logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab. 10 Maafkan Bunda, Nak

Natasha terus berlari sambil menyesali rasa cintanya yang pernah tercurah hanya untuk lelaki brengsek itu. Natasha berlari, berlari dan terus berlari. Tanpa memperhatikan jalan sekitar yang sudah memasuki kawasan jalanan besar. Hingga beberapa menit kemudian terdengar suara klakson cukup dekat dan keras.
Tiiiiiinnnn…. Lalu disusul dengan sebuah teriakan.
"Aaaarrgg…."
Brak!!!! Mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan Natasha pun langsung menabrak pohon. Setelah menghindari Natasha yang tiba-tiba muncul di antara derasnya hujan. Melihat kejadian mengenaskan itu. Tanpa membuang waktu Natasha segera berlari mendekat.
Tok. Tok. Tok. Tok.
"Pak. Pak. Bapak. Bapak tidak apa-apa?!" tanya Natasha sambil terus mengetuk kaca jendela mobil itu yang masih tertutup rapat. Sesekali Natasha pun mengintip ke dalam mobil. Dan menangkap sosok lelaki setengah baya yang terlihat sedang menahan sakit.
Perlahan lelaki itu pun membuka pintu mobilnya yang baru saja menabrak pohon. Walau yang rusak hanya bagian kap depannya saja, tapi benturan keras tadi membuat kepala lelaki setengah baya itu mengeluarkan darah.
"Ayo, Pak keluar. Hati-hati," ujar Natasha sambil memapah lelaki itu untuk keluar dari mobil. Karena hujan turun semakin deras. Sehingga tidak semua orang tau kecelakaan itu. Jadi, hanya Natasha yang membantu lelaki itu keluar dari mobil. Tak berselang lama sebuah taxi berjalan mendekat. Dan tanpa pikir panjang Natasha segera melambaikan tangannya ke depan. Mobil taxi pun berhenti tepat di depan Natasha.
"Rumah Sakit Satria Medika, Pak," kata Natasha cepat. Setelah masuk ke dalam taxi itu.
"Baik, Mbak?" balas Pak sopir lalu kembali menjalankan mobil kesayangannya menuju tempat yang tadi disebutkan Natasha.
Lima menit pun berlalu. Sopir taxi pun menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk ruang IGD. Natasha segera turun sambil memapah tubuh lelaki itu dibantu oleh si sopir taxi.
"Jo…. Jo…. Jo….," gumam lelaki itu nyaris tak terdengar. Matanya pun terpejam erat seakan benturan di kepala lelaki itu terasa sangat sakit.
"Tahan ya, Pak. Sebentar lagi Bapak akan dirawat oleh Dokter," ucap Natasha menenangkan. "Sus. Sus. Tolong, Sus," tambahnya pada beberapa Suster yang berjaga di ruang IGD. Dengan sigap mereka pun membantu Natasha membaringkan lelaki itu ke atas Brankar dorong.
"Dia korban kecelakaan di Jalan Flamboyan, Sus. Tolong rawat dia dengan baik. Mungkin di dompet ada nomer keluarganya yang bisa dihubungi," kata Natasha pada salah satu Suster.
"Baik, Bu. Kami akan segera menghubungi kerabat dekat pasien," sahut Suster itu sebelum masuk ke dalam ruang IGD.
"Terima kasih, Sus," sahut Natasha yang tidak lagi didengar oleh Suster tadi.
"Bu, bagaimana dengan saya?" tanya si sopir taxi yang ternyata masih berdiri di belakang Natasha.
"Oh, iya. Saya hampir lupa," ujar Natasha sambil menepuk keningnya sendiri. Lalu ia pun mengeluarkan lembar terakhir pecahan lima puluh ribuan yang sebenarnya akan ia gunakan untuk membeli makan. "Ini, Pak. Terima kasih," ujar Natasha.
"Iya, Bu. Terima kasih," balas sopir taxi sambil menerima uang Natasha. Lalu ia pun berlalu begitu saja.
"Sama-sama," balas Natasha lirih. 'Yah, nggak bisa makan lagi hari ini,' batin Natasha nelangsa. 'Tapi enggak papa deh. Kasihan juga Pak Sopir itu kalau dia nggak dapat uang untuk keluarganya,' batin Natasha sambil memandangi sosok sopir taxi itu menjauh.
"Mbak Natasha," panggil seseorang yang langsung mengalihkan perhatian Natasha.
"Iya. Ada apa Sus?"
"Syukurlah saya bertemu dengan Mbak Natasha disini. Karen sudah sadar, Mbak. Dan dia memanggil-manggil nama, Mbak."
"Baik, Sus. Saya kesana sekarang," balas Natasha. Lalu ia pun segera pergi dari tempat itu.
Sedangkan di dalam ruangan. Lelaki yang ditolong Natasha pun sudah mulai sadar. Ia pun mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Sambil memegangi keningnya yang terasa sakit.
"Saya dimana?" tanya lelaki itu lemah.
"Syukurlah Bapak sudah sadar. Bapak sekarang berada di rumah sakit Satria Medika, Pak. Bapak baru saja mengalami kecelakaan. Untung saja ada seorang wanita yang membawa Bapak kesini. Kalau tidak, Bapak pasti semakin banyak kehilangan darah," ucap seorang Suster panjang lebar.
"Lalu dimana wanita itu sekarang, Sus?" Belum sempat sang perawat itu menjawab pertanyaan pasiennya seseorang menerobos masuk ke dalam kamar itu.
"Papa," teriak histeris seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik dengan dandanannya yang elegan. Wanita itu pun segera berlari mendekat. Sedang sang lelaki tadi malah membuang muka. "Pa. Kenapa bisa begini sih, Pa?" tanya si wanita tadi dengan mata yang berkaca-kaca.
"Karena Bapak sudah ada yang menunggu. Saya permisi dulu," sela Suster yang sejak tadi berdiri di samping tempat tidur pasien itu.
"Iya, Sus. Terima kasih," balas kedua orang itu bersamaan.
"Sama-sama." Suster pun membalas sambil berlalu dari ruangan itu.
"Pa. Jawab pertanyaanku, Pa? Kenapa Papa bisa sampai kecelakaan seperti ini?"
"Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Seharusnya kamu tanya pada dirimu sendiri?" balas lelaki yang dipanggil Pa itu dengan ketus. Wanita itu pun menghembuskan nafas beratnya.
"Pa? Sumpah Pa? Aku tidak tahu apa-apa kalau Jo kabur dari rumah."
"Kenapa kamu sampai tidak tau. Bukankah, kamu yang selalu berada di rumah?"
"Iya, benar. Benar sekali aku hanya tinggal di rumah seharian. Tapi, aku kan tidak selalu mengikuti kemana Jo pergi, Pa? Dia itu sudah besar. Kadang jarang pulang. Aku pun sering menegurnya, tapi kalau dianya saja malah membentak aku. Aku bisa apa?" kata wanita itu sambil membuang wajahnya ke sisi yang lain. "Hiks. Hiks. Aku. Tuh sebenarnya bingung sama kamu dan anakmu. Semua saja yang aku lakukan serba salah. Aku di rumah seharian. Kamu nyalahin aku. Aku punya bisnis sama teman-teman arisan. Kamu pikir aku membuang-buang uang. Hiks. Entahlah. Entah apa yang bisa bikin kamu dan anakmu bahagia. Padahal, aku sudah berkorban banyak untuk kalian. Hiks. Hiks." Wanita itu pun mengelap matanya yang sebenarnya kering.
Sementara lelaki yang masih berbaring di atas tempat tidur itu pun mengulurkan tangannya untuk meraih tangan sang istri.
"Yola," panggil lelaki itu lirih. Wanita itu pun langsung menoleh dengan tampang sedihnya. "Maafkan aku ya. Aku sudah emosi nggak jelas sama kamu. Padahal, kamu sudah sangat baik sama aku dan Jo," tambah lelaki itu dengan sungguh-sungguh. Yola pun terdiam. Hingga beberapa menit kemudian senyum mengembang di bibirnya.
"Iya, Pa. Aku tau kamu juga tidak bermaksud seperti itu padaku," sahut Yola sambil membalas genggaman tangan suaminya.
"Makasih ya, Yo. Kamu udah jadi ibu dan istri yang baik untuk aku dan Jo selama ini." Cup! Lelaki itu pun mengecup punggung tangan Yola.
"Sama-sama, Pa. Aku pun bahagia bisa jadi bagian dari keluarga kalian."
***************
"Katup di bilik kanan jantung Karen kembali tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi, darah kotor yang seharusnya masuk ke dalam paru-paru terhambat. Makanya dadanya terlihat menghitam dan seperti bekas pukulan. Itu disebabkan karena darah kotor yang penuh akan karbon dioksida bercampur dengan darah bersih yang kaya oksigen," jelas Dokter Firman beberapa hari yang lalu.
"Padahal, waktu dia masih bayi. Dia sudah melakukan operasi. Saya kira penyakit Karen itu sudah sembuh total," balas Natasha sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Setitik air bening pun kembali terkumpul di pelupuk matanya yang sudah sembab.
"Ya. Kadang kasus ini memang kadang terjadi. Walau sebenarnya presentasinya sangat kecil sekali."
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanya Natasha cepat. Sungguh, ia sangat sedih melihat Karen tersiksa seperti ini.
"Saya sarankan kamu bawa Karen pindah ke Rumah Sakit Jantung Kita. Disana Karen akan ditangani oleh Dokter spesialis jantung yang lebih kompeten daripada saya. Sehingga, penanganan Karen pun akan lebih maksimal." Natasha pun terdiam. Otaknya berpikir keras. Hingga akhirnya sebuah pertanyaan yang cukup membelenggu otaknya keluar juga.
"Apa biaya disana lebih mahal, Dok?" tanya Natasha pelan tapi pasti. Dokter Firman pun tersenyum sekilas.
"Insya Allah jika Mbak Natasha serius. Pasti akan dimudahkan jalannya," balas Dokter Firman. Natasha pun menghempaskan badannya ke sandaran kursi di belakangnya. Walau tidak menjawab pertanyaan Natasha dengan jelas. Namun, Natasha cukup tau apa maksud Dokter Firman barusan.
.
"Bunda," panggil Karen yang langsung membuyarkan lamunan Natasha. Dengan sigap ia pun mendekati anak semata wayangnya itu.
"Iya, Nak. Bunda disini," balas Natasha. Sambil menggenggam tangan Karen yang terasa dingin. Anak yang belum masuk dunia sekolah itu pun tersenyum manis.
"Karen pengen minum, Bunda," pintanya lemah.
"Oh, minum ya. Bentar Bunda ambilin," balas Natasha sambil berjalan ke arah lemari kecil di samping tempat tidur yang merawat Karen. Natasha pun menemukan satu botol air mineral, tapi isinya sudah tidak ada lagi. "Bentar ya, Nak. Sepertinya di dalam lemari ada," ucap Natasha sambil tersenyum ke arah anak kesayangannya itu. Karen pun hanya mengangguk senang. Saat sang Bunda sedang mengobrak-abrik isi lemari yang dipenuhi baju ganti untuknya dan untuk Karen. Nihil. Memang tidak ada lagi air mineral yang tersisa. Botol bekas di atas pun sisa minum Pak Haji Boim yang semalam menunggui Karen. 'Gimana ini? Aku saja nggak punya uang untuk beli minuman. Ya, Allah. Sungguh, kasihan sekali anakku itu,' batin Natasha dengan air mata yang kembali menggenang di kedua pasang kelopaknya.
"Gimana, Bun? Tidak ada ya?" tanya Karen yang benar-benar menyayat hati.
Natasha pun segera menyeka kedua air matanya. Kemudian ia segera bangkit.
"Iya, ternyata udah habis. Bentar ya Bunda beli di luar sebentar," pamit Natasha. Sambil meraih botol bekas air mineral tadi.
"Iya, Bunda. Jangan lama-lama ya," pinta Karen dengan nada manja.
"Iya," balas Natasha sambil berjalan mundur. Sampai di dekat pintu ia pun membuka pintu itu lalu berlalu secepat kilat.
Tak sampai lima menit kemudian Natasha pun sudah kembali dengan membawa sebotol air putih di tangannya.
"Karen Bunda sudah kembali," ujar Natasha sambil membuka pintu.
"Yeee…. Mana, Bun airnya. Aku udah haus banget nih," balas Karen setengah merengek. Natasha pun tetap berusaha tersenyum. Lalu dengan berat hati ia memberikan botol air mineral yang ada di tangannya.
Gluk! Gluk! Gluk! Karen pun meneguk air itu dengan penuh semangat. Sampai-sampai air itu hanya tersisa setengah.
"Ini, Bun botolnya." Karen menyerahkan botol itu kembali pada Natasha.
"Iya, sayang. Ya, udah. Kamu tidur dulu ya. Bunda mau keluar sebentar. Ada tamu di luar," ucap Natasha pelan. Karen pun hanya mengangguk lalu ia memalingkan wajahnya untuk kembali terlelap. Setelah melihat Karen tertidur Natasha beranjak dari duduknya. Lalu ia pun keluar dari ruangan itu.
Natasha menutup pintu kamar tadi lalu ia tempelkan punggungnya ke pintu kaca itu. Hiks. Hiks. Hiks. Tangisnya pun pecah seketika mengingat apa yang baru saja dilakukannya.
Flashback.
Natasha keluar dari ruang yang merawat Karen lalu ia masuk ke dalam kamar mandi. Sampai di sana, Natasha pun segera membuka kran lalu menutupnya dengan botol air mineral tadi. Hingga botol penuh. Kembali Natasha menutup botol itu dengan rapat.
'Maafkan Bunda, Nak. Maafkan Bunda,' batin Natasha sambil menangis tersedu-sedu.
Flashback end.
.
Natasha pun menurunkan badannya yang masih menempel di pintu kaca. Lalu perlahan ia pun memeluk kedua lututnya pelan. Hiks
Hiks. Hiks.
"Maafkan, Bunda. Nak. Maafkan Bunda. Hiks. Hiks. Hiks."

Komentar Buku (119)

  • avatar
    NasirAiryl

    nice

    20d

      0
  • avatar
    Intan Balqis

    amazing

    12/08

      0
  • avatar
    YaniIndri

    film bagus

    30/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru