logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 PERIHAL OBAT

Fariz menyambut tetangganya tersebut dengan senyuman ramahnya, "Ada apa, Bu?" tanya Fariz.
"Bu Salamah sudah dibawa warga ke rumah sakit, tadi waktu beli sayur tiba-tiba dia pingsan. Saya di sini nungguin Nak Fariz biar sekalian bareng pergi ke sananya," ujarnya dengan raut panik.
Seketika luntur sudah senyuman lebar yang tadi terhias indah di wajah Fariz, kini malah berubah menjadi raut kecemasan. "Kenapa gak kabarin saya dari tadi, Bu? Rumah sakit mana?" Fariz bertanya seolah menodong tetangganya itu untuk segera menjawab pertanyaannya.
"Rumah sakit deket sini kok, Ibu nebeng sama Nak Fariz ya, biar nanti Ibu yang tunjukin arah jalannya," pintanya.
"Tenang dulu, Riz. Berdoa aja semoga Bunda lu baik-baik aja, gue yakin," ujar Reza menenangkan Fariz.
"Bismillah, gue mau langsung ke rumah sakit. Ayo, Bu, naik!" tutur Fariz yang langsung memasang kembali helmnya.
"Gue ikut! Santai aja bawa motornya, Riz. Jangan panik dulu," peringat Reza ketika melihat di kedua pelipis Fariz sudah mulai dibanjiri keringat.
Sesampainya di rumah sakit terlihat jelas di atas sebuah ranjang rumah sakit di salah satu ruangan rumah sakit terbaik di Jakarta, seorang wanita paruh baya tengah terbaring lemah bersama selang infus di tangannya.
Setelah menanyakan keadaan Bunda-nya kepada Sang Dokter, akhirnya Fariz mengetahui penyebab Bunda-nya sampai dirawat adalah karena kelelahan dan juga kurang cairan. "Maafin Fariz yang gak bisa jagain Bunda baik-baik," tutur Fariz sembari menciumi punggung tangan Bunda-nya.
"Gak apa, Nak. Kamu fokus aja sekolahnya," balasnya sembari mengusap rambut Fariz dengan sayang.
"Bu Salamah, Ibu baik-baik aja?" tanya Si tetangga yang prihatin akan kesehatan Bunda Fariz.
"Saya baik-baik aja, Buk. Itu tetangga-tetangga yang nganterin saya tadi lagi makan di kantin. Kalo Ibu belum makan siang, langsung aja ke sana," usul Bunda Fariz tersenyum ke arahnya.
"Duh, jadi ngerepotin, hehe. Saya ke sana dulu ya, Bu," cengirnya yang langsung melengos ke arah kantin rumah sakit.
"Bunda, ada yang sakit gak?" tanya Fariz.
"Gak ada, Sayanggg." Bunda Fariz mengusap rambut putra tunggalnya tersebut.
"Duh, kok jadi kangen Mama," batin Reza ketika menyaksikan keharuan di depan matanya. Jujur, selama bersahabat dengan Fariz … ini adalah kali pertama Reza bertemu langsung dengan Bunda Fariz.
"Ini temen kamu?" tanya Bunda Fariz ketika menolehi Reza.
"Iya, Tante. Aku Reza," Reza pun mencium punggung tangan Bunda Fariz dengan hormat.
"Ohhh, Reza … iya iya, Fariz sering cerita," ucap Bunda Fariz tersenyum ke arah Reza.
"Yang namanya Talia gak ke sini juga? Katanya kalian sahabatan bertiga? Bener?" tanya Bunda Fariz yang memang sudah sangat penasaran akan sosok Talia yang amat sering Fariz bicarakan ketika mereka tengah bersenda gurau di rumah.
"Talia … udah pulang duluan tadi, Tante," jawab Reza yang tak ingin Bunda Fariz mengetahui perihal pertengkaran antara Fariz dan Talia yang menurut Reza sangat sepele.
Mengobrol bersama Bunda Fariz bisa membuat Reza lupa waktu, sosok Bunda Fariz memang sangat menyenangkan. Reza merasa bersalah lantaran tidak menyempatkan diri membawakan buah tangan untuk membesuk Bunda Fariz. "Tante, ini udah jam 6 sore hehe. Reza mau pulang, nanti diomelin Mama kalo pulang kemaleman. Maaf ya, Tan … Reza gak sempet bawain apa-apa," tutur Reza sembari tersenyum tak enak hati.
"Enggak apa, kamu dateng dan ngobrol-ngobrol gini aja Tante udah seneng kok, lain kali ajak yang namanya Talia ke rumah ya, penasaran Tante nih," ucap Mama Reza tersenyum ramah.
"Iya, Tante, Inshaa Allah lain waktu Reza ajak Talia main ke rumah Tante deh, hehe. Dia mah asal ada sogokan pisangnya pasti gercep (gerak cepat)," cengir Reza.
"Wih enak tuh, bilangin Talia nanti kalo dia ke rumah Tante buatin pisang goreng banyak-banyak, hahaha," balasnya tertawa renyah.
"Siap, Tante. Kalau gitu Reza pamit dulu ya, Tan." Reza pun mencium punggung tangan Bunda Fariz sebelum pulang.
Keesokan harinya, di pagi hari Talia dikejutkan dengan meja makan yang biasanya hanya ada mesin pencetak roti otomatis dan tercepat yang mana mesin itu adalah hasil buatan Talia sendiri, tapi pagi ini meja makan rumahnya itu penuh dengan beragam masakan. "BIBIKKK!" pekik Talia memanggil pembantu rumahnya itu dengan suara yang sangat melengking agar dapat didengar olehnya.
"Iya, Non Lia?" secara tiba-tiba Bik Surti menongolkan kepalanya di balik pintu antara dapur dan ruang makan.
Talia pun segera menarik nafasnya, "KENAPA BANYAK BANGET MASAKNYA? EMANGNYA SIAPA YANG BAKAL MAKAN?" tanya Talia heran.
"Itu … bukan Bibik yang masak, Non. Nyonya yang masak, katanya dia mau sarapan bareng Non Lia, sebelum Nyonya berangkat tugas ke Singapura katanya," jawab Bik Surti.
"Mama? Tumben, biasanya juga kalo mau keluar kota atau luar negeri pun enggak ngabarin," Talia yang bingung pun hanya bisa menyunggingkan senyumnya sekilas.
"Hah? Non ngomong apa?" tanya Bik Surti yang merasa telinganya tidak dapat mendengar dengan jelas kata-kata yang barusan Talia ucapkan.
"Dahlahhh … ya Allah, Lia kamu harus sabar! Harus sabar, ini masih pagi," gumam Talia menyemangati dirinya sendiri untuk menghadapi seorang pembantu sejenis Bik Surti.
Benar saja, tak lama berselang Mama Talia turun dan mengajak semua penghuni rumah termasuk Bik Surti dan beberapa orang pembantu rumah lainnya untuk makan bersama. Selama sarapan bersama suasana tampak begitu hening dan hanya terdengar suara dentingan sendok.
"Jam 10 nanti Mama take off, ke Singapur," ujar Mama Talia seolah memberitahu Talia hanyalah sebuah formalitas.
"Oh, take care (hati-hati)," balas Talia seadanya, setelah itu suasana meja makan kembali hanya terdengar dentingan sendok bertemu piring.
"Ekhem, Lia … Mama mau ngomong hal penting sama kamu," ucap Mama Talia ditengah aktivitas menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.
Talia yang masih sibuk mengunyah gigitan demi gigitan ayam gorengnya pun kini merasa tidak nyaman, dia yakin hal penting yang Mamanya maksud pasti perihal kehendaknya yang harus Talia turuti, seketika nafsu makannya pun menghilang.
Ting…
Talia menjatuhkan sendok dan garpu yang tadi digunakannya ke piring. "Kalo Mama mau bahas soal kedokteran lagi … Mama pasti udah tahu jawabanku apa 'kan? Kurasa aku gak perlu lagi jawab atau pun dengerin pembahasan ini," Talia langsung beranjak pergi ke arah kamarnya.
"Talia! Dengerin Mama dulu! Jadi seorang profesor peneliti itu gak mudah, Lia! Papa-mu yang jenius aja gagalnya gak kehitung! Apa lagi kamu!" pekik Mama Talia saat Talia mulai menaiki satu persatu anak tangga ke arah kamarnya.
Saat itu juga Talia menghentikan langkahnya, lalu menatap Mamanya dengan ujung matanya, "Mama ngeremehin aku? Aku akan buktiin suatu hari nanti!" Talia langsung berlari ke arah kamar, lalu membanting pintu kamarnya cukup keras.
"Non! Ini sarapannya belom abis … Muba-" belum tuntas Bik Surti berujar, Mama Talia langsung ikut-ikutan menjatuhkan sendok dan garpunya ke piring yang belum habis makanannya, lalu beranjak dari duduknya.
"Duh … gak anak, gak Mamanya, sama aja," gumam Bik Surti sembari menggeleng pelan.
Tak lama berselang Talia turun menggunakan cardigan pink dengan baju kaos putih di dalamnya, lengkap bersama training hitam miliknya. "Non Lia mau kemana?" tanya Bik Surti.
"Ke rumah Reza, Bik." balas Talia seadanya.
"Kemah jurig?" gumam Bik Surti yang kebingungan sebab salah pendengaran.
Setibanya di rumah Reza, Talia langsung disambut hangat oleh Mama Reza. "Lia! Kebetulan kamu ke sini, masuk dong. Temenin Reza ya, soalnya Tante mau belanja bulanan," pinta Mama Reza.
"Ohhh, siap, Tante!" Talia pun langsung berlari kecil ke arah kamar Reza.
Kebetulan pintu kamar Reza tidak tertutup, Talia pun langsung ikut berhambur mengguling di atas kasur Reza saat dilihatnya Reza tengah berbaring tengkurap sembari menonton kumpulan-kumpulan video masa kecil mereka yang masih tersimpan di laptopnya. "Ejaaa! Yok nonton seri terbaru Spongebob! Udah lu simpen di flashdisk 'kan?" tanya Talia heboh.
"Oh udah dong! Ambilin flashdisk-nya di tas sekolah gue itu dong, Reza menunjuk ransel sekolahnya.
Saat Talia berniat mencari flashdisk di dalam tas Reza, tanpa sengaja tangannya malah menemukan sebuah benda yang membuatnya memelototkan mata. "Ja …," panggil Talia agar Reza menoleh ke arahnya dan melihat benda apa yang tengah digenggamnya.
"Hmmm?" Reza hanya berdeham tanpa menoleh ke arah Talia.
"Reza, tengok gue! Ini obat apa?!" nada bicara Talia mulai sedikit meninggi.
Reza pun langsung menoleh ke arah Talia, seketika matanya membola melihat Talia tengah menggenggam benda yang seharusnya wanita itu tidak ketahui.
"I-itu … obat anu, Lia-" seketika Reza tergugup.
"Ana-anu, ana-anu, jawab! Lu gak lagi menutupi sesuatu dari gue 'kan?" Talia semakin mendesak Reza untuk menjawab. Dia hanya khawatir jika obat tersebut adalah obat berat yang dikonsumsi Reza tanpa anjuran dari dokter.
"Nggak, Lia. I-itu obat punya Mama! G-gue beli di apotik, disuruh Mama," jawab Reza berbohong.
"Tante? Emangnya Mama lu sakit apa?" Talia mencoba mencari kandungan dan manfaat yang terdapat di obat tersebut, tapi dengan gerakan sigap Reza langsung merebut obat itu dari tangan Talia
"Kepo ih, mau gue taroh di kamar Mama dulu. Ntar gue lupa lagi," ujar Reza yang langsung berjalan cepat ke luar kamarnya menuju kamar Mama-nya.
Seharian mereka habiskan waktu dengan menonton film Spongebob, ya … kartun satu itu memang tidak pernah membuat Talia, Reza, dan juga Fariz bosan untuk kembali mengulang menontonnya. "Btw, kurang seru ya kalo gak ada Fariz," cetus Reza mencoba membuat Talia berpikiran terbuka perihal kesalahan yang sebenarnya tidak pernah Fariz lakukan.
"Jadi gue kurang seru?" Talia menatap Reza dengan tatapan sinisnya.
"Bukan gitu, Lia. Tapi kek ada yang kurang aja gituuu, biasanya kita bertiga … tapi beberapa hari ini kita kehilangan Dukun Santet. Kangen gue," ucap Reza yang berhasil membuat Talia terdiam sembari termenung.
"Lia! Eja! Turun duluuu! Makan siang dah jadi nih," tiba-tiba terdengar suara melengking milik Mama Reza yang membuat mereka seketika berebutan turun untuk mendapatkan kursi di samping Mama Reza. Mereka memang sudah teramat dekat, bahkan jika ada Fariz … Dia pun tidak akan sungkan untuk ikut berebut tempat.
Meja makan milik keluarga Reza memang sangatlah hangat, meja itu selalu menjanjikan kenyamanan, oleh sebab itu Talia dan Fariz ikut merasa nyaman dengan perlakuan Mama Reza yang memperlakukan mereka seolah anak kandungnya.
Selama makan siang, mereka pun mengobrol ringan. "Kalian punya masalah apa sama anak ganteng-ku?" tanya Mama Reza yang langsung membuat Talia berhenti mengunyah.
Anak ganteng-ku yang dimaksud oleh Mama Reza tentunya adalah Fariz. Ya … beberapa tahun mereka bersahabat, Fariz pun sudah teramat dekat dengan sosok Mama Reza yang penyayang.
"Lia tuh, Eja sih gak tahu apa-apa, Ma," balas Reza seolah menyudutkan Talia agar diberi wejangan oleh Mamanya.
Beberapa menit Talia bercerita tentang kesalahpahaman yang terjadi di antara dirinya dan juga Fariz, Mama Reza pun langsung memberi nasihat dan masukan untuk Talia. Setelah mendengarnya, Talia pun merasa pikirannya lebih terbuka lalu menyesali perilakunya yang cenderung kekanak-kanakan saat menyikapi permasalahannya dengan Fariz.
Setelah makan siang pun Talia membantu Mama Reza mencuci piring, "Tante … kalo boleh tahu, Tante sakit apa?" tanya Talia.
"Sakit?" Mama Reza pun mengernyitkan dahinya ketika mendengar pertanyaan dari Talia.
"Tadi Lia nemuin obat-obatan di tas-nya Reza, katanya itu obat buat Tante yang dia beli dari apotik," ungkap Talia kembali fokus pada piring-piring kotor di hadapannya.
"O-ohhh, iya. Itu obat … sakit gigi, hehe. Kemaren sih Tante sempet sakit gigi, tapi sekarang udah enggak," balas Mama Reza.
To be continued...

Komentar Buku (2)

  • avatar
    RamadhaniSuci

    Baguss

    03/08

      0
  • avatar

    Ih keren critanya😳😳😳🥺

    26/08/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru