logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 KEGELISAHAN REZA

Fariz hanya bisa diam tak berkutik, "Kamu sadar gak kamu udah ambil ide orang? Kamu sadar gak kamu udah ngehancurin impian terbesarku?! Sadar gak?!" kata-kata Talia barusan betul-betul membuat Fariz terkejut seolah menohok relungnya, pasalnya sedari awal mereka saling mengenal hingga mereka bersahabat ... baru kali ini Talia semarah ini padanya hingga berbicara dengan nada yang tinggi seperti barusan.
Fariz tercekat "Ma-maksudnya apa, Lia? Ide apa? Impian-" bahkan Fariz tidak diberi kesempatan untuk banyak berbicara oleh Talia. "Enggak usah pura-pura bego. Bat Sun! Beda judul doang, sama tema, sama tujuan, dan semua bahan yang kamu pake buat Bat Sun itu sama persis kek bahan yang juga aku pake buat bikin Suntect! (Sun-Protect) Kamu kenapa tega banget sih ngambil ide orang?! Enggak ada yang lain kah? Harus banget nyuri ide aku?! Padahal kamu tahu kalo aku benar-benar ngeharepin sertifikat dari lomba itu buat bekal aku jadi seorang peneliti!" amuk Talia meluapkan segala emosinya yang selama ini terpendam.
"Sumpah demi Allah, aku gak pernah curi ide kamu, Lia. Aku enggak tahu sama sekali soal ide kamu, bukannya sedari awal memang kita gak ada kasih tahu satu sama lain? Bahkan judul pun kita gak saling tahu. Gimana bisa kamu nuduh aku … arrrggghhh! Aku gak pernah nyuri-" mata Fariz mulai berair, tega-teganya Talia menuduhnya mencuri ide dan menghancurkan impian terbesarnya. Andaikan Talia berkata sedari awal, dapat dipastikan Fariz lebih memilih mundur.
"Dukun!" Reza pun datang dan menengahi perkelahian yang terjadi di antara kedua sahabatnya. "Udah dong! Talia, lu juga harus sadar, enggak cuma lu yang punya impian besar! Fariz juga pasti punya impian besar tentang penelitiannya, salahnya juga ada di elu! Kenapa gak dari kemaren lu bilang ke Fariz! Kalo lu bilang, gue yakin Fariz bakal mundur demi lu! Gue yakin 100%!" marah Reza yang mulai muak dengan pertengkaran antara Talia dan Fariz yang tak kunjung membaik, selain karena mood-nya tengah buruk karena lapar dan kembali menahan laparnya untuk menengahi masalah kedua sahabatnya ini, Reza juga merasa sedikit kecewa akan sikap Talia belakangan ini.
"Ja?" mata Talia mulai berkaca-kaca, "Lu lebih belain dia daripada gue? Sahabat lu, gue atau dia sih?!" Talia tak menyangka bahwa Reza akan membentaknya sedemikian rupa di hadapan Fariz. Talia memilih berlari dan pergi dari sana, tanpa Reza.
"Adohhh! Ributtt terus sih kita ini! Kapan damainya?! Bisa gak sehari aja gak ada drama kelahi macam eek sapi ini weh?! Kesel banget gue!" Reza frustasi dan mengacak rambutnya hingga tak lagi rapi.
Namun, seketika Reza menyadari sesuatu. "Nahhh! Riz, minjem duit lu dulu dong! Dompet gue di tas!" Reza menoleh pada Fariz yang kembali menyandarkan kepalanya di atas tumpukan tangannya di atas meja sembari memejamkan mata.
"Ambil sendiri di kantong celana depan gue," ucap Fariz dengan pikiran kalutnya.
"Ih ogah! Lu aja yang ambilin, ntar gue dikira mau grepe-grepe lu lagi, ewww gue masih normal ya," ucap Reza tanpa beban.
"Ya udah, lu yang mau minjem kok. Gak ada sumur deketin ember, yang ada ember deketin sumur," balas Fariz tak bersemangat.
"Ck!" dengan sebal Reza pun mengambil perlahan dompet itu dari dalam saku celana kanan Fariz. Setelah dapat, dengan segera Reza membuka dompet itu.
Deg!
Itu dia yang Reza cari, sebuah foto kecil yang tersimpan cantik di dompet Fariz, benar dugaannya selama ini. Fariz adalah sahabat masa kecil Talia yang sangat diharapkannya untuk kembali muncul di kehidupannya, bahkan Talia berniat mencari sosok Pangeran Bulan yang selama ini menjadi alasannya untuk menjadi seorang peneliti penakluk kejamnya sinar matahari. Reza pun sadar bahwa mereka sama-sama merindukan sosok masa kecil masing-masing, Talia merindukan sosok Pangeran Bulan-nya, sementara yang Reza dengar … Fariz pindah ke Jakarta pun untuk mencari sahabat masa kecilnya yang diharapkan akan menjadi pendamping hidupnya.
Melihat Reza yang tak kunjung mengembalikan dompetnya, Fariz pun mendongakkan kepalanya menatap Reza yang terdiam menatapi sesuatu yang ada di dalam dompetnya. "Za, lu mau minjem berapa sih emangnya? Kek mau nyopet aja, liatin apaan sih?" Fariz pun menatap sebal ke arah Reza.
"I-ini … sahabat kecil lu itu 'kan?" tanya Reza sedikit gugup.
"Ck!" Fariz segera merebut paksa dompetnya dari tangan Reza. "Iya, cantik 'kan? Pasti sekarang dia udah jadi cewek feminim yang cantikkk banget!" sambung Fariz membayangkan.
Melihat Reza yang hanya diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri pun membuat Fariz sebal dan merasa Reza tidak mendengarkannya. "Za! Jadi lu mau minjem berapaaa?" tanya Fariz sembari menepuk bokong Reza.
"50 ribu aja, ntar pulang sekolah gue ganti," ucap Reza dengan raut bimbangnya.
"Lu kenapa sih?" tanya Fariz kebingungan melihat tingkah Reza yang tidak seperti biasanya, sembari menyerahkan selembar uang kertas 50 ribu kepada Reza.
Tanpa banyak berkata, Reza langsung mengambil uang itu lalu mengejar Talia untuk memberinya sedikit penjelasan, meski dirinya pun masih merasa ada yang menjanggal di hatinya tentang Fariz dan Talia, sebenarnya Reza senang jika memang Fariz adalah Pangeran Bulan yang selama ini Talia cari, tapi … entahlah, Reza bimbang akan perasaannya yang tak karuan ini. Haruskah Reza memberitahukan kepada Talia bahwa Fariz adalah Pangeran Bulan yang selama ini dicarinya? Tapi Reza yakin, tidak semudah itu membuat Talia percaya. Lagi pula, ada ketakutan tersendiri yang Reza khawatirkan jika Talia mengetahui bahwa Fariz adalah Pangeran Bulan-nya.
Sepulang sekolah Reza langsung menghantarkan Talia pulang terlebih dahulu, karena dia tidak ingin Talia bosan jika harus menunggunya latihan hingga selesai. Seperti biasa, usai latihan Reza langsung berniat pulang, tapi dilihatnya sosok Fariz tengah duduk bersandar di salah satu tiang penyangga atap ruang laboratorium fisika, tepatnya di depan teras ruangan itu. Reza masih merasa janggal akan perasaannya, jujur … rasa di hatinya dia ingin menjauhkan Talia dari Fariz setelah mengetahui sebuah kebenaran itu, tapi … bukankah itu adalah sebuah kejahatan tak beralasan? Reza pun memilih menghampiri Fariz yang masih sibuk dengan lamunannya.
"Woy, ngapain lu di sini? Gak pulang?" tanya Reza sembari menghapus keringatnya yang membanjir dengan handuk kecil di lehernya.
"Hahhh," Fariz menghembuskan nafasnya kasar, "Kalian berdua jauhin gue, kesepian lah!" cetus Fariz begitu saja.
"Utututu, kaciannya Ayang beb aku kecepian…," Reza pun memilih duduk di samping Fariz sembari terkekeh mendengar alasan yang barusan Fariz ucapkan.
"Ck! Gak usah deket-deket, lu mandi keringet! Bau ketek," Fariz menutup kedua lubang hidungnya.
"Dih, Si Dukun Santet, belagu banget lu! Nih mamam nih ketek gue," Reza malah mengepakkan kedua tangannya dengan tujuan agar bau keringatnya segera sampai di penciuman Fariz.
"Udah ih, Za!" Fariz tahu Reza pasti sedang berusaha menghiburnya.
"Yakin nih cuma gara-gara kita jauhin lu? Gak ada masalah lain kah?" tanya Reza yang cukup paham sikap Fariz.
"Ya … sebenernya ada, tapi masalah kalian berdua yang jauhin gue di saat-saat gue banyak masalah gini … makin bikin gue stres! Mau pecah ni kepala rasanya," ujar Fariz bersandar pasrah pada tiang penyangga itu.
"Ya elu lagian, minta maaf sekali doang, harusnya tiap hari lu datengin rumahnya kalo emang mau minta maaf, jangan lupa sogok pake pisang sekalian. Gue ngerti sih gimana perasaan Talia pas liat Bat Sun lu sama Suntec dia itu sama persis, tapi gue juga percaya sama lo, gue yakin lo gak mungkin sebego itu buat curi ide Talia," ucap Reza yang semakin bingung akan keadaan persahabatan mereka.
"Yakali gue setega itu. Biarin deh seenggaknya gue udah pernah minta maaf, yang berujung … gak dimaafin!" Fariz menghembuskan nafasnya perlahan.
"Oke, sekarang bangun yok! Gue temenin beli pisang … gue bantuin minta maaf ke Lia." Reza berdiri sembari menarik pelan kerah belakang baju Fariz.
"Gak bisa, gue harus pulang. Bunda gue kambuh dan ini parah … Bunda gue gak mau dibawa ke rumah sakit, makanya gue pusing," ujar Fariz yang ikut berdiri tak bersemangat.
"Lah, parah lagi?" tanya Reza ikut prihatin.
"Ya begitulah, ini aja semaleman gue gak tidur jagain Bunda gue," ujar Fariz mengeluhkan rasa kantuknya pada Reza.
"Gue mau besuk boleh?" tanya Reza menawarkan diri.
"Ya udah, ayo," balas Fariz.
Sesampainya di depan rumah Fariz, mereka langsung dihampiri oleh seorang ibu-ibu yang berstatus tetangga terdekat dari rumah Fariz. "Nak, Fariz!" panggilnya sedikit berlari dengan raut panik.
To be continued...

Komentar Buku (2)

  • avatar
    RamadhaniSuci

    Baguss

    03/08

      0
  • avatar

    Ih keren critanya😳😳😳🥺

    26/08/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru