logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chapter 5: The Fire

Aku tidak perlu berlama-lama lagi di kios itu, sehingga aku pun bergegas keluar untuk bermalaman bersama Olive di rumahnya. Bersandarlah sebuah motor putih dengan kanopi yang berlapis jendela hitam. Papa memberi motor itu kepadaku sebagai hadiah ulang tahunku di saat memasuki usia dua belas tahun.
Kedua kakiku bergrasa-grusu mendekati motor yang berbentuk seperti ikan yang tak berekor. Telunjuk menjangkau kedalaman saku celana di mana kunciku berada, lalu menekan tombol “nyala”. Kanopi putih berlapis kaca hitam nan gelap mulai naik ke atas, menunjukkan apa yang tersingkap di baliknya, yaitu sebuah ruangan yang berkursi empuk, panjang, dan beruang cukup bagi dua orang.
Brum brum …
Suara pipa gas mulai menggeram di saat motorku melewati gundukan rumput itu. Sejenak senter kuning menyapu semak-semak yang gelap dan berdaun lebat, di jenak lain hewan-hewan liar seperti kucing dan kodok mulai panik dan berlalu-lalang di depan motorku. Mereka membuatku geram, sehingga aku harus menekan tombol klakson itu berkali-kali sampai mereka tidak mengganggu arah pandanganku lagi.
Sesaat sebelum motor menembus semak belukar, aku harus melingkupi badannya dengan perisai elektromagnetik agar tidak lecet. Hanya dengan menekan tombol berwarna biru, jaring-jaring berwarna biru muda lekas membentuk sebuah pelindung kasat mata yang bersinar terang. Pelan-pelan, motorku melewati semak-semak itu. Daun-daun lebat yang menyentuhnya tidak mengalami kerusakan parah, kecuali duri-duri semak yang mengenai perisai plasma menjadi tumpul dan patah.
Motor Gyuuki-ku mulai berkelak-kelok untuk menghindari bagian yang terlalu bersemak. Ia sempat bermanuver ke kiri, ke kanan, terus dan terus, hingga terpancarlah kerlap-kerlip sinar surgawi yang menyinsing dari arah utara. Seketika daun-daun lebat dari semak belukar mulai berhenti merayap, mempersilahkan ruas jalan raya terpampang luas di depanku, menghadap wajahku. Manik menyaksikan gedung-gedung tinggi sedang mencakar awan-awan sirus tipis yang menghiasi langit malam berbintang dan berbulan sabit.
“Akhirnya sampai juga di Jalan Lingkar Selatan, Kota Pollux!” ucapku dengan hembusan napas lega. Hampir saja jari-jemari memuntir genggaman gas di sebelah kanan, tiba-tiba …
“Honk honk!” sebuah truk kontainer yang berkerangka aerodinamis seperti kereta maglev melaju amat sangat cepat hingga melewati perbatasan jalan raya. Aku segera memundurkan motor ini dengan menekan tombol “back” secepat mungkin. Sekejap aku menekan tombol itu, kejap lain ia lewat persis di depanku, meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan hingga menabrak sebuah petroleum raksasa di timur laut.
“Boom!” truk itu meledak, hancur berkeping-keping tanpa menyisakan sedikitpun rangka yang masih utuh. Aku lekas memejamkan mata karena cahaya ledakan yang amat sangat silau.
Beberapa jenak setelah truk itu meledak, aku membuka mata separuh untuk melihat apa yang sedang terjadi:
Si jago merah melahap habis seluruh area pom bensin.
Banyak orang yang terjebak di dalamnya, merintih kesakitan dan berteriak minta tolong.
Di tengah-tengah situasi seperti ini, tidak ada satu pun aparat keamanan yang hadir untuk menolong mereka.
Apa yang bisa kamu lakukan, Ben? Apa?
——————————————————————
Minyak bensin menyosor keluar dari tangki raksasa, mengalir ke tengah-tengah aspal sampai semua kendaraan sulit untuk melintas di sepanjang jalan itu. Banyak orang berbondong-bodong turun dari mobil dan motor mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka berdiri menghimpit satu sama lain, serta beberapa yang kurang jangkung berburu-buru menyalip sesamanya agar bisa melihat bagaimana sebuah pom bensin raksasa dilahap habis oleh si jago merah.
“Seseorang, siapa pun itu, tolonglah mereka!” seru seorang wanita muda berambut pirang dan tergerai lurus ke bawah.
Beberapa orang yang mendengar seruan wanita mulai mengambil satu-dua tapak untuk mendekati nyala api itu. Namun, kobaran api panas lekas memukul mundur mereka semua yang berdiri di dekatnya.
“Ini berbahaya! Kami tidak bisa menyeberang atau melintas di sepanjang ruas jalan ini!” seru seorang pria yang berambut pirang dan berseragam putih formal.
“Tenang, Pedro! Aku punya cara untuk mengatasi hal ini!” ujar pria berkulit hitam keungu-unguan yang berdiri di samping kanannya. Hidung yang bermoncong lebar mendengus kencang, serta mata belo menatap ke arah bara api itu seperti orang yang ingin bertengkar. Ia pun menunduk sejenak, menempelkan kedua jempolnya pada sisi kiri dan kanan dari sepatu bersol hitam yang biasa digunakan oleh orang-orang berkelas elite untuk pergi ke kantor. Muncullah sebuah terusan mekanik dari mulut sepatu berupa silinder besi yang bertuliskan “water and fire proof”.
“Inilah saatku untuk menyelamatkan mereka!” ia berseru sambil mendekat ke bara api itu tanpa rasa takut.
“Hey, Chevuano, kenapa masuk ke sana? Udah kulitmu gosong, kamu mau lebih gosong lagi?!” ujar Pedro.
“Bacot burung Kakatua putih! Kamu berani tidak masuk kemari? Punya tidak perisai fireproof yang bisa melindungi kaki kamu, hah?!”
Pedro tidak bisa berkata-kata lebih lanjut. Karena itu, ia memilih untuk diam, mempersilahkan Chevuano untuk masuk ke dalam kubangan api yang berlumpur minyak.
“Saksikan ini, hahaha!”
Chevuano menantang dirinya untuk bermain dengan bara api tanpa rasa takut. Baru sejenak ia merentangkan kaki kanan, sulut-sulut api langsung melahap sekujur tubuhnya. Semua orang lekas menjangkau jari-jemari mereka untuk menarik lengan kanannya. Namun, ia malah terpeleset masuk ke dalam kubangan api itu.
“Kumohon, tolong aku! Tolong aku!” Chevuano menjerit kesakitan. Lengan yang merentang ke atas dilahap habis jadi arang hitam berasap tebal.
Melihat apa yang terjadi pada orang yang baru saja memarahinya, Pedro membuat tanda doa di dahi dan dada. “Semoga Sang Mahatinggi memberi dia tempat peristirahatan yang layak,” ucap Pedro dan orang-orang di sekitarnya.
Saat mendiang Chevuano melangkah masuk ke dalam jurang maut, aku berlari secepat mungkin kemari untuk menolong dia. Namun, kejadian berlangsung begitu cepat dan singkat, hingga tidak ada satupun orang yang bisa menyelamatkan nyawanya.
Mendengar orang banyak berhuru-hara atas kejadian heboh yang menimpa seluruh ruas jalan, aku harus segera mencari cara untuk menyelamatkan mereka yang terjebak di dalam pom bensin. Tangan kiri menyentuh pundak Om Pedro, lalu berbisik, “Om ...”
“Hah, kenapa Mas?” ucap Om Pedro dengan suara lantang akibat suasana yang sangat bising.
“Tolong aku sebentar saja. Berdirilah di dekat WC itu dan aku akan masuk ke dalam untuk menyelamatkan orang-orang itu!”
“Hah kamu? Yang benar saja? Barusan bapak ini meninggal dan sekarang kamu mau bermain di dalam kubangan api? Yang benar saja kamu?!” senggak Pedro dengan suara nyaring.
“Shh Shh, tenang, Om!. Aku bisa lakukan ini Om. Percayalah. Aku adalah pasukan dari Bio-Max. Jangan kasih tahu siapa-siapa karena ini adalah misi rahasiaku. Biarkan aku menolong orang-orang di dalam pom bensin ini Om. Kumohon.”
“Hmm ...,” Om Pedro menggumam. “Kalau kamu benar-benar adalah pasukan Bio-Max, aku bisa bantu kamu. Aku akan berdiri di sana, di dekat WC, dan kamu harus buktikan ke aku melalui Henshin kamu.”
“Tapi Henshin itu rahasia Om!” protesku.
“Tenang, aku sudah sering lihat itu. Kamu tidak usah khawatir. Rahasia mereka aman di aku. Percayalah.”
Seteguk air liur masuk dan membasahi tenggorokanku, sebab aku khawatir bila ia mengumbar-umbarkan rahasia ini ke semua orang. Namun, karena waktu yang terbatas, aku segera mengajak Om Pedro ke sebuah lahan kecil dekat WC. Kami pun berduyun-duyun menyusuri jalan yang ramai dipadati orang, terus berjalan tanpa henti meski tubuhku berdesak-desakan dengan para pengguna jalan.
“Sesak sekali,” keluhku dalam hati. Manik tertuju pada cahaya merah yang bersinar di ujung sana, yaitu lautan api yang panas dan membara. Lengan yang kekar berusaha untuk meraih sinar itu, melawan arus dari orang-orang yang bergerak menjauh sedikit demi sedikit karena sulut-sulut api menerjang kemari!
“Sedikit lagi, Ben, sedikit lagi!” kakiku merentang sedikit ke depan, tidak sengaja bertumpu pada kaki seseorang.
“Aw sakit bodoh!” orang itu mengamuk dan menghempasku keluar dari rombongan banyak orang. Akibatnya, badanku roboh dengan wajah yang mengenai permukaan aspal. Lidahku mengecap tanah yang berbau pekat, serta hidungku mencium bau bensin bercampur arang hitam.
Aku segera menengadah ke atas dan kedua tanganku mencengkeram aspal yang panas dan kasar Namun, manik mendarat pada sebuah pemandangan yang begitu menakutkan berada di depanku. Inikah neraka, di mana jiwa-jiwa yang menjerit kesakitan memohon pertolongan dari Sang Mahatinggi?
“Hey, Mas!”
“Hah?”
“Berdirilah, sini Om bantu!”
Om Pedro memecah rasa takut yang seketika merasuki alam bawah sadarku. Aku lekas meludah ke arah belakang karena butir-butir tanah menempel pada lidah dan gusi.
“Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Om Pedro yang melihat aku batuk.
“Aman Om,” balasku sembari mengelap lidah dengan bagian dalam dari baju berkerah. “Yok kita pergi ke dekat WC. Aku akan menarik mereka keluar dari bara api itu.”
“Yok!”
Kami pun berjalan mendekati WC yang berhawa amat sangat panas. Sungguh, betapa mirisnya tempat yang semula berdiri kokoh kini meninggalkan puing-puing kenangan. Pintu, kloset dan semuanya telah dilahap habis oleh si jago merah.
Pikiranku berkecamuk, memikirkan bagaimana nasib orang-orang yang sedang berada di dalam bara api itu? Apakah mereka akan baik-baik saja?

Komentar Buku (53)

  • avatar
    PutraGalang

    kerasss

    23d

      0
  • avatar
    Amelia

    500

    18/08

      0
  • avatar
    A.HASRAWATI

    kamu jelek

    31/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru