logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Bekerja

Laila bekerja dengan semangat meskipun terkadang ada rasa lelah karena harus berjalan kaki datang dan pulang bekerja.
Bayangan Ayah dan Ibunya yang tidak pernah mengeluh sedikit menguatkannya meskipun keadaan ekonomi yang minim.
****
Pov Laila
Aku tidak bisa bayangkan seandainya Ibu yang pergi bekerja dengan berjalan kaki sambil membawa karung berisi botol yang meski ringan, kurasa tetap melelahkan.
Raut wajahnya yang tenang tetap saja tidak bisa menipuku bahwa dia sangat lelah ditambah harus membantu di rumah-rumah warga kompleks.
Aku berharap suatu saat aku akan sukses dan bisa membuat Ibu bangga dan supaya dirinya bisa menikmati masa tuanya di rumah saja.
Matahari-matahari, sinarmu mohon berikan kepada Ibuku agar dia bisa tersenyum bahagia.
Ya Allah, wahai Engkau penguasa alam semesta, kuatkan langkahku dan perutku.
*****
Suasana tampak sepi, menjelang sore biasanya memang akan banyak pembeli yang berdatangan.
Dua temannya terlihat lesu sambil duduk di bangku yang tersedia di luar kedai.
Pemilik kedai, yaitu Bu Joko tidak setiap hari memantau. Di tambah kesibukannya mengurus Ibunya yang sudah sepuh.
*****
Satu per satu datang pembeli. Dari kejauhan Laila melihat Ibu-ibu yang biasa memberi makanan kepadanya.
Semoga mereka tidak ke sini, eh tetapi kasihan Bu Joko kalau omset hari ini sedikit. Aku jadi enggak tega berdoa jelek kayak gini!
Ternyata mereka menghampiri kedai tersebut.
"Eh, Laila kerja di sini? Baguslah dari pada diem di rumah enggak ada kegiatan, ha-ha-ha!" ucap Bu Dina yang terkenal suka tertawa keras.
Yang lain ikut pula menimpali. Laila tersenyum kecut. Ira temannya terlihat menghampiri.
"Maaf, Ibu-ibu mau beli minuman untuk berbuka?"
"Enggak deh, kita kebetulan lewat aja, abis beli makanan buat berbuka, lain kali saja, ya."
Ira tersenyum kemudian kembali ke meja dekat dapur.
Setelah mereka meninggalkan kedai, Ira menghampiri lagi Laila.
"Kamu kenapa? Pasti kamu kesal, aku juga pernah ngerasain kok dijulidin kayak gitu, sabar saja ya."
Laila mengangguk dan tersenyum pada Ira.
Beberapa menit kemudian banyak yang membeli minuman ringan dan roti bakar.
Mereka bertiga terlihat sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.
Pukul lima lebih stok minuman dan roti habis terjual. Mereka bersiap untuk segera pulang memburu waktu yang semakin cepat berlalu.
Meski lelah Laila senang hari ini banyak pembeli. Dia segera mempercepat langkahnya namun karena sedang puasa terkadang berhenti sejenak mengatur napas.
Perjalan menuju rumah yang lima belas menit terasa begitu lama. Dia melewati sebuah masjid terdengar lantunan ayat suci.
Dia melirik jam tangan yang dia pungut di tempat sampah. Keadaannya masih bagus dan jarumnya masih berfungsi dengan baik.
Hampir adzan, tetapi dia pasrah dan terus berjalan.
Adzan berkumandang sebelum dia sampai ke rumah.
*****
Ibunya terlihat membuka pintu dan tersenyum kepadanya.
"Ayo langsung minum, kamu pasti lelah."
Satu gelas langsung dihabiskannya. Setelah merasa segar dia tersenyum.
"Makasih, Bu, hari ini kedai ramai."
"Syukurlah, ayo kamu mandi dulu sana dan makan kue ini dari Bu Salim, tadi sore ke sini ngasih beras."
"Alhamdulillah kalau begitu."
*****
Malamnya mereka beristirahat selepas salat Isya.
Terdengar ketukan dari luar ....
Salimah segera membuka pintu.
Ternyata dua orang warga kompleks yang membawa bingkisan.
"Eh, Bu Seno, silakan masuk."
"Enggak usah, ini dari kami berdua ada sedikit makanan, tadi kami kira tarawih di masjid, eh kami cari ternyata enggak ada, ya sudah kami ke sini saja, hehe, iya 'kan Bu Sinta?!
Wanita yang bernama Bu Sinta itu mengangguk sambil tersenyum.
"Eh, iya, saya tidak tarawih di masjid."
"Ya sudah, tapi kali-kali salat berjamaah biar kita ketemu dan siapa tahu nanti ada rejeki, ini 'kan bulan berkah, perbanyak ibadah Bu, biar bisa merubah nasib."
Salimah mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Selepas mereka pergi, Laila menghampirinya.
"Mereka tuh abis ibadah, tapi selalu saja menghina, kali-kali Ibu lawan dong, jangan takut."
"Bukannya takut, Nak, tapi Ibu capek aja lagi pula buat apa ngeladenin dia, biar saja dia ngomong kayak gitu, toh semua akan kembali pada dirinya."
Laila terdiam dan kemudian menatap Limo yang sudah tertidur di bawah tikar.
"Sebentar lagi pindahkan dia ke kamar, kamu makan lagi sana, biar enggak kurus."
"Bentar lagi deh, aku mau buat kopi saja."
"Ya sudah sekalian buatkan Ibu."
*****
Laila dan Ibunya masih berbincang. Jam dinding menunjukan pukul setengah sembilan.
"Malam ini kita tanpa Ayah, tapi terasa seperti masih ada."
"Ya, Bu, aku pun merasakan hal yang sama, biasanya Ayah akan membakar singkong dan minum kopi sambil membaca koran bekas."
"Iya, sehabis itu Ibu sobek korannya jadi bungkus makanan dan dibawa kalau pagi pergi memulung."
Laila tersenyum mendengar penuturan Ibunya.
"Lalu Ayah akan mencari lagi dan Ibu menyobeknya lagi berkali-kali sampai Ayah sembunyikan di dapur dekat."
"Haha, iya, memang Ayahmu senang membaca, jadi apa saja dia baca."
"Oh, ya Laila tidurlah, nanti kamu ngantuk di tempat kerja, cepatlah jangan terlalu larut malam."
"Ini baru jam sembilan, sebentar lagi, 'kan baru ngopi nanti takut jadi mual."
"Ya, sudah, kalau begitu Ibu duluan saja, udah ngantuk nih."
"Ya, Bu."
*****
Keesokan paginya dia bangun dengan perasaan senang karena di bulan ramadhan ini dia mendapat pekerjaan.
Dia kemudian membangunkan adikknya Limo.
Ibunya terlihat duduk sambil menyetrika pakaiannya.
"Ibu enggak tidur lagi abis sahur?"
"Enggak, Ibu enggak bisa tidur, mungkin sebentar lagi. Hari ini agak lelah sih jadi enggak mencari botol bekas."
"Ya sudah, mendingan istirahat saja."
"Iya, paling nanti siang ke rumah Bu Seno mau beresin rumahnya, tadi abis subuh ke sini."
"Oh, ya sudah, tapi nanti Ibu tolak saja kalau lelah, ya."
"Ah, cuma sedikit kok, enggak apa-apa."
Laila menghela napas dan memegang lengan ibunya.
"Ibu berhenti saja jangan bantu lagi mereka, biar saja mereka membersihkan rumah mereka sendiri."
Ibu mengusap kepala Laila.
"Sudah sana mandi, Ibu lagi setrika baju nih."
Laila memonyongkan bibirnya dan beranjak ke luar.
"Laila bawa serta handukmu, ini jangan lupa!"
"Oh, iya lupa, hehe, makasih, Bu."
*****
Laila bersiap-siap berangkat kerja. Dia meninggalkan rumah pukul delapan lebih karena tidak ingin terlambat meski pun perjalanan ke kedai bisa ditempuh dalam lima belas menit.
Dia lebih memilih datang diawal ketimbang harus datang terlambat.
******
Kedai terlihat sepi dan pagar masih terkunci. Untung saja terdapat bangku kayu di depannya. Dia menunggu Ira yang dipercaya memegang kunci.
Tidak lama kemudian datang kedua temannya yang berboncengan.
"Aduh kok udah datang, pasti dari tadi ya?"
"Iya, saya takut terlambat, Mbak."
"Baiklah, kita masuk aja."
Ira membuka gerbang dan langsung menyimpan tasnya untuk segera menyapu lantai. Laila ikut membantu dengan mengelap meja.
"Laila kamu masih puasa?"
"Masih Mba."
"Oh, baiklah, kalau enggak puasa kamu bisa makan di dapur ada air minum juga kok, tapi paling mie instan dan sedikit sayuran."
"Iya, makasih Mba."
*****
Hari yang cerah dan udara tidak terlalu panas. Laila menghitung roti tawar yang belum dibakar. Terkadang ada saja yang membeli mentahannya untuk dibakar di rumah.
Roti Bu Joko memang terkenal enak itulah sebabnya banyak pelanggan yang meski masih pagi seringkali membeli untuk dibakar di rumah.
Laila yang pernah mencoba rotinya mengakui kalau memang lezat dan cukup terjangkau.
Bu Joko terlihat datang sambil membawa keresek besar.
"Assalamu'alaikum semua, ini tambahan jualan kita hari ini, masakan. Ini sengaja dibuat karena pesanan warga yang non muslim. Jadi jam dua belas nanti akan ada orang yang membeli makanan."
"Oh, jadi kita masak di sini, Bu?"
"Iya, Ira, jam sepuluh saja mulai menggorengnya, ini cuma lima puluh box kok, pesanannya."
Laila dan Ira segera menuju dapur untuk mempersiapka untuk menghangatkan pesanan nanti.
"Ini udah jam setengah sepuluh, tolong kamu keluarkan wadah besar untuk menampung ayam dan pisahkan tempat untuk sayurannya.
"Iya, aku akan mencuci wadah ini karena terlihat berdebu kayak jarang dipakai."
"Iya, memang, karena jarang ada pesanan masakan sih paling langsung ke rumah Ibu saja."
Mereka bertiga sibuk menata box untuk diisi makanan pesanan.
Bu Joko pamit pulang dan memberikan kertas berisi daftar makanan yang harus di susun di box tersebut.

Komentar Buku (24)

  • avatar
    MaulanaFiki

    bocil ml

    20/07

      0
  • avatar
    RamajbStok

    kawin dan buka LG g flex dan aku

    07/06

      0
  • avatar
    MaulanaRangga Lintan

    mantap

    31/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru