logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Perkara Makan Siang

Bagaimana rasanya dihubungi masa lalu? Di sapa masa lalu? Sebagian orang mungkin berkata, “Hal itu biasa-biasa saja.”
Tetapi, tidak untuk Qila. Dia sudah mulai bahagia dengan hidupnya sekarang, lalu untuk apa masa lalunya datang lagi? Dia sudah tidak butuh itu. Apalagi, perpisahan mereka bukan perpisahan yang biasa-biasa saja.
Perpisahan yang terpaksa lebih cocok untuk menggambarkan hubungan mereka. Jika salah satu dari kalian menyerah dan satunya berjuang, apa akan menjadi sebuah hubungan? Tidak! Itu tidak mungkin!
Jika rumah sudah kehilangan satu penyangga, akankah bisa berdiri kokoh dan baik-baik saja?
***
Qila bangun pagi seperti biasa, dia siap-siap untuk pergi ke kantor. Banyak yang harus dia lakukan hari ini. Qila berangkat menggunakan transportasi umum.
Biasanya Erzan datang dan menjemput Qila, tetapi Qila melarangnya. Rumah mereka dari arah yang berlawanan belum lagi apa kata karyawan lain. Hubungan Erzan dan Qila di kantor seharusnya hanya professional kerja saja tanpa ada hal pribadi di dalamnya.
Tetapi, apa yang terjadi hari ini? Saat Qila baru saja masuk di perusahaan dia sudah melihat Pandu sedang menunggu lift. Dia mengenakan setelan yang begitu rapi. Qila enggan melangkah maju, dia hendak menunggu Pandu memasuki lift dan menghilang dari pandangannya.
“Selamat pagi, Sekretaris Qila,” sapa karyawan lain.
“Pagi,” balas Qila sembari tersenyum ramah.
“Tidak naik, Bu?” tanya karyawan.
“Oh iya…” Qila melihat ke depan dan sudah tidak menemukan Pandu di sana.
“Yuk sama-sama!” ajak Qila. Beberapa karyawan tersenyum malu saat mendengar ajakan dari Qila. Di samping hubungannya dengan Erzan yang memang sudah menjadi rahasia umum di sana, Qila memang cukup disegani karena sikapnya yang cukup tegas ketika bekerja.
“Kenapa kalian di belakang?” tanya Qila. Saat di dalam lift karyawan segan untuk berdiri sejajar dengan Qila.
Qila mengisyaratkan untuk mereka mendekat. “Tidak apa-apa, saya tidak makan orang kok,” ucapnya bercanda.
Qila bekerja di lantai paling atas di gedung tersebut. Ruangan khusus untuk CEO yang sudah seperti rumah. Sedangkan karyawan yang lain bekerja di lantai bawah.
Hal ini memang sudah seperti itu sejak lama, Erzan terkesan galak dan tidak kenal ampun. Dia juga penyendiri bisa dilihat dari perintahnya untuk menggunakan ruang kerja yang terpisah dari karyawan lain.
“Kami permisi dulu, Bu.” Karyawan tadi sudah sampai di lantai tempat mereka bekerja.
“Ya, semangat!” ucap Qila, tidak lupa dengan senyumannya.
Lagi dan lagi karyawan yang lain malu-malu padahal mereka karyawan wanita. Sejak awal, banyak karyawan yang mengidolakan Qila karena hanya Qila satu-satunya sekretaris yang mampu bertahan menghadapi sikap dan prilaku Erzan.
Banyak rumor yang beredar bahwa sebenarnya Qila adalah orang yang lebih kejam dibanding Erzan. Sebab itulah, Erzan takluk kepada Qila. Dari rumor itu juga banyak yang takut dan segan kepada Qila.
“Spekulasi yang aneh,” ucap Qila lirih setelah mengingat rumor yang tidak masuk akal itu. Qila juga sudah berusaha memperbaiki imagenya dengan berinteraksi dengan karyawan lain seperti tadi.
Setelah sampai, Qila meletakkan tasnya. Dia melihat ruangan Erzan tidak tertutup, padahal biasanya Erzan selalu menutup pintu. Qila berinisiatif untuk menutupnya lalu duduk kembali di tempatnya. Ruang kerja Qila berhadapan dengan ruang kerja Erzan. Jika pintu tidak tertutup mereka bisa saling pandang.
“Qila.” Sebuah suara asing memanggil Qila dari arah ruangan Erzan.
Qila melihat, dia kaget karena bukannya Erzan, malah Pandu yang keluar dari ruangan itu.
“Sedang apa dia di sini?” batin Laila.
“Kamu tidak memakai kalung liontin itu?” tanya Pandu.

“Saya sudah punya kalung lain,” jawab Qila. Dia tidak melihat Pandu dengan benar.
“Kenapa? Kalung itu tidak cocok untuk kamu. Aku tahu persis kamu tidak mungkin menyukai kalung seperti itu,” ucap Pandu, dia mulai mendekat langkah demi langkah.
“Stop!” bentak Qila. Qila menatap Pandu dengan tatapan tidak suka.
Pandu tersentak, Qila tidak pernah seperti ini.
“Qila…”
“Biarkan saya bicara terlebih dahulu, Pak. Saya mohon dengan segala hormat Bapak tidak membahas apapun selain pekerjaan di sini. Jika Bapak ingin berbicara mengenai pekerjaan akan saya jawab, tetapi jika tidak silakan lanjutkan kepentingan Bapak di sini,” ucap Qila formal. Dia memotong perkataan Pandu.
“Bapak menunggu Pak Erzan, bukan? Dia akan tiba sebentar lagi, jadi silakan tunggu di ruangannya atau di lobby,” timpal Qila.
Qila duduk dan melanjutkan pekerjaannya.
“Qila, kita perlu bicara,” ucap Pandu.
“Pak, saya sedang bekerja di sini. Saya harap Bapak tidak mengganggu saya,” ucap Qila menegaskan.
“Oke, tapi paling tidak tolong balas pesan dan angkat telepon ku. Ada yang harus kita bicarakan.”
“Apa yang harus dibicarakan?” tanya seseorang.
Qila menoleh, Erzan sudah berdiri dengan gagah di sana memperhatikan mereka berdua.
“Selamat pagi, Pak. Pak Pandu sudah datang untuk membicarakan terkait dengan kerja sama,” jelas Qila.
“Pagi, Pak Pandu.”
“Pagi.”
Mereka berjabat tangan.
“Kenapa tidak menunggu di ruangan saya saja?” tanya Erzan.
Pandu melirik Qila yang sudah tidak perduli dan lanjut dengan pekerjaannya. Erzan memblokir pandangan Pandu dengan beralih ke depan Qila.
“Maaf, tadi saya menanyakan keberadaan Bapak,” jawab Pandu.
“Kalau begitu mari ke ruangan saya.”
Erzan dan Pandu berlalu pergi. Qila termenung sebenarnya dia tidak melakukan apa-apa sejak tadi. Dia hanya sembarangan mengetik apapun yang terlintas di pikirannya.
Waktu berlalu, Pandu dan Erzan masih berada di dalam ruangan.
“Apa Erzan tadi mendengar pembicaraan kami? Sejauh mana dia tahu,” batin Qila.
Qila merasa cemas, dia tidak ingin Erzan salah paham.
Waktu makan siang tiba, Erzan dan Pandu baru saja keluar dari ruangan dan Qila langsung berdiri waspada. Tidak terlihat ada perubahan besar dari wajah Erzan, mungkin saja tidak ada apa-apa yang terjadi.
“Qila.”
“Ya.”
“Hari ini kita makan siang di kantin perusahaan karena Pak Pandu ingin lebih mengenal perusahaan kita sebelum benar-benar menggantikan Pak Wijarsono. Kantin kita terkenal dengan makanan yang enak."
“Kalau ditolak apa Erzan akan curiga,” pikir Qila.
Qila hanya bisa mengiyakan, takut Erzan nantinya curiga.
Qila duduk di samping Erzan dan Pandu duduk berhadapan dengan Erzan. Mereka mulai makan dengan tenang.
“Bagaimana, Pak?” tanya Erzan.
“Lumayan. Saya jadi tahu alasan banyak karyawan potensial yang loyal di sini,” jawab Pandu.

“Ha ha ha ha.”
Qila hanya diam dan makan. Memang makanan di kantin perusahaan sangat enak dan beraneka ragam pilihannya. Pandu diam-diam memperhatikan Qila.
“Loh, bukannya kamu gak suka bawang?” tanya Pandu saat melihat Qila memakan bawang bombay yang ada di sayur.
Erzan bingung. “Loh, ini ada apa?” tanyanya.
“Tidak semua wanita yang tidak menyukai bawang, Pak. Saya juga dulu berada di bagian tidak menyukai bawang, tetapi semenjak bos saya memperhatikan kesehatan karyawannya saya jadi teredukasi dan saya sekarang juga makan sayur-mayur,” jelas Qila sopan. Dia tersenyum saat Erzan masih melihat mereka tetapi saat Erzan mengalihkan pandangannya tatapan Qila berubah datar ke Pandu.
“Sepertinya ada yang aku lewatkan,” batin Erzan.
Bersambung...

Komentar Buku (163)

  • avatar
    AriantiNi Kadek ica

    bagus

    8d

      0
  • avatar
    YuliandaFitra

    crtnya bgus

    14d

      0
  • avatar
    DestriantoRegi

    👍😎bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru