logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Imbas

Sepertinya keputusan guru menjadikannya seksi keamanan itu tepat. Karena, Sadin sudah yakin seratus persen kalau bukan dirinya, mungkin orang itu tidak akan kuat. Yah, seperti yang sekarang terjadi, ponselnya tidak berhenti bergetar karena pesan masuk. Isinya spam, virtex, bahkan banyak juga link-link pishing yang masuk. Tapi, Sadin tak peduli. Lagian ia juga nyaris jarang memakai WA nya. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah men-screenshot bukti dan mengirimkannya pada Bu Aul, lalu menguninstal WhatsApp untuk beberapa waktu.
Pagi ini, Sadin berangkat terlalu pagi lagi. Ia tidak terlambat karena terbangun sejak jam dua pagi lagi. Ia mengancingkan lengan bajunya yang panjang setelah sebelumnya memberi hansaplas di lengannya. Gadis itu berangkat setelah membereskan semua pekerjaan rumahnya.
Sesampainya di kelas, Sadina langsung keluar untuk pergi ke MIPA 3. Ia ingin menemui Udin untuk meminta sedikit bekalnya. Ia dan Udin memang terbiasa berbagi bekal karena lelaki itu sering membawa dalam porsi yang besar. Apalagi, dia anak laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara dan orang tuanya kaya. Jadi, apa pun yang ia minta selalu diberikan orang tuanya. Udin juga tidak keberatan untuk membagikan bekalnya kepada Sadina.
Sebelum berangkat tadi, Sadin memang lebih dulu meminta tolong Udin untuk membawa bekal sedikit lebih banyak. Bukan tanpa imbalan. Ia yang akan mengerjakan PR kimia Udin selagi mengisi perutnya. Bibinya tidak memberinya makan pagi ini. Padahal, kemarin ia juga belum makan, hanya sempat menelan sebuah roti seribuan yang ia beli ketika pulang sekolah. Uangnya sudah benar-benar habis hari ini. Uang bulanannya juga masih turun beberapa hari lagi.
Sesampainya ia di kelas MIPA 3, Udin langsung menyambutnya dengan memberinya satu kotak bekal. Biasanya mereka berbagi dalam satu kotak. Tapi, Udin sengaja memberinya satu kotak tersendiri hari ini karena ia tahu gadis itu memang benar-benar kelaparan.
"Makasih banyak, Udiiin. Sumpah, gua bahagia banget dikasih ginian aja. Mana, siniin PR lu. Gua kerjain."
Sadin menyambut bekal yang diberikan Udin. Saat ia buka, isinya mungkin hanya sayur terong, tapi bagi Sadin itu jauh lebih enak daripada daging. Ia langsung menyantap bekalnya berselingan dengan tangannya menjawab soal.
"Pelan-pelan makannya, Din! Keselek kamu nanti. Nggak ada yang minta juga," ucap Udin sambil terkekeh. Sadin menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil meringis.
"Sorry, gua laper banget soalnya. Kemaren gua cuma makan roti sebiji. Tadi pagi udah diultimatum disuruh masak cukup untuk orang tiga aja. Jadi, ya gak kebagian." Udin adalah satu-satunya orang yang tahu sedikit banyak permasalahan Sadin. Itu pun karena waktu itu ia tidak sengaja memergoki Sadin yang ditampari bibinya saat ia hendak mengambil bukunya yang tertinggal setelah belajar kelompok. Setelah itu, pertemanan mereka semakin erat. Udin tidak melihat Sadin dengan kasihan, ia malah melihat Sadin dengan kagum karena bisa bertahan di tengah saudara rasa ibu tiri itu.
"Udah, abisin makannya. Pelan-pelan aja tapi. Tugasnya juga cuma dikit."
Bel berbunyi setelah Sadin selesai memakan bekalnya. Ia tersenyum bahagia karena kenyang. Anggota kelas MIPA 3 sudah pada masuk, tapi mereka menyambut kehadiran Sadin selain mantan penghuni MIPA 1. Wajar, sih. Sadin terkenal supel dan tak segan menolong siapa saja.
"Gua balik dulu, ya? Makasih buat makanannya. Saya kenyang. Hehee," pamitnya. Ia langsung ngacir begitu saja keluar kelas dan kembali ke kelasnya.
Saat ia masuk kelas, Putri tiba-tiba berceletuk, "Wih, gayanya aja pake moge. Makan aja masih ngemis-ngemis ke kelas orang. Bikin malu!"
Sadin hanya berlalu begitu saja.
"Hei, sialan lo! Nggak punya malu? Apa lo nggak punya orang tua sampe-sampe makan aja ngemis ke orang gitu? Mana sama cowok pula. Dasar cewek gatel."
Pandangan Sadin langsung menatapnya tajam. Sadin mengontrol emosinya dengan menarik napas panjang. Sebenarnya, ini tidak seberapa dari omongan bibinya. Tapi, emosinya tetap terpancing juga karena membawa orang tua. Sadin bisa pastikan anak itu hanya ingin memancingnya untuk marah.
"Ah, Mbak. Kebetulan saya memang anak yatim piatu. Orang tua saya sudah meninggal sejak saya kelas satu SMP. Mau menyantuni saya? Dapet pahala, loh!" jawab Sadin dengan senyuman.
"Waw, gelap," sambar Agung bereaksi. Sadin tertawa menghampiri bangku Agung.
"Mau beramal nggak, Gung? Saya anak yatim piatu, nih!" guyonnya. Agung pura-pura memasukkan tangannya ke kantong dan menarik keluar jarinya yang dibentuk love sign dengan jari telunjuk dan jempol yang disilangkan.
"Kok malah lu yang minta duit?" kekeh Sadin. Ia dan Agung tertawa bersamaan, lalu Sadin kembali ke kursinya. Putri menatapnya kesal karena ia tidak mendapat respon sesuai yang ia bayangkan.
"Orang tua nggak boleh buat becandaan! Harusnya bersyukur kalo orang tua lu masih lengkap!" celetuk Rajaka tiba-tiba. Sadin yang terkejut langsung tertawa terbahak-bahak.
"Gua serius. Orang tua gua udah meninggal karena kecelakaan pas gua kelas 7. Agung dulu satu SMP sama gua, jadi dia tahu cerita ini. Karena kita belum pernah sekelas, lu mungkin gak notice kalo wali atau ortu gua nggak ada yang pernah ambil rapor. Selalu diwakilkan Bu Aul karena kebetulan beliau itu juga tetangga gua. Jadi, gua ambil rapor dari Bu Aul," jawab Sadin santai.
"Kok lu nggak sedih?" tanya Rajaka penasaran.
"Sedih? Itu udah makanan sehari-hari gua. Tapi cuma sedih doang nggak bakal bawa perubahan apa-apa. Satu-satunya cara bertahan hidup di dunia yang kejam ini adalah menjadi kuat! Lu nggak bakal bisa bertahan kalo lu lemah." Pembicaraan mereka terputus saat guru mata pelajaran masuk ke dalam kelas.
Beberapa dari mereka mengubah cara pandangnya dalam menatap Sadin. Awalnya mereka benci dan jengkel karena anak itu yang selalu membuat ulah menjadi simpati dan kagum karena ketegarannya. Sisanya lagi semakin membencinya karena menurut mereka, Sadin itu terlalu mencari perhatian dan pencari muka.
Bukannya kamu memang tidak bisa mengubah cara pandang orang terhadapmu? Bahkan sekalipun seribu fakta terungkap, yang benci tidak akan percaya itu dan yang menyukai tidak membutuhkan itu.
。◕‿◕。
Saat Sadin hendak pulang sekolah, ban motor Sadin tiba-tiba kempis. Ia ingat betul baru saja memompanya sebelum berangkat tadi dan tidak ingat kalau ia menginjak paku atau apa pun. Terpaksa gadis itu mendorong motor yang begitu berat ke luar gerbang untuk mencari tambal ban.
Pak Mukhlis yang melihat Sadin kesulitan mendorong sebuah motor besar langsung berinisiatif membantu gadis itu. Beberapa mantan teman sekelas Sadina yang berpapasan juga ingin membantu, tapi Sadin menolak karena kasihan mereka sudah mau pulang. Ia menerima bantuan Pak Mukhlis juga karena satpam itu langsung mengambil alih motor Sadin begitu saja saat ia kesulitan mendorong motor di jalan yang sedikit menanjak.
"Motornya kenapa? Bocor?" tanya Pak Mukhlis
"Nggak tahu, Pak. Tiba-tiba aja bannya kempes," jawab Sadina sekenanya. Beruntung ada tambal ban yang tidak jauh dari gerbang sekolah. Jadi, Pak Mukhlis langsung menuntunnya ke sana.
"Makasih banyak, Pak, udah bantuin aku."
"Nggak papa. Lagian motornya berat, kalo kamu dorong bahaya. Ini kayanya cuma kempes, dikompa aja udah bisa lagi. Ya sudah, saya balik ke sekolah, ya? Nanti dicari Pak Seno."
Sadin mengangguk sambil berterima kasih. Pak Mukhlis meninggalkan gadis itu sendirian.
Besoknya, kejadian ini masih terulang. Bahkan jok motor gadis itu penuh dengan coretan spidol permanen. Begitu pun bagian tangki dan bodynya. Sebenarnya amarah Sadin sudah memuncak. Tapi, gadis itu memilih untuk meredamnya dalam diam. Ia membawa motornya ke bengkel lagi dan mengisi angin di sana. Untuk mengganti jok dan lain-lain, semuanya butuh uang. Ia tidak memiliki banyak uang untuk menggantinya. Terpaksa Sadin membiarkannya walaupun tulisannya berisi kata-kata kotor yang tidak pantas.
Hai manusia tanpa empati
Yang sibuk mencari-cari muka dan hati
Di tengah kumpulan mawar-mawar berduri
Yang berteriak menyalahkan tukang kebun karena tangannya tertusuk duri
Hai manusia tanpa kecerdasan
Yang dengan bodohnya menjegal demi ketenaran
Yang tidak bisa melihat ke dalam badan
Dan sibuk berkoar kalau ia korban
Ingin kusumpal mulutmu dengan petasan
Lalu kutenggelamkan dirimu dalam palung malu yang tak tertahan
Lalu kugantung dan kupertontonkan
Seperti apa yang kamu lakukan pada orang lain yang tak berurusan
Dengan terampil, tangan Sadin menulis puisinya dengan penuh emosi. Ia sudah kesal dan butuh pelampiasan. Kini, sedikit banyak emosinya sudah tersalurkan.
Hari-hari berlalu tanpa ada reaksi dari Sadina membuat pelaku onar kesal. Bu Aul dan Pak Rozak sudah berkali-kali memanggil Sadin untuk mengusut kasus ini, tapi ia ingin membiarkannya dulu. Sampai tiba waktu yang tepat untuk mempermalukannya sekalian, walaupun Sadin sendiri tidak yakin apakah ia mampu mempermalukan orang lain.
Hari ini pelajaran biologi. Mereka memiliki sebuah praktikum di laboratorium biologi. Bu Alfi sudah beberapa kali memperingatkan mereka agar tidak sembrono dalam bekerja. Tapi, firasat Sadin sedikit tidak enak sejak masuk ke dalam laboratorium, entah kenapa. Ia memilih untuk mengabaikan perasaannya.
Benar saja. Saat mereka sedang membakar sesuatu dalam di atas tabung pembakar spiritus, tanpa sengaja Veera yang sedang bercanda dengan Putri menabrak tabung spirtus yang masih menyala dan membuat tabungnya jatuh dan pecah. Api menyala dan membakar rok Putri yang kebetulan berada di dekat mereka. Sebenarnya Sadina bisa saja terdiam dan melihat bagaimana mereka dipermalukan, atau mungkin malah nyawanya yang hilang. Tapi, gadis itu dengan refleks langsung berlari ke arah tabung APAR yang berada di pojok ruangan dan langsung menarik kunci pengamannya sebelum kemudian diarahkan ke arah Putri yang mengibaskan roknya panik. Karbondioksida yang keluar dari APAR langsung mematikan api beberapa detik setelah disemburkan. Putri menangis dengan kondisi roknya yang sudah terbakar separuh dan kakinya yang terkena luka bakar. Veera ikutan menangis ketakutan sambil gemetaran hebat karena melihat Putri yang teriak-teriak dengan api menyala tadi. Ia merasa bersalah karena dirinya yang mendorong tabung pembakar spirtus itu sampai jatuh di samping Putri dan membakar rok gadis itu.
"Bukannya udah ibu bilang beberapa kali, jangan ada yang bermain-main saat di laboratorium! Beruntung tadi teman kalian masih bisa diselamatkan. Kalian mau apa kalau sampai ada yang mati? Siapa yang jatuhin tabung pembakar spirtusnya?" Amarah Bu Alfi memuncak. Veera mengacungkan tangannya.
"Kamu, ikut saya ke ruang BK. Sadin, antar Putri ke UKS. Kalau lukanya parah, minta penjaga UKS untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Pelajaran ini selesai sampai di sini. Kalian semua, rapikan semua peralatan yang kalian pakai! Paham?!"
"Paham, Bu." Semua siswa melakukan apa yang disuruh Bu Alfi. Veera melangkah dengan takut-takut di belakang Bu Alfi. Ia tidak bisa mengelak karena banyak saksi mata yang menyaksikan kejadiannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menyalahkan Putri karena mendorongnya.
Sadina mengantar Putri yang masih menangis ke UKS. Jelas pasti luka itu rasanya sangat panas. Sadina pernah merasakannya ketika ia disiram air panas di kakinya. Sadin menghela napas saat mengingat kejadian buruknya itu.
Berhubung ini jam pelajaran terakhir, tas dan segala macam sekalian dibawa ke laboratorium. Karena rok Putri sudah terbakar sampai di atas lutut, Sadin menutupinya dengan jaket miliknya sambil berhati-hati agar tidak menyenggol lukanya.
Perjalanan mereka ke UKS sangat hening. Tidak ada dari mereka yang mau membuka suara. Sadin juga malas berbincang dengan Putri, jadi ia memilih diam.
"Maafin gua, Din. Makasih karena udah cepat tanggap padamin apinya. Gua tahu gua nggak termaafkan. Jujur, gua yang nyoret-nyoret motor lu dan kempesin juga. Tapi lu malah baik ke gua."
Sadin melirik Putri yang tiba-tiba berbicara. Ia menjawab, "Gua udah tahu kalo lu pelakunya. Cuma males ambil pusing aja. Kalo masalah padamin api, kalo gua nggak buru-buru padamin itu apinya, bisa-bisa merambat dan malah ngebakar semuanya. Gua gamau kebakar juga. Jadi ya salah satu caranya padamin dulu sumber apinya."
Putri tersenyum walaupun jawaban Sadin di luar perkiraan. Mereka tiba di UKS dan melihat luka bakar yang ada di kaki Putri, penjaganya memutuskan untuk membawa gadis itu ke rumah sakit.
Makanya, jangan sekali-kali menyakiti hati anak yatim-piatu. Apalagi menggangunya. Kalian tidak akan tahu, bagaimana doa yang ia gaungkan saat ia disakiti. Doanya yang langsung menembus ke 'Arsy, langsung didengar oleh Allah, dan seringkali langsung mendapatkan balasannya juga.
***

Komentar Buku (31)

  • avatar
    FarahYui

    bagus

    20/08

      0
  • avatar
    VidiaSelvi

    seru

    19/08

      0
  • avatar
    Fitriana Tobing

    keren

    10/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru