logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Sakit

Limo terlihat tidur siang, Salimah bersiap untuk ke rumah Bu Seno.
Hari Jumat Laila libur bekerja.
Limo mengigau dan terlihat resah sambil tetap memejamkan mata.
Laila membangunkan adiknya.
"Mo, bangun, kamu belum salat Zuhur, ayo."
"Aku pusing."
Laila menyentuh pipinya.
"Ya, ampun pipimu kok panas."
Laila menyentuh pipi dan dahinya berulang kali.
Setelah memastikan lagi dahinya ternyata memang demam.
Laila segera mencari obat paracetamol yang biasa Ibu simpan.
"Mo, ayo bangun kamu harus minum obat, kamu buka puasa saja."
Limo membuka matanya dan mulai bangkit.
"Mau ke mana Limo, ayo buka saja kamu lagi sakit, jangan ke luar."
Limo terduduk di teras sambil menatap pohon pisang.
Laila segera menyusul sambil membawakan air minum.
"Aku masih puasa, enggak mau minum obat."
"Tapi kamu lagi demam, ayo mau makan dulu enggak?"
Limo menggelengkan kepalanya dan kembali lagi ke dalam kamarnya.
"Aduh, kamu ini keras kepala, ya sudah tidur saja nanti kalau enggak kuat makan saja ya, enggak apa-apa."
Limo tidak menjawab lagi.
"Duh, anak ini susah sekali dikasih tahu!"
*****
Udara memang panas namun Laila merasa khawatir karena Limo terlihat masih tertidur dengan kondisi badan yang panas.
Kemudian dia mengompres agar demamnya mereda.
*****
Salimah pulang dan mendapati Laila sedang mengipasi Limo.
"Loh, kenapa dia?"
"Dia demam tapi enggak mau minum obat katanya mau tetap puasa."
"Aduh, anak itu, Limo, ayo bangun, Nak."
Limo membuka matanya dan menghampiri Ibunya kemudian memeluknya.
"Aduh, ini kok panas badanmu, ayo buka saja, Nak, enggak apa-apa kok."
Akhirnya Limo mau menuruti Ibunya. Segera makan dan minum obat pereda panas.
"Jangan langsung tidur, tunggu beberapa menit, sekarang kamu nonton saja sana."
Limo mengangguk dan segera menyalakan televisi.
*****
"Siang ini Ibu harus ke rumah Bu Seno ada mau bikin takjil diolah dari pukul satu nanti, kamu nanti buatkan agar-agar buat dia, Laila."
"Iya, nanti aku buatkan."
Limo tersenyum mendengar mereka membicarakan makanan kesukaannya.
"Kenapa kamu senyum begitu, nanti kalau udah baikan baca buku pelajaran lagi, Mo."
"Iya, kak, tapi aku batal puasa apakah berdosa?"
"Kamu lagi sakit jadi enggak berdosa, kalau sengaja baru enggak boleh, dosa!"
"Ya, nanti kalau sudah selesai ramadhan, kamu bisa mengganti puasa yang bocor." ujar Ibu menimpali.
Pukul dua lewat lima.
Laila dan Limo asyik menonton televisi.
Sambil makan agar-agar, Limo bercerita kalau dirinya diberi uang oleh Bu Salim saat kemarin bermain di area kebun miliknya.
"Wah, berapa, Mo?"
"Sepuluh ribu, ini masih di saku."
"Kamu enggak ganti baju dan celanamu dari kemarin?"
"Aku lupa, tadi pagi mau ganti tapi keburu ngantuk dan pusing, kakak."
"Ya sudah ganti bajumu, kalau abis main dari kebun jangan lupa mandi dan ganti bajumu."
"Aku mandi kok, cuma enggak ganti baju saja."
Laila menggelengkan kepalanya.
"Kak, aku mau roti itu dong."
"Roti apa?"
"Itu yang barusan ada di televisi."
"Berdoa saja, harganya mahal, sayang kalau beli mending buat kolak saja lima ribu rupiah."
"Tapi aku punya uang kok."
"Iya, tapi harus pesan online, kita enggak punya ponsel."
"Ya sudah deh, semoga Allah kasih kita roti."
"Kukira ponsel, ya udah Aamiin deh, bulan puasa harus banyak berdoa dan Allah itu maha pengabul, mudah-mudahan doamu terjawab."
"Ya deh, yang rasa coklat mudah-mudahan dikasihnya."
"Ada-ada saja kamu, Mo."
*****
Pukul 15.00
Salimah pulang membawa kantong plastik berisi sayuran dan makanan.
Laila langsung membantu Ibunya yang seperti kerepotan karena membawa dua kantong.
"Apa ini, Bu kok banyak?"
"Buka saja, ada makanan buat kamu sama Limo."
"Wah, Limo ayo bangun sini lihat ada makanan."
Laila mengeluarkan plastik yang berisi roti-roti dengan aneka rasa tertera.
"Alhamdulillah, Mo, lihat nih doamu terkabul, ini rotimu."
"Wah, iya, alhamdulillah, banyak sekali rotinya."
"Bereskan dulu semuanya, Ibu belum selesai, mau balik lagi, mungkin buka di rumah Bu seno, tolong sisakan roti buat Ibu bawa ke sana."
"Iya, masih banyak kok, ini ada enam bungkus, bawa saja dua."
"Satu saja."
"Ibu kok hari ini sibuk banget, emang ada acara apa?"
"Ternyata anak Bu Seno menikah, acara buka bareng keluarganya sih, tapi masak sekalian buat beberapa tetangga juga, walau enggak semua sih."
"Oh, yang kuliah di Jakarta ya, Bimo kalau enggak salah."
"Iya, kamu kenal sama dia?"
"Waktu kecil aku suka dikasih jajan sama dia pas ke warung bareng adiknya yang seumuran denganku waktu dia masih SMP dulu."
"Oh, iya, Fina emang seumuran sama kamu."
Salimah yang terlihat kelelahan mencuci wajahnya berungkali. Rasa kantuk dan lapar menjadi satu.
Laila merasa Iba dan menawarkan diri ikut serta membantunya di rumah Bu Seno.
"Bu, aku ikut saja, mau bantu sekalian."
"Enggak usah, kamu masak saja dan jagain Limo, gimana panasanya udah turun?"
"Sudah agak turun, mungkin harus makan lagi nanti obatnya."
Ya sudah, Ibu balik lagi ke sana abis salat ashar."
"Iya, baiklah."
******
Menjelang magrib Laila berbuka sendiri. Ibunya belum juga pulang.
Gadis berambut panjang itu memakan rotinya dengan lahap ditemani adiknya yang juga sedang asyik makan roti keduanya.
"Kak, roti mahal itu enak ya rasanya, empuk."
"Iya, kamu senang hari ini dapat roti itu, dasar rakus makan sampai dua."
"Enak banget sih, coba setiap hari, hehe."
"Bersyukur hari ini kita bisa makan roti mahal ini, tapi kalau tiap hari 'kan enggak bagus, kamu harus makan sayur, demammu sudah turun, besok puasa ya Limo."
"Iya kak, aku udah enggak pusing lagi."
Sudah hampir pukul delapan tapi Ibunya belum juga pulang.
Laila membuka pintu dan duduk di teras sambil minum kopi.
Limo terlihat asyik menonton.
"Kakak, kenapa di luar, sini masuk."
"Apa sih, Mo, teriak-teriak, kakak lagi ngadem nih."
Tidak lama Ibunya datang.
"Kamu ngapain di luar minum kopi, persis mendiang Bapakmu, ayo masuk."
"Aku nungguin Ibu, sambil ngadem dan minum kopi."
Limo terlihat senang saat Ibunya sudah datang dan segera menghampirinya.
"Ibu bawa apa lagi tuh?"
"Ini makanan buat sahur, kamu udah sembuh, Nak?"
"Sudah, aku enggak panas lagi."
"Ya sudah sana tidur jangan nonton terus, besok susah dibangunin sahurnya kayak kemaren."
"Iya deh, sebentar lagi."
*****
Laila membuatkan teh manis untuk Ibunya.
"Minum tehnya, capek banget ya, masak banyak."
"Cuma dua ratus porsi itu juga dibantu dua orang saudaranya."
"Ibu sudah makan?"
"Sudah di sana, makan nasi sama sayur sop."
"Ibu mau makan roti, masih ada kok, sisa tiga lagi."
"Buat kalian saja besok, Ibu udah nyicipin tadi di sana, enak ya, rotinya empuk banget."
"Iya, beda sama yang biasa kita beli di warung yang suka keras."
"Alhamdulillah, oh, ya kamu cepat tidur besok masuk kerja, ayo sana."
"Bentar lagi, masih setengah sembilan, kopiku masih nyisa, sayang kalau enggak diminum."
******
Pukul sepuluh malam, tapi Salimah belum bisa memejamkan matanya.
Dia kemudian menyetrika pakaian Laila untuk bekerja esok hari.
Laila terbangun dan hendak ke kamar mandi.
"Loh, kok malah setrika malam begini?"
"Iya, Ibu belum ngantuk, kamu mau ke mana?"
"Sakit perutku, mau buang air besar."
"Ya sudah, tuh bawa senternya di sana, takut lampu enggak nyala."
"Udah nyala lagi tadi lupa belum aku nyalakan saklarnya. Jadi gelap."
"Ya sudah, sekalian bawakan air seember buat cuci piring pagi-pagi."
"Iya baiklah, Bu."
******

Komentar Buku (24)

  • avatar
    MaulanaFiki

    bocil ml

    20/07

      0
  • avatar
    RamajbStok

    kawin dan buka LG g flex dan aku

    07/06

      0
  • avatar
    MaulanaRangga Lintan

    mantap

    31/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru