logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chapter 3: Love or Lust

“Sialan, kenapa harus seperti ini? Kenapa?”
Aku membatin dalam marah yang tak kunjung padam. Duduk sendiri di samping rak buku tidak dapat menyembuhkan hati yang kecewa atas hidup ini. Mengapa aku harus bertunangan di usia lima belas tahun? Aku belum siap untuk menjalaninya, sebab aku masih ingin bermain bersama kawan-kawan lainnya yang berusia sepantaran denganku. Aku masih ingin menikmati wahana game online seraya bercakap santai dengan mereka. Namun aku tidak bisa melakukannya lagi, karena caraku berpikir dan bertutur kata sudah berubah akibat chip sialan itu! Hanya Olive yang bisa memahamiku, sebab ia sudah lama dekat denganku.
“Sialan, sial—-“
Di saat aku ingin membanting meja ini sekuat tenaga karena marah, tahu-tahu ada jemari lembut yang menahan tanganku. Aku lekas menoleh ke belakang, melihat Olivia Tng menatapku dengan rona wajah gelisah.
“Ben, kamu kenapa?” tanya Olivia kepadaku. “Mengapa kamu sendirian di dalam perpus sambil membanting-banting buku sejarah Ideologi Spiritual?”
“A—Aku …”
“Kemarilah, jangan malu-malu.”
Dengan lembut Olive memutar kursiku ke belakang. Jemari halusnya menyantuh pipiku untuk mengelap sisa-sisa air mata.
“Ben, kamu kenapa menangis?” tanya Olive dengan suara lembut. “Lagi ada masalah, ya?”
“Nggak kok, cuman …”
“Cuman apa?”
“Aku tidak siap saja, Live. Maafkan aku. Tapi, aku terpaksa mengiyakan ayahmu agar ia tidak marah kepadaku,” ucapku seraya terisak pelan.
“Oh, Benny,” ucap Olive seraya mengusap kantung mata yang basah. “Kamu masih terlalu muda. Tetapi ada banyak sekali beban yang ditimpalkan ayahku kepadamu. Ini adalah hari tunangan pertama kita, dan aku paham kalau kamu sama sekali belum siap.”
“Iya, mana mungkin aku siap, Live!” ucapku gusar. “Kita berdua masih lima belas tahun, dan dari dahulu juga aku tidak pernah menyukai ideologi perusahaan ini. Aku juga masih belum mau berpacaran, tapi sudah dipaksa bertunangan. Ak—“
Tahu-tahu, Olive merengkuh ku dalam pelukannya. Ia melingkarkan kedua lengannya pada punggungku, membuat wajahku tepat di depan dada. Rambut hitam panjang menjulur sampai ke permukaan bahu. Bibir lembut nan beraroma mint hijauu mengecup rambutku, lalu berucap,
“Sayang, aku sudah tahu apa saja yang Papaku ucapkan kepadamu. Aku juga awalnya tidak setuju sama seperti kamu. Seolah-olah kita menjadi boneka untuk melakukan apa yang dia mau. Tetapi dari sana aku belajar bahwa hidup ini memang tidak mudah. Untuk menjadi orang yang sehebat dia, kita berdua memang perlu mengorbankan banyak hal. Mulai dari masa remaja kita, hingga hal-hal yang membuat kita bahagia. Namun …”
Ia mulai menjauhkan dadanya dari mulutku. Aku mendesah kecewa dalam hati, ketika berhenti merasakan dada yang lembut dan berbau harum itu.
“N—Namun kenapa,” Aku menatap wajahnya dengan hasrat yang bergejolak di dalam dada. Inikah birahi dari seorang pria terhadap lawan jenisnya? Tidak. Tidak mungkin aku jatuh hati pada wanita yang aku anggap sebagai adik angkatku.
“Namun,” lanjutnya seraya menunduk, menempelkan dahinya padaku. “Aku akan memperlakukanmu dengan baik, Benny. Aku akan membuatmu tidak menyesali hari ini. Percayalah padaku. Kamu akan menganggapku sebagai kekasihmu dan bukan lagi adik angkatmu.”
“K—Kekasih? Mengapa harus seperti itu, Olive?” Aku bertanya dengan manik yang terpana pada pupilnya yang bulat dan sebening batu permata.
“Mengapa seperti itu, karena kita akan menjadi lebih dari adik angkat. Bahkan lebih dari sahabat. Pertemanan kita itu selama-lamanya, Benny. Selama-lamanya.”
Olive menyentuh rahangku seraya menempelkan permukaan jempolnya pada bibirku. Tatapan yang sayu dan lemas itu membuat hatiku terenyuh. Entah mengapa manik mataku hendak melihat badannya bila tak berbusana, juga hidungku ingin merasakan aroma dari tubuhnya yang harum? Mungkinkah bertunangan di usia muda itu tidak seburuk yang aku kira?
“Berteman selamanya, lebih dari sekedar kakak dan adik angkat …,” gumamku.
“Iya, karena memang kita bukan kakak dan adik angkat. Kita diberi ruang untuk dekat dari kecil, seperti halnya kakak beradik, agar ikatan perasaan kita kuat saat kita beranjak usia remaja, muda dan dewasa. Kamu perlu mensyukuri itu, Ben. Banyak orang yang ingin menjadi seperti kamu, karena kamu sudah punya calon istri, bahkan mewarisi takhta Bio-Max. Siapa yang tidak mau, Benny?” jawabnya sambil membelai rambutku dengan halus.
“Aku masih ragu saja, sebab aku tidak suka dengan cara Papamu dan Papaku bekerja. Mereka selalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Selalu,” keluhku.
“Kamu masih naif, kamu masih belum mengerti banyak hal tentang dunia orang dewasa Ben. Tapi, aku bisa membantu kamu agar pikiranmu mulai terbuka, karena kamu adalah calon suamiku.”
Pelan-pelan, Olive mulai membuka kedua lengannya. Ia menjauh sedikit, lalu memberiku secarik kertas yang di dalamnya adalah uang senilai 20 sRP, atau setara dengan dua ratus ribu rupiah.
“Ben, nanti kamu pergi ke suatu tempat untuk membeli apa yang tertulis di kertas ini. Di sana, akan ada seorang Ibu yang akan memberi tahumu berbagai hal seputar dunia orang dewasa.”
Lengan kananku menjangkau kertas itu, lalu mengambilnya. Kemudian, aku meletakkannya pada saku jaket sembari menggeser retsletingnya agar tidak jatuh.
“Baik, Nona,” ucapku seraya tersenyum simpul. “Setelah itu apa yang akan kita lakukan?”
“Kita akan bersenang-senang Ben, semalaman,” jawab Olive. “Kamu boleh melakukan apapun denganku, Ben. Apapun, yang penting kamu senang.”
“Apapun …,” Manik mataku menatap bulatan dari buah dadanya. ”Baik, Olive. Kirimkan alamat Ibu itu padaku. Setelah aku membeli barang yang kamu mau sambil mengajak ngobrol Ibu itu, kita akan bersenang-senang.”
“Baik, Ben. Baik,” tutup Olive dengan senyum yang manis, seraya membelai kedua daun bibirku. “Sampai jumpa nanti, sayang.”
“Sampai jumpa,” senyumku.

Komentar Buku (53)

  • avatar
    PutraGalang

    kerasss

    23d

      0
  • avatar
    Amelia

    500

    18/08

      0
  • avatar
    A.HASRAWATI

    kamu jelek

    31/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru