatap Brian sinis. Detik berikutnya ia juga masuk ke dalam kamarnya. Meski Edward dan Rey bingung dan menuntut penjelasan, tetap mereka tak bisa melangkahi garis formal yang mereka buat. Tak bisa mempertanyakan hal pribadi selain tugas yang diberikan. Keheningan kembali mengisi waktu mereka.
***
Anna menarik laci meja kecil di kamarnya, mengeluarkan sepucuk surat yang ditinggalkan sang ayah lima bulan lalu.
Untuk yang tersayang, Anna putriku.
Ayah akui, ayah melakukan kesalahan pada kakakmu. Memaksanya melakukan hal yang paling tidak ia suka. Semua hanya karena keegoisan ayah demi sebuah kehormatan dan pandangan orang lain. Ayah tak pernah memikirkan hal yang ia sukai.
Ayah harap, keputusanmu menjadi seorang polwan akan selalu membuatmu bahagia. Tak ada kata keterpaksaan.
Terkadang kejujuran bukan hal yang harus kau junjung. Karena kebohongan akan membawamu melihat seberapa jauh kejujuran itu bertakhta.
Ayah selalu menyayangimu.
Surat itu berakhir, hanya saja Anna tak begitu mengerti kalimat terakhirnya.
Apakah ayah memintanya melakukan sebuah kebohongan? Meletakkan kembali surat itu di tempatnya dan membaringkan tubuh lelahnya di ranjang king size miliknya.
"Kak An, bagaimana kabarmu?" bisiknya lirih.
***
Sedikit kesal karena rencananya kali ini tidak berhasil, terlebih alibinya semalam bahkan tak berbuah apa pun. Memang bukan pertama kali mereka gagal dalam menghabisi target, hanya saja entah kenapa ia begitu kesal. Sebelum ini, ia dan Brian nyaris tertangkap polisi karena tertangkap basah hendak melancarkan aksinya di sebuah apartemen salah satu sekretaris negara. Untungnya Brian bisa lolos karena kesigapannya berlari juga paksaan Erick, sementara ia harus terjebak di sana dan terpaksa harus melumpuhkan salah satu polisi. Erick mendengar setelahnya bahwa polisi yang ia tembak meninggal di tempat. Tertawa, hanya bisa tertawa saat ia tahu itu. Namun, kepedihan pun tak bisa begitu saja ia tutupi.
Jam menunjukkan pukul 03.45 dini hari tak membuat Erick menutup mata lelahnya. Justru ia bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar kamarnya. Gelap, Erick sudah tak melihat teman-temannya di sana. Dengan perlahan ia membuka kunci pintu dan keluar, tak lupa kembali ia menutup pintu dari luar dengan sangat pelan.
*
Udara dingin di pagi buta tak menghentikan deru motor yang di tumpanginya. Ia melesat membelah jalan sepi seperti tanpa penghuni. Pikirannya seperti bercabang dan selalu timbul cabang lainnya, seakan tak rela meninggalkan benaknya. Semakin keras ia berpikir, semakin kencang pula laju motor yang di tumpanginya.
Tak terasa lima belas menit berlalu, ia sampai di sebuah gudang penyimpanan barang yang terlihat sedikit usang. Memarkirkan motornya dan masuk ke salah satu bangunan di sana. Menyalakan lampu yang bahkan tidak begitu terang. Menatap berkeliling ruangan persegi panjang itu saksama. Tak ada perubahan, kecuali sedikit debu yang bertamu. Ia menjatuhkan diri ke sebuah sofa panjang yang berhadapan dengan sebuah Tv tua. Tatapannya mengawang, menyapa kenangan yang selama 13 tahun terakhir tak pernah di ingatnya.
"Jangan berlari, Kak. Nanti adik ikut berlari."
Satu suara menyelinap masuk ke dalam memorinya. Sangat jelas bahkan hanya untuk meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi.
"Ibu, aku merindukanmu," gumamnya pelan. Memejamkan mata dan mencoba mencari ketenangan lewat mimpi yang mungkin akan singgah sementara.
***
Deru tembakan terdengar beruntun dari sebuah tempat pelatihan menembak. Wanita mengarahkan pistolnya ke arah sasaran dan tak ada satu pun yang tepat.
"Jangan pakai emosi, kau tidak akan mendapatkan hasil apa pun." Suara seseorang menghentikan pergerakan wanita itu. Ia menoleh dan mendapati lelaki yang amat di kenalnya. Dia, Harlan salah satu pengawal presiden. Lelaki bertubuh tegap itu menghampiri Anna dan menurunkan pistol dari tangan wanita itu.
"Kau tidak bekerja?" tanya Anna setelah keduanya duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sisi ruangan. Harry tersenyum dan menggeleng cepat.
"Aku mendapat cuti lima hari. Aku rasa, aku bisa menemanimu." Cengirannya selalu mampu membuat Anna tersenyum.
Mereka memang sudah bersahabat sejak kecil. Bahkan Harry sangat akrab dengan keluarga Anna dan kakak laki-laki Anna adalah panutannya selama ini. Sangat disayangkan memang, kematian lelaki itu juga sempat membuat Harry terpuruk, hanya saja ia berpikir membuat wanita di sampingnya ini tersenyum adalah hal utama.
"Bagaimana perkembangan kasus? Apa berjalan baik?" tanya Harry, tetapi ia hanya mendapat wajah murung Anna.
"Gagal. Aku tidak tahu apakah Arthur benar-benar ada dipihakku atau tidak. Dia memberi informasi dan ...." Tarikan napas berat terdengar di barengi kepala yang tertunduk.
"Gagal? Sudah berapa kali dia memberikan informasi?" tanya Harry.
"Dua," jawab Anna masih menunduk.
Mendengar itu, gelak tawa pria di samping wanita itu terdengar nyaring. Anna meliriknya heran.
"Dua kali? Hahaha ...." Harry terus tertawa, sementara Anna menatapnya datar, sesekali mengernyit bingung, "Dia baru memberikan informasi dua kali. Gagal bukan berarti kau meragukan keahliannya," lanjut Harry yang tak lagi tertawa. Ia kini menatap wanita di sampingnya lurus begitu juga dengan Anna.
"Dengar! Arthur, bukanlah orang yang lalai akan tugasnya. Aku cukup mengenalnya dengan baik. Dua kali gagal, bukan berarti selamanya gagal. Kau jangan ...."
"Kau semakin cerewet saja. Apa yang kau makan selama berada di dekat presiden, eum?" Anna bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke arah pintu. Namun, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Menatap Harry dengan senyum tipisnya, "Aku tahu. Aku percaya padanya, juga padamu." Berbalik pergi, meninggalkan Harry yang hanya bisa menatap kepergiannya.
***
Satu pukulan, dan dua pukukan, sekali lagi menghantam wajah dan perut seorang pemuda dengan keras. Ada darah segar yang keluar dari mulutnya saat pukulan itu dirasakan menghantam perut dan mengguncang isinya.
Begitu saja, ia langsung termundur beberapa langkah ke belakang hingga tubuhnya menabrak meja dan mengacaukan benda-benda yang ada di atasnya. Lelaki itu mengusap jejak-jejak darah dimulutnya dengan lengan, lalu menatap pria itu dengan tatapan remeh. Sama sekali tidak takut untuk membalas sepasang mata elangnya itu.
"Kau bahkan berani menatapku." Pria bertubuh besar itu berujar pelan penuh penekanan.
"Kenapa aku harus takut? Huh! Kau bukan seseorang yang harus kutakuti," ujarnya meremehkan.
Meski tubuhnya sudah dipenuhi luka, dia masih punya banyak energi untuk menatapnya penuh kebencian.
"Kau!"
Sebuah balok kayu terangkat ke arahnya. Walaupun ia bisa menghindar, tetapi luka di sekujur tubuhnya menahannya tuk tetap diam. Sekali pun dia harus mati ditangan pria itu, dia tak akan pernah sudi tersenyum apalagi memaafkan. Biarkan ini menjadi ....
"Rey!"
Suara balok yang hancur setelah menghantam sesuatu, terdengar nyaring. Rey menutup matanya erat dan bersiap merasakan sakitnya. Namun, ia tak merasakan apa pun. Matanya terbuka dan semakin lebar saat melihat siapa yang ada di depannya.
"Brian ...."
Brian berbalik menatap pria besar itu dan memberikan tendangan di perutnya. Pria itu tumbang setelah menabrak dinding dan satu meja yang ada disana.
"Gegabah sekali."
TBC.
.
.
.
.

Komentar Buku (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru