logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chapter 7: PTSD

[Ben Andrews]
Aku menolak lupa atas apa yang telah terjadi padaku tadi malam. Tragedi yang begitu menyeramkan telah merampas nyawa dari orang-orang yang tidak bersalah. Seharusnya aku bertindak lebih cepat seraya menjaga diriku agar tidak mudah terkecoh. Namun, begitu mudahnya aku jatuh dan lengah, sehingga perutku ditikam oleh sebilah pisau tajam.
“Akh!” Aku menyesak pedih sebab gel regenerasi sel dan jaringan belum selesai menyembuhkan luka di lambung. Kata para tenaga medis profesional, bekas sayatan yang meradang di dagingnya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas jam untuk benar-benar sembuh. Akibatnya aku tidak bisa banyak bergerak, sehingga aku tidak diizinkan untuk berangkat ke sekolah seperti hari-hari biasa. Malah aku dihimbau oleh Mr. Howard untuk menginap di kamar Olivia, bagaikan seorang suami yang terpaksa cuti dari pekerjaannya akibat kecelakaan hebat yang melanda dirinya.
Memikirkan semua hal yang telah menimpa hidupku, jemariku mencengkeram kepala seperti seseorang yang menanggung banyak beban hidup. Punggungku menekuk ke bawah, dan kepalaku masih enggan untuk menghadap apapun kecuali seprai putih yang melingkupi tubuhku.
Aku menyangka apa yang aku bawa pulang adalah sebuah pelajaran berharga yang mendewasakan diriku. Namun apa yang aku alami benar-benar di luar dugaan. Aku berjumpa dengan seorang Ibu yang berusia paruh baya, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan banyak uang. Aku juga dihadapkan dengan kecelakaan besar di Jl. Lingkar Selatan Kota Pollux, di mana perutku dihunus oleh sebilah pisau tajam. Seandainya tim medis tidak segera datang untuk memberiku pertolongan pertama, pasti nyawa aku sudah melayang.
Setelah berpikir panjang dan menimbang-nimbang dalam hati, aku mulai berinisiatif untuk mencari tahu soal “Aghios Dollaros”, tulisan misterius yang muncul di bangkai truk itu, sebab mungkin saja tulisan tersebut mengandung makna dari berbagai hal yang aku alami hari demi hari. Karena itu, tanganku lekas meraih smart wristband di samping ranjang lalu menyalakannya. Layar pertama yang muncul adalah beberapa kolom kecil dengan aplikasi-aplikasi yang biasa aku gunakan. Salah satunya Search Engine.
“Klik! Aghios Dollaros,” Aku menekan aplikasi Search Engine, lalu mengetik frasa itu pada kolom pecarian. Kemudian, arti dari frasa itu langsung muncul persis di bawah kolom.
“D—Dewa uang,” ucapku sembari membacanya dengan seksama. Pikiranku mulai mengasumsikan banyak hal, sebab frasa itu seolah-olah mencerminkan seluruh rangkaian peristiwa yang sedang aku alami. Aku sempat berbincang-bincang dengan Mr. Howard yang selalu menghalalkan segala cara untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, bersapa jumpa dengan seorang Ibu pemilik kios antik yang rakus akan harta kekayaan, serta menyaksikan seorang anak kecil berada di bawah pengaruh kuasa kegelapan. Semua hal itu mengarahkanku kepada apa yang tertulis di Kitab Evangelum, dimana cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Menurut salah satu tafsiran dari kitab tersebut, rasa cinta yang berlebihan terhadap materi dan harta kekayaan merupakan wujud nyata dari Dewa Uang. Ialah Mammon, utusan utama dari Iblis Venos yang bertugas untuk menghancurkan umat manusia melalui kenikmatan dunia.
Menyadari hal itu membuat tubuhku meremang takut dan cemas. Jangan-jangan … Venos sedang mengutus Mammon untuk mengincar nyawaku!
Aku mengerang ketakutan, tubuh ku bergetar hebat hingga membangunkan Olive yang sedang terlelap di sampingku.
“Aduh, Benny!” Seru Olive yang masih setengah sadar. Dengan mata yang baru sedikit terbuka, Olive memaksakan diri untuk memakai piyama biru yang tergeletak di sebelah kirinya.
“Benny, kamu kenapa?”
“Jangan sampai! Jangan sampai Mammon mengincarku! Jangan! Jangan!” Aku menggelengkan kepalaku dan menghentakkan kaki ku tak beraturan. Aku pun memekik sekencang-kencangnya hingga wanita di sampingku menatap dengan cemas.
“Benny tunggu, kamu kenapa? Sadar Benny. Sadar!” Olivia memegang kedua pipi ku dan mendongakkan kepalaku. Manik matanya menatap ku dalam, hatiku menghangat ketika memandang manik mata yang meneduhkan kalbu.
Raut wajah Olive terlihat cemas. Dahinya berkerut, dan manik matanya berkabut. Ia mulai mengusap-usap keringat dingin di wajahku seraya membelai halus pipi dan rahangku, seperti seorang ibu yang sedang menenangkan buah hatinya karena mimpi buruk yang ia alami.
“Ben, sadarlah. Tarik nafas, lalu buang, tarik ... buang.” Suara merdu yang mengalun dari bibir tipis Olivia menghipnotis aku. “Tenang Benny, jangan panik. Apa yang kamu alami sudah berlalu. Tidak akan terjadi lagi.”
“Tidak akan terjadi lagi. Tidak akan terjadi lagi,” ucapku dengan nafas memburu. Kelopak mataku bergetar hebat, manik mataku mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, takut jikalau ada Iblis atau monster yang tiba-tiba muncul. Pikiranku berkecamuk, bibirku terus bergerak mengucapkan kata yang tidak beraturan. Tapi, apapun yang aku pikirkan adalah kata-kata yang keluar dari mulutku. Sungguh, aku tidak paham apa yang aku pikirkan, apalagi ucapan apa yang aku lontarkan pada wanita di hadapanku.
——————————————————————
[Olivia Tng]
Merangkulmu di dalam pelukan kasihku. Benny, sudah lama engkau hidup dalam duniamu sendiri, tanpa ada yang tahu engkau berjerih payah sendiri. Betapa susah hatiku melihatmu, Ben, karena kamu belum menemukan tujuan hidup. Kamu harus berusaha untuk melawan arus dunia, meskipun ia menawarkan berbagai kesempatan nikmat yang akan kamu dapatkan.
Aku tahu jika kamu enggan menjadi seperti Mr.Howard, tapi itulah hak istimewa yang bisa kamu raih dengan mudah. Aku juga tahu kalau kamu ingin hidup dengan tenang dan nyaman. Namun dunia ini seperti Iblis, dan kamu harus licik seperti ular untuk hidup di dalamnya!
Kamu terlalu naif, Ben. Meskipun kecerdasanmu di atasku akibat chip itu, tetapi kamu tidak bisa memanfaatkannya sebaik mungkin karena kamu enggan mengupayakan segala cara untuk membawa keuntungan bagi diri sendiri. Mengapa Ben? Mengapa kamu mau mengambil jalan hidup seperti ini?! Sebetulnya apa yang kamu cari?
Aku merasa iba padamu, Ben. Aku melihat dirimu masih memelukku dengan erat. Badanmu bergetar dengan manik mata yang terbuka lebar. Gigimu terkatup rapat, namun bibirmu enggan menutup. Kedua tanganmu mengepal di balik selimut, seperti anak kecil yang ketakutan akan hantu yang bersembunyi di bawah ranjang. Kamu hanya bisa mengucapkan kata-kata yang bahkan kamu sendiri tidak sadar dan tidak memahaminya.
Oh, Ben. Apa yang sedang terjadi padamu? Sudah dua tahun aku tidak melihatmu begini, Ben. Tetapi, bagaimana hal ini bisa terulang lagi? Apakah kejadian semalam membuatmu ketakutan, Benny? Apakah karena itu?
“Mammon, jangan dekati aku. Jangan ... Jangan!” ucap Ben dengan mata yang memerah. “Jangan ... Jangan! Pergilah kamu ... Pergilah. Pergilah!”
“Ben, sadarlah. Kamu kenapa, Ben? Tolong, jangan bikin aku takut!” bisik ku tepat di telinganya. Aku gelisah melihat tingkah lakunya yang semakin menjadi-jadi. Ia tidak bisa menjawabku, persis seperti orang yang kehilangan akal sehat. Sungguh, aku semakin dibuat kelimpungan oleh tingkahnya. Aku harus segera memanggil Papa, untuk menolong anak ini.
“Benny, maafin Olive ya,” ucapku dengan nada lembut. Tangan kiriku segera meraih smart wristband yang ada di meja, untuk memanggil Papa agar segera kesini.
“Mammon ... Mammon ... jangan mendekat, jangan mendekat!” ketus Benny yang masih bergetar ketakutan.
“Tenanglah Ben, Mammon tidak ada disini. Ada aku yang selalu ada untuk kamu, Ben. Jangan gelisah, sebentar lagi papa datang untuk menolong kamu,” ucapku seraya membelai lembut rambutnya.
“Howard datang kemari? Tidak mungkin, tidak mungkin!” Kedua tangan Benny keluar dari dalam selimut. Ia menyingkap selimut tersebut dengan kuat, seperti angsa yang sedang mengamuk. Kibasan itu terasa amat sangat kuat hingga mengenai wajah dan badanku. Dengan spontan aku menjerit kesakitan, namun aku enggan menjauh darinya. Tidak peduli sesakit apa pukulan itu, aku tetap berusaha untuk mendekatinya karena ia adalah kekasihku. Hatiku hancur melihatnya seperti ini, pasti rasa sakit yang ku alami saat ini tidak sebanding dengan apa yang ia derita.
“Benny, Sayangku ... kumohon, jangan mengamuk! Sadarlah Ben! Kumohon, sadar!” Tanpa terasa, buliran air mata jatuh membasahi pipi dan wajahku. Hatiku pedih, meratapi nasib lelaki di hadapanku.
Apakah ini akan terjadi selama puluhan tahun lamanya? Apakah ini gambaran masa depanku dengan Benny? Penuh ratapan dan tangisan?
Tidak, tidak selamanya Benny seperti ini! Pasti ini karena trauma. Ya, trauma akan kejadian kemarin. Oh! Betapa bodohnya aku! Seandainya aku tidak meminta dia membeli telur-telur itu, pasti penyakit lama ini tidak akan kambuh lagi!
Sekali lagi, aku harus menahan Benny yang menggila seperti kuda liar! Segera ku tahan kedua lengannya sekuat tenaga. Jangan sampai ia benar-benar kehilangan akal sehatnya! Aku yakin dia tidak akan mengulangi hal yang sama lagi, seperti dua tahun lalu.
“Ben, kumohon tena–” Ucapan dan kedua tanganku terhenti ketika mendengar suara pintu terbuka. Tidak lama setelah pintu terbuka, muncullah sosok pria yang berjalan mendekat ke arahku dan Ben. Badan jangkung, kulit yang sudah mengeriput tua dan manik mata tajam yang memandang kemari.
Ia adalah Papa, pria yang terlihat dingin nan tegas namun berhati lembut seperti malaikat.
“Olive, ada apa? Kenapa kamu ...”
“Papa, ah – ah!” Aku dihempaskan oleh Ben, hingga tersungkur jatuh ke bawah ranjang.
“Olive!” seru Papa secara spontan. Dengan langkah lebar, ia mendekati ranjangku.
Aku berusaha bangun dan mulai berjalan tertatih untuk naik ke atas ranjang, untuk menolong Benny. Ku kira Benny sudah sadar dan ingin menolongku, tapi dugaanku salah! Ia malah merentangkan kedua lengannya untuk mencengkram leherku dengan kuat. Aku memandang tepat di manik mata Benny, menahan sakit dan sesak dari cengkraman lengannya. Ia menatapku dengan lapar, seperti singa yang hendak memangsa rusa betina.
Benny, kamu kenapa? Akh! Kumohon ... lepaskan!
Ia menatapku semakin tajam, setajam pisau yang menghunus tepat di dalam hatiku. Apakah ia sedang dirasuki oleh hawa amarah? Bahkan aku hanya bisa bernafas pendek karena cengkraman yang begitu kuat dan erat.
Sejenak, aku merasa urat nadiku akan putus. Papa yang melihatku sudah hampir mati, langsung menarik pundak Benny. Ia mengepalkan tangannya untuk menghantam wajah Benny kuat-kuat. Seperti seorang ahli bela diri Judo, ia mengangkat badan Benny sekuat tenaga dan membenturkannya ke ubin lantai.
“Awh!” jerit Ben kesakitan, dengan tubuh yang limbung tidak berdaya. Papa berhasil mengunci tubuh Ben dengan aura berwarna hijau gelap.
“Tidak, tidak mungkin!” pekik Benny ketakutan. “Mammon, kumohon … Jangan, kumohon jangan jadikan aku sandara lama! Kumohon ja –” Belum sempat Benny menyelesaikan ucapannya itu, Papa langsung menaruh sebuah power controller yang berbentuk seperti mangkuk kecil pada dadanya. Manik mata Benny membola seketika, menatap Papa dengan ketakutan seperti terjangkit listrik kejut. Namun, tidak lama setelah itu kedua kelopak matanya menyipit dan terpejam. Urat-urat di lengannya yang kaku sudah mulai melemas dan tergeletak di atas dinginnya lantai. Benny pingsan, tidak sadarkan diri.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Papa segera meninggalkan kekasihku yang tidak berbusana dan menghampiriku.
“Olive, kamu tidak apa-apa? Apakah leher mu baik-baik saja?” tanya Papa dengan nada khawatir.
“Gapapa, Pa. Cuma sakit bentar aja, uhuk!” ketusku sembari terbatuk dengan kuat.
“Aduh ... untung kamu segera panggil papa. Papa takut kamu kenapa-napa.” Ia menelisik seluruh tubuhku, tatapan khawatir terlihat jelas dari kedua matanya.
“Iya, aman Pa,” balas ku seraya memijit leher yang masih terasa tegang.
“Pa, Benny kenapa ya?”
“Mungkin penyakit lamanya kumat, Live. Tapi jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja. Papa janji akan menangani calon suami kamu, dengan baik.”
Baik baik saja? Huft, kurasa tidak akan baik. Manik mataku menatap Benny yang sedang tidak sadarkan diri.
Oh, Ben, mengapa kamu harus seperti ini? Mengapa kamu tega menyakiti Olive, Ben?

Komentar Buku (53)

  • avatar
    PutraGalang

    kerasss

    22d

      0
  • avatar
    Amelia

    500

    18/08

      0
  • avatar
    A.HASRAWATI

    kamu jelek

    31/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru