logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Menutupi Rumor Bos

Syaqila, kerab di panggil dengan nama Qila. Umurnya 25 tahun, dia seorang sekretaris dari CEO Perusahaan dagang ternama di kota ini. Bukan sesuatu yang mudah bagi Qila untuk menjadi seorang sekretaris di usia yang terbilang cukup muda, terlebih saat itu dia baru saja lulus kuliah di tingkat Strata-1.
Tidak tahu nasibnya sedang mujur atau apa. Saat Qila putus asa dan melamar pekerjaan untuk menjadi seorang sekretaris seorang CEO yang perfeksionis, dia diterima. Banyak yang bilang dia diterima karena ada orang dalam yang membantu dirinya.
“Gak punya pengalaman, mana masih bocah. Mending juga gue yang udah S2, pengalaman kerja juga udah bertahun-tahun, dan gue lebih tahu tentang perusahaan ini daripada dia.”
“Ya, paling kekuatan ‘orang dalam’ atau pun dia jadi simpenan bos. Jelas dia punya sponsor, kalau gak mana mungkin dia bisa dapat pekerjaan itu dengan pendidikannya.”
Perkataan seperti ini sering sekali Qila dengar di awal-awal dia bekerja bahkan karyawan lain membicarakan itu di depan Qila. Kejam, memang tapi inilah dunia kerja. Kalau tidak bisa bertahan maka tamatlah sudah. Meskipun begitu Qila tidak perduli, di dalam hidupnya ada yang lebih menyakitkan dari ini.
“Kamu itu bisa kerja gak sih? Yang begini aja gak bisa, nyusun laporan gak bisa!” bentak Erzan yang saat itu adalah CEO, dia membuang laporan itu ke lantai. Laporan yang sudah susah payah Qila kerjakan hingga mengorbankan jam tidurnya.
“Lalu, apa yang kamu bisa, apa hanya ini yang kamu pelajari saat kuliah? Oh, lupa kamu kan hanya lulusan S1. Wajar kalau kemampuan kamu tidak bisa saya bayangkan,” timpalnya lagi yang kini merendahkan Qila.
“Gak tahu apa saya tidur cuma 2 jam selama beberapa hari cuma buat ngerjain laporan yang anda suruh. Saya capek, saya dihina sana-sini hanya karena saya lulusan S1, tidak seperti yang lain. Saya juga tidak punya pengalaman kerja. Anda tahu itu, tetapi kenapa anda menerima saya di perusahaan ini. Kalau begitu pecat saja saya!” Ingin rasanya Qila meneriakkan itu di hadapan Bosnya.
Semuanya tertahan karena Qila sadar dia masih punya banyak keperluan dan tanggungan. Mengingat wajah keluarganya di kampung halaman, membuat Qila menerima hinaan itu seperti tidak ada apa-apanya.
Qila harus membayar biaya sewa apartemen studionya belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Qila harus menelan pahitnya dihina dan direndahkan. Amarah dari CEOnya adalah makanan sehari-hari untuk Qila.

Hari demi hari Qila jalani, dia belajar sedikit demi sedikit. Tidak hanya belajar untuk memperbaiki kesalahan, Qila juga diminta belajar beberapa bahasa asing lagi oleh Bosnya.
Erzan Dinata Kusuma, putra tunggal dari pasangan kaya raya. Badannya gagah, tegap, hidung mancung, dan dadanya bidang. Benar-benar sempurna jika dipandang mata. Banyak Wanita dari kalangan artis, selebgram, model, bahkan karyawan dan rekan bisnisnya yang coba mendekati Erzan. Tentu saja tidak ada yang berhasil, Erzan adalah manusia dingin yang menolak semua wanita bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa dia adalah gay.
“Qila, saya punya pekerjaan yang pas untuk kamu,” ucap Erzan setelah menatap Qila lama.
“Apa, Pak?” tanya Qila yang merasa tidak nyaman karena dipandangi dari tadi.
Erzan berjalan mendekat ke meja Qila, dia duduk dengan nyaman di atas meja. Qila menggeser kursinya perlahan, namun dengan cepat Erzan menahannya.
Qila tersentak, sesaat wajah mereka sangat dekat.
“Jadi pacar saya, Qila,” ucap Erzan dengan santai.
“Pa-pacar? Bapak sudah gila, ya?” tanya Qila, dia menghentakkan kedua tangan Erzan yang memegang kursinya. Qila langsung berdiri dan menjauh.
“Gila? Kamu sekarang sadar sedang bicara sama siapa?” tanya Erzan, alisnya bertautan.
“Saya bicara dengan anda, Bapak Erzan Dinata.”
“Sudah berani ya kamu!” sudut bibir kanan Erzan naik.
“Ya, karena Bapak sudah melanggar kenyamanan dan privasi bekerja saya,” ucap Qila dengan kedua tangan yang melipat di dada.
“Bukankah membuat Bos terlihat sempurna merupakan isi kontrak kerja kamu?” tanya Erzan, dia kembali duduk di meja dengan satu kakinya menyentuh lantai.
“Ya, dan saya sudah melakukan semuanya selama satu tahun bekerja. Bapak juga memuji kinerja saya yang semakin membaik,” jawab Qila tanpa mengurangi jarak diantara mereka.
“Saya yakin kamu tahu betul rumor apa yang beredar luaran sana,” ucap Erzan. Dia terlihat nyaman memainkan ponsel Qila.
“Rumor kalau Bapak itu…” Qila belum selesai dengan kalimatnya, Erzan bersuara.
“Ya, dan itu mengurangi citra saya di luar dan di dalam perusahaan. Saya tidak mau citra saya jelek. Kalau citra saya jelek berarti kamu gagal membuat saya terlihat sempurna. Kamu juga tahu jelas apa yang terjadi kalau kamu melanggar kontrak kita,” ancam Erzan.
Qila terlihat bingung.
“Kamu akan membayar uang pinalti sebesar 2 Miliar,” ungkap Erzan.
Qila gelagapan, “2 Miliar? Mau bayar pake apa? Tabunganku tidak sebanyak itu,” batin Qila.
“Saya yakin kamu tidak punya uang sebanyak itu, jalan satu-satunya ya kamu harus jadi pacar saya,” ucap Erzan, dia merasa senang dan puas.
“Boleh saya pikirkan dulu, Pak?” tanya Qila.
“Emmm, Gak,” jawab Erzan.
“Percuma nanya ke orang gak punya hati seperti dia, sok aja berpikir padahal ujung-ujungnya aku tetap gak punya pilihan,” batin Qila.
“Bagaimana kalau kita mulai mengganti nama panggilan terlebih dahulu. Sayang? Honey? Beb? Kamu mau yang mana?” tanya Erzan, dia terlihat bersemangat.
“Emm kayaknya itu terlalu...”
“Kamu aku aja,” ucap Erzan memutuskan.
Begitulah awal mula Erzan dan Qila memulai hubungan, memang bukan karena saling cinta. Entah sejak kapan hubungan mereka berubah menjadi lebih serius. Semua orang di kantor juga tahu meskipun mereka tidak pernah mengumumkannya. Ya, bisa di bilang itu sudah menjadi ‘rahasia umum’ di kantor. Perlahan, rumor itu menghilang dengan sendirinya.
Erzan terus meminta persetujuan Qila untuk mengumumkan hubungan mereka, tetapi Qila tetap tidak mau. Dengan dalih ingin mengenal lebih jauh terlebih dahulu, Qila selalu menolak ajakan Erzan untuk bertemu dengan kedua orang tua Erzan.
***
“Ini anak saya Pandu Wijarsono,” ucap Pak Wijarsono.
Pandu segera mengalihkan pandangannya dari Qila dan mulai menjabat tangan dengan Erzan. Dia dan Qila seperti orang yang baru pertama kali bertemu.
“Pandu.”
“Qila.”
Begitulah perkenalan mereka berdua yang sangat singkat. Meskipun Pandu sedikit enggan melepas jabatan tangan mereka tapi Qila langsung menarik tangannya.
“Aku ke toilet dulu,” bisik Qila kepada Erzan. Erzan mengangguk kemudian lanjut mengobrol dengan Pandu dan Pak Wijarsono.
Saat Qila tiba di toilet, nafasnya terengah-engah air matanya pun mulai jatuh. Segelintir bayangan tentang peristiwa dulu kembali terulang.
“Kenapa dia harus datang di saat yang seperti ini. Kenapa di harus muncul kembali di hadapanku,” batin Qila.
Tangannya mengepal karena marah tetapi hatinya seakan menangis. Dia tidak tahu rasa yang sekarang ada itu rindu atau benci.
Qila memperbaiki tampilannya, dia tidak mau terlihat buruk di hadapan Pandu. Saat sudah selesai, Qila pun keluar.
“Qila,” ucap seseorang dari arah sebaliknya kemudian dengan cepat memegangi pergelangan tangan Qila.
Qila berbalik dia memperhatikan siapa yang berbuat demikian, saat melihat orang itu, Qila menepis tangannya.
“Pandu, sedang apa dia di sini?. Bagaimana kalau ada yang melihat,” batin Qila.
“Saya rasa ini bukan toilet pria, ini toilet untuk wanita, Pak,” ucap Qila ketus.
“Qila,” kata pertama yang diucapkan Pandu, suaranya lirih terdengar.
Bersambung...

Komentar Buku (163)

  • avatar
    AriantiNi Kadek ica

    bagus

    8d

      0
  • avatar
    YuliandaFitra

    crtnya bgus

    14d

      0
  • avatar
    DestriantoRegi

    👍😎bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru