logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Telepon Dari Siapa

“Senang bertemu dengan anda hari ini.” Erzan dan Pandu berjabat tangan.
“Setelah ini kalian mau ke mana?” tanya Pandu.
“Kami punya rencana kencan setelah ini,” jawab Erzan. Tangannya menggenggam tangan Qila.
“Boleh saya ikut?” tanya Pandu.
Mereka semua terkejut, itu bukan hal wajar untuk dikatakan oleh orang yang baru saling mengenal. Apalagi Erzan dan Qila akan pergi berkencan.
“Apa maksud kamu, Pandu? Mereka bisa salah paham,” tanya Pak Wijarsono.
“Ahh, saya tidak ingin mengganggu kencan kalian. Saya baru pulang dari luar negeri dan belum mengenal banyak orang di sini. Banyak yang sudah berubah di sini. Jadi, saya mau sekalian ikut jalan-jalan,” jelas Pandu. Papa dan Mamanya menatap tajam ke Pandu.
“Mungkin next time saya akan mengajak anda keliling kota. Tetapi, hari ini kami ingin berdua terlebih dahulu. Saya akan menghubungi anda lagi,” ucap Erzan.
Mereka pamit pergi terlebih dahulu, Qila terlihat murung. Bagaimana tidak kekasih yang meninggalkannya pergi di hari bahagia mereka datang kembali setelah bertahun lamanya. Dia datang membawa luka dan kenangan.
“Apa dia sedang PMS?” batin Erzan saat melihat Qila hanya terdiam. Tidak seperti biasanya dia ceria.

“Qila, mau beli ice cream kesukaan kamu dulu?” tanya Erzan menawarkan.
“Hem, gak. Aku mau ke rumah kamu aja,” jawab Qila tidak semangat.
“Ke rumah? Tapi, di rumah gak ada siapa-siapa.”
“Kamu mikirin apa sih? Kan kamu janji mau nonton sama aku.”
“Aku juga gak mikir yang macam-macam, kok.”
Erzan cukup bingung dengan perubahan sikap Qila setelah bertemu dengan Pak Wijarsono. Dia bahkan tidak ingin nge-date di luar dan memilih di rumah Erzan.
Setelah itu, Qila terus diam. Dia hanya menjawab apa yang ditanyakan oleh Erzan. Erzan menyadari ada yang tidak beres dengan Qila. Sejak pertemuan dengan Pak Wijarsono, dia terlihat tidak bersemangat.
“Tidak biasanya Qila seperti ini,” batin Erzan.
Erzan tahu betul walaupun baru satu tahun menjalani hubungan dengan Qila. Meskipun mereka sedang bertengkar, Qila tidak mungkin mengabaikannya seperti ini. Dia seperti berada di dimensi lain meskipun sedang duduk di samping Erzan. Pikirannya sedang tidak bersama Erzan.
Menit demi menit berlalu hingga mereka tiba di rumah kediaman Erzan. Erzan memperhatikan Qila yang terus melihat ke arah luar jendela sambil menggigit kuku jarinya.
“Kenapa dia gelisah?” batin Erzan. Dia terus bertanya tetapi tidak berani untuk mengungkapkan apa yang sedang dia pikirkan.
“Qila, kita sudah sampai.”
Qila diam saja tanpa menanggapi perkataan Erzan.
“Qila.” Erzan meletakkan tangannya ke bahu Qila.
Qila terkejut. “Kenapa?”
“Kita sudah sampai.”
Qila melihat ke luar, dia tidak menyadari bahwa mereka sudah tiba di rumah Erzan. Sepanjang jalan dia terus gelisah, haruskah memberi tahu Erzan terkait masa lalunya? Tetapi, jika dia melakukan itu artinya dia harus siap membuka luka lama yang begitu menyakitkan hingga rasanya ingin ia lupakan. Bertemu saja rasanya begitu menyakitkan seperti luka lama yang masih membekas itu tersiram cuka. Namun, bagaimana jadinya jika Erzan tahu dari orang lain? Qila tidak ingin Erzan membencinya atau bahkan meninggalkan dirinya seperti yang dilakukan Pandu dulu.
“Ayo, masuk!” Erzan tiba-tiba sudah membukakan pintu mobil untuk Qila. Qila lagi-lagi melamun dan tidak menyadari itu.
Ibarat bangkai, masa lalu Qila juga pasti akan tercium juga. Erzan perlahan akan mulai curiga, apalagi terkait sikap Qila yang berubah drastis setelah bertemu dengan Pandu tadi. Mereka akan lebih sering bertemu dan sikap Qila akan lebih kentara.
“Qila, kamu mau minum apa?” tanya Erzan. Dia membuka kulkas dan melihat-lihat apa yang ada di sana.
“Apa aja,” jawab Qila seraya duduk di sofa.
Erzan datang dengan tangan yang penuh. Dia membawa cemilan kesukaan Qila. Qila membantu Erzan yang terlihat sangat kerepotan.
“Maaf ya rumahku berantakan.” Qila tersenyum meresponnya.
Untuk orang sibuk seperti Erzan, tidak mungkin rumahnya terlihat berantakan. Dia tidak akan punya waktu untuk melakukan itu. Apalagi dia punya asisten rumah tangga yang setiap pagi datang membereskan rumah.
“Erzan,” ucap Qila.
“Ya,” jawab Erzan.
“Makanan favorit kamu apa?” tanya Qila.
Erzan hampir menjatuhkan cemilan yang akan dimasukkannya ke dalam mulut. Mulutnya masih menganga. Segera dia membersihkan tangan dan menatap Qila.
“Kamu kenapa?” tanya Qila.
“Aku seneng banget! Ini pertama kalinya kamu nanya kesukaan aku,” jawab Erzan.
“Maaf, seharusnya aku lebih merhatiin kamu.” Qila melingkarkan lengannya di tangan Erzan.
“Bukan salah kamu. Kan kamu kerja bantuin aku di kantor.” Erzan mengelus pipi Qila.
“Kamu juga kerja, lebih sibuk daripada aku. Tapi, kamu tahu semua yang aku suka bahkan di rumah kamu juga yang ada semua cemilan kesukaan aku, warna favorit aku, film yang aku suka, dan desain rumah ini juga pilihan aku,” jelas Qila. Dia merasa sedih dan bersalah karena tidak membuka sepenuh hatinya untuk Erzan.
“Ya sudah, mulai sekarang aku akan cerita apa saja yang aku suka tapi pelan-pelan, ya. Kita nikmati dulu aja setiap moment nya. Dan…” Erzan berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. Qila yang sedari tadi bersandar di bahu Erzan menoleh karena Erzan tiba-tiba berhenti.
Erzan mendekatkan dirinya dan berbisik tepat di telinga Qila, “Lagian rumah ini juga nantinya akan jadi rumah kamu. Aku pengen buat kamu senyaman mungkin di sini.”
Qila tersenyum, dia lalu berbaring di paha Erzan sambil menonton film favoritnya yang sudah mereka tonton sebanyak 3 kali. Erzan sambil mengelus rambut Qila. Hanya butuh beberapa menit hingga Qila tertidur.
“Rasanya damai melihat Qila tidur nyenyak seperti ini. Baru kali ini juga dia berinisiatif untuk bertanya, dia juga tidak pernah semanja ini,” batin Erzan.
“Qila, meskipun aku tidak tahu apa yang terjadi ke kamu hari ini. Kamu harus percaya bahwa aku sangat mencintai kamu, aku tidak perduli kamu membalas cintaku atau tidak. Yang aku tahu, sekarang aku berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kamu. Maaf, ya kalau aku terlalu banyak memberikan kamu pekerjaan. Itu karena aku tidak ingin kamu punya waktu untuk pacaran dulu dengan orang lain," ucap Erzan. Dia terlalu malu untuk mengatakannya di saat Qila masih sadar.
Derr, derr.
Erzan merasakan ada getaran, dia segera mencarinya takut jika Qila bangun karena itu. Dia melirik ponselnya dan tidak ada notifikasi apapun yang artinya ponsel Qila yang bergetar. Erzan menarik tali tas Qila, dia merogoh isinya untuk mencari ponsel. Ternyata, memang ponsel Qila yang bergetar.
“Telepon? Dari siapa? Tidak ada namanya.” Padahal Erzan sudah melarang dan memberitahu rekan bisnisnya bahwa tidak ada jam kerja untuk sekretarisnya saat weekend dan semua urusan yang belum selesai harus melewati Erzan. Lalu, siapa yang berani menghubungi Qila?
Erzan menarik ingatannya di masa lalu, dia tiba-tiba teringat setahun lalu dengan nomor yang sama pernah mengirim pesan untuk Qila. Erzan mengangkat telepon itu.
“Halo.” Suara seorang lelaki yang tidak dikenal oleh Erzan tetapi pernah ia dengar di suatu tempat.
“Qila, tolong jangan tutup dulu. Aku mohon, aku akan menjelaskan semuanya. Ayo, kita bertemu dulu. Aku mohon, Qila, aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku yakin kamu masih mencintai aku, iya kan? Tolong katakan bahwa kamu masih mencintai aku,” timpalnya
Erzan mengepalkan tangan, urat-urat tangannya seakan mau keluar. Hatinya juga teramat sakit saat mendengar lelaki tadi mengatakan cinta ke Qila yang saat ini berstatus sebagai kekasihnya.
Bersambung...

Komentar Buku (163)

  • avatar
    AriantiNi Kadek ica

    bagus

    8d

      0
  • avatar
    YuliandaFitra

    crtnya bgus

    14d

      0
  • avatar
    DestriantoRegi

    👍😎bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru