logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 2

Terlihat sebuah roti Croissant yang masih cukup hangat dan lezat. Yana dengan cepat menyodorkan Croissant itu ke depan mulut Luna. Dengan haru dan perlahan Luna menggigit kecil Croissant buatan adiknya.
Sangat enak. Itu yang Luna rasakan, baginya apapun yang adik kesayangannya ini buat pasti selalu enak.
“Enak banget, makin jago nih chef Yana” puji Luna masi bersama senyumannya.
“Beneran enak? Ada yang kurang gak? Rasanya.. teksturnya.. bentuknya.. atau apalah gitu?” Desak Yana.
“Ga ada sih menurut kakak, enak banget ini semuanya pas”Senyum Yana seketika semakin mengembang puas. Lama kelamaan senyum itu mulai pudar oleh rasa iba yang tiba – tiba menyelimut hati Yana sambil memandang Luna yang terlihat lahap menyantap roti buatannya sampai habis.
Yana tau betul bahwa kakaknya ini nyaris tidak pernah sarapan karna berhemat, setiap hari harus kuliah sambil bekerja, belum lagi Luna berjalan kaki kemana-mana. Setiap saatnya Yana bersalah atas penderitaan sang kakak, sedangkan dirinya hanya bisa terdiam melihat dari kejauhan tanpa dapat berbuat banyak.
“Maaf ya kak” kata Yana tanpa sadar. Seakan mengerti maksud sang adik, Luna kemudian membalasnya dengan senyuman.
“Gak ada yang salah sampai kamu harus minta maaf” Balas Luna lembut.
Untuk sekian menit, mereka sejenak saling terdiam sampai akhirnya terdengar suara dering Handphone di tangan kiri Yana. Yana dengan cepat mengecek HP nya.
“Kak, Yana udah mau berangkat, kakak bareng Yana aja yuk”
“Nggak usah, kamu berangkat aja sekarang. Kakak belum mau pergi” tolaknya.
Yana sedikit cemberut, setidaknya ia ingin membantu Luna sedikit selagi ada kesempatan.
“Beneran kakak belum mau berangkat, gak ada kuliah pagi soalnya hari ini. kamu berangkat aja nanti telat” jelas Luna.
“Hhmmm.. yaudah Yana berangkat dulu ya” pamit Yana sembari mencium tangan Luna.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Hati – hati” Jawab Luna sambil mengingatkan.
Begitu Yana sudah tak terlihat, wajah Luna kini berubah sendu juga haru. Ia hanya berbohong mengenai waktu berangkatnya, Luna hanya tak ingin mengambil resiko jika sampai Yana ketahuan menolongnya lalu dihukum oleh Ayahnya.
Setidaknya masih ada Yana yang peduli denganku disini –Begitu pikirnya. Dan hal itu juga yang membuat Luna mati – matian tetap ingin tinggal disana dengan segala deritanya, meski sebenarnya ia sudah tak diharapkan disana.
Setelah memastikan Yana berangkat, kini dirinya yang bergegas siap-siap untuk berangkat juga dengan berjalan kaki.
“Non..” Seru suara seorang wanita dari balik pintu depan rumahnya. Luna pun berbalik.
“Ia bi?” Sahutnya pada Bi Narti yang tadi memanggilnya. Narti adalah asisten rumah tangga disana, ia sudah bekerja disana sejak Luna dan Yana masih SD.
“Ini, dibawa buat non makan siang” Ucapnya sambil menyerahkan sebuah kantong plastik putih yang didalamnya terlihat bungkusan dari kertas nasi. Bi Narti ini adalah sosok selain Yana yang masih peduli dengan Luna di rumah itu.
“Bi… udah berapa kali Luna bilang, Bibi gak perlu repot begini, Luna bisa makan di luar kok, kalau ketahuan Ayah gimana? Luna gak mau Bibi dimarah” Kata Luna khawatir.
“Jangan bohong sama Bibi. Bibi tau non jarang makan, Bapak juga gak ada kok, tolong ya dibawa, Bibi gak mau non sakit, ya?” Katanya dengan haru, belum Luna menjawab Bi Narti sudah mendekat dan bicara lagi
“Liat tuh badan non makin kurus, muka non juga sering pucat” Ucap Bi Narti sambil tangannya mengelus lembut bahu Luna. Air matanya juga tampak membendung.
“Yaudah, Luna bawa ya, Makasih Bi, udahh Bibi jangan sedih. Luna gapapa kok, Bibi jangan sering bawain makanan gini ya. Nanti kalau ketahuan Ayah, terus Bibi di pecat, Luna kesepian dong. Luna gak mau jauh dari Bibi juga”
Kali ini Bi Narti tidak menjawab, ia tampak mencoba menahan air matanya.
“Kalau gitu Luna berangkat dulu ya Bi” Luna pun pamit setelah mencium tangan Narti dan mengucap salam.
Narti memandang punggung Luna yang kian menjauh dengan iba. Masih lekat di ingatannya bagaimana gadis itu dulu amat teramat dicintai di keluarga ini, dan lekat juga ingatannya bagaimana semua itu berubah 360°. Narti sendiri pun tidak tau dan tidak mengerti apa sebabnya, sama seperti Luna, besar juga harapannya agar semua bisa kembali seperti dulu. Utuh.. dan bahagia.
Sepasang kaki kecilnya sudah sangat kuat dan terbiasa. Butuh kurang lebih 45 menit untuknya sampai ke kampusnya. Bicara soal kampus, Luna ini adalah seorang mahasiswa semester 7 jurusan sastra, sebuah jurusan yang sangat cocok dengan minat dan bakat yang ia miliki seputar sastra dan tulisan sejak kecil.
Begitu sampai Luna langsung menuju kelas, duduk, belajar, dan pergi. Begitulah kegiatannya di kampus, meski tergolong anak yang ceria, Luna tidak banyak berinteraksi dengan teman yang lain karena waktu yang dimiliki ia bagi sebaik mungkin antara kuliah dan kerja. Nasib baik bahwa Luna kuliah melalui beasiswa, setidaknya sedikit meringankan bebannya secara materi.

12.31
Kuliah sudah selesai, tugasnya sudah selesai, salat zuhur juga sudah selesai. Luna dengan cekatan melipat dan membereskan mukenah yang ia pakai dari mushola kampus. 30 menit ke depan Luna sudah harus bekerja lagi sebagai pelayan di sebuah coffee shop yang berada tepat di depan kampusnya. Tanpa berlama – lama ia pun bergegas menuju coffee shop tempatnya berkerja itu.
Dengan berjalan santai tapi lebih santai Luna akhirnya sampai. Ia langsung masuk menuju ruang loker dan mengganti bajunya dengan seragam kerjanya berupa kaos lengan pendek berwarna coklat lengkap dengan celemek berwarna hitam.
“Loh udah dateng? Kuliah pagi ya berarti tadi” terdengar suara wanita begitu Luna keluar ruang loker.
“Eh iya nih Bu” jawab Luna sambil tersenyum.
“Yaudah kamu langsung aja kalau gitu, Ibu mau jemput anak Ibu sekolah dulu ya” katanya lagi ramah.
Itu tadi Bu Laras. Pemilik coffee shop tempat Luna bekerja. Sangat bersyukur bagi Luna bisa bertemu Bu Laras dengan segala kebaikan dan pengertiannya, Luna diperbolehkan secara bebas datang bekerja sambil menyesuaikan jam kuliahnya dengan waktu kerja selama 6 jam per hari.
Satu lagi kebaikan dan pertolongan dari Tuhan yang sangat Luna syukuri dalam hidupnya, bertemu dengan Bu Laras.
“Biar aku aja, kamu kalau mau makan atau salat atau duduk dulu gapapa” Ucap Luna pada salah satu sesama pegawai juga disana yang sedang melayani pembeli.
“Ohh iya, kalau gitu aku mau salat dulu ya” Kata pegawai muda tersebut. Luna pun mengangguk.
Luna pun langsung menerima setiap pesanan pelanggan yang mengantri dengan senyum dan semangatnya ya besar. Tubuhnya yang bergerak cepat menyiapkan dan menyajikan secangkir demi secangkir kopi panas maupun dingin yang beragam.
Seperti hari – hari biasanya, Luna melayani setiap pelanggan dan menyelesaikan pekerjaan dengan cekatan, rapi, dan ramah. Semangat kerja yang ia miliki lah salah satu alasan yang membuat Bu Laras sayang padanya. Dan sikap baik juga ramahnya pun cukup membuat teman – teman kerjanya disana bersimpati dan suka pada Luna.

Komentar Buku (34)

  • avatar
    HongaRevanda

    sangat bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Rangga Putra

    luar biasa

    02/08

      0
  • avatar
    dil666naon

    bagus

    29/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru