logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Luka

Pesta meriah pun digelar, seluruh biaya pernikahan ditanggung oleh keluarga Syifa. Warna pink, putih dan hijau lembut menghiasi suasana pesta. Makanan mewah dihidangkan, silih berganti tamu datang memberikan ucapan selamat dan do’a kepada kedua mempelai.
“Pasangan yang sangat serasi ya, tampan dan cantik,” goda para undangan kepada kedua mempelai.
Dzaki dan Syifa hanya tersenyum menanggapi ucapan para undangan.
Ada rasa was-was dalam hati Syifa, ia terus memperhatikan Dzaki dan ia merasa kalau Dzaki tidak bahagia dengan pernikahan ini.
Malam pun telah tiba, kini Dzaki dan Syifa sudah berada di kamar pengantin. Kamar yang dihiasi dengan indah. Ada beberapa lilin yang disusun dengan indah, bunga mawar yang membentuk hati di atas tempat tidur, beberapa kelopak mawar bertebaran di lantai yang menambah keindahan dan keromantisan dalam kamar. Wangi bunga yang sangat lembut menambah ketenangan di hati, namun tidak berlaku untuk Dzaki dan Syifa.
Keduanya sibuk dengan fikiran masing-msing. Bukan sibuk untuk memikirkan malam romantis tetapi sibuk berfikir bagaimana caranya mengungkapkan perasaan mereka masing-masing.
Syifa ingin jujur dengan kejadian masa lalunya, sementara Dzaki ingin jujur bahwa dia masih mencintai gadis masa lalunya.
Dzaki sudah berubah menjadi lebih religius, namun ia belum bisa menguasai hatinya.
Perlahan Dzaki datang menghampiri Syifa yang sedang duduk di tepi ranjang.
“Syifa mas ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucap Dzaki memutus keheningan di antara mereka.
“Syifa juga ingin mengatakan sesuatu mas,” jawab Syifa dengan dada bergetar. Ia mencoba mengumpulkan semua kekuatannya untuk berkata jujur pada suaminya.
“Baiklah, jika kamu ingin mengatakan sesuatu katakanlah, mas akan mendengarkannya.”
“Mas saja duluan, kan tadi mas yang mulai,” ucap Syifa karena ia masih mencoba untuk mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.
“Baiklah Syifa, sebelumnya mas minta maaf, sebenarnya mas masih mencintai gadis lain dan belum bisa melupakannya sampai sekarang.”
Bagai disambar petir, perkataan Dzaki sukses menghancurkan hati Syifa. Laki-laki yang selalu ia do’akan menjadi imamnya ternyata menyimpan nama perempuan lain di hatinya.
“Siapa gadis itu mas,” Syifa mencoba tegar, meski luka di hatinya menganga.
“Aulia, dia gadis sangat baik yang mas kenal saat mas masih SMA dulu.”
“Gadis yang sangat baik?, mas Dzaki memuji wanita lain di hadapanku, Ya Allah hatiku sangat sakit, inikah balasan dari dosa-dosaku yang lalu?,” batin Syifa menangis.
“Oh…’” ucap Syifa menunduk menyembunyikan air matanya yang berhasil jatuh tanpa ia sadari.
“Tapi mas berjanji padamu, akan berusaha melupakan Aulia dan memberikan cinta mas sepenuhnya untukmu, berikan mas waktu Syifa,” ucap Dzaki bersungguh-sungguh memberikan harapan pada istrinya.
Aulia, setiap Dzaki menyebut nama itu, hati Syifa semakin sakit.
“Mas tidak akan meminta hak sebelum bisa mencintaimu sepenuhnya, berikan mas waktu. Kita sudah dipersatukan dalam ikatan yang suci, mas yakin akan bisa mencintaimu sepenuhnya dan menjadikanmu bidadari dalam hidup.”
Dzaki bertekad akan berusaha mencintai Syifa meskipun bayang-bayang Aulia belum bisa hilang dari ingatannya.
“Baiklah mas, jika itu yang kamu inginkan maka itu yang akan terjadi. Kamu adalah imamku, jadi mulai sekarang aku akan berusaha mengikuti semua keinginanmu,” Syifa berusaha untuk tegar.
“Terima kasih Syifa, kamu benar-benar wanita yang sangat baik, aku beruntung bisa memilikimu. Oh ya tadi kamu mau bilang apa?.”
“Haruskah aku jujur sementara kamu telah membuat jarak di antara kita mas?, jika aku jujur pasti akan membuat hubungan ini semakin hambar,” batin Syifa.
“Oh… tadi aku juga mau bilang itu mas, jika kamu belum ingin memberikanku nafkah batin malam ini tidak apa-apa, karena tadi kamu kelihatan sangat lelah,” ucap Syifa berbohong.
“Oh… cuma itu?, baiklah, jika sudah selesai shalat isya kamu tidur saja,” ucap Dzaki karena ia merasa lega sudah menyampaikan isi hatinya.
Setelah selesai shalat isya Syifa pun mencoba untuk memejamkan matanya, meski agak lama akhirnya karena badannya yang sudah lelah ia tertidur juga.
***
Jam 04.00 dini hari Syifa sudah bangun dari tidurnya, ia melihat Dzaki tidur di bawah dan mencoba membangunkannya.
“Mas sudah jam empat, mas mau ikut shalat malam?,” ia menyentuh lengan suaminya dengan lembut.
Syifa sangat mencintai Dzaki, bertahun-tahun ia mendambakannya untuk menjadi pendamping hidupnya. Kini laki-laki yang dicintainya sudah ada di depan mata, meski telah menorehkan luka ia berjanji pada dirinya sendiri dan pada sang Pencipta, akan membuat suaminya melupakan gadis lain yang bukan mahromnya dan menjadikan dirinya istri yang sangat dicintai oleh suaminya.
Syifa yakin Allah telah mempertemukan mereka dalam ikatan yang suci, pasti Allah punya cara untuk menjaga hubungan mereka.
“Ya Allah tumbuhkan cinta suamiku untukku,” hati Syifa memohon pada sang Maha Kuasa.
Karena sentuhan Syifa Dzaki pun terbangun.
“Iya Syifa, kita shalat sama-sama ya,” ucap Dzaki.
“Kenapa mas tidur di bawah?,”
“Mas takut membuat tidak nyaman.”
“Bagaimanapun kita sudah syah menjadi suami istri, tidurlah di sampingku agar cintamu semakin cepat tumbuh untukku mas. Aku tidak akan meminta lebih padamu, hanya saja jangan sampai ada yang sakit di antara kita hanya karena masa lalu,” ucap Syifa mencoba mengambil perhatian Dzaki.
“Dan satu lagi, panggil aku adek atau sayang lah biar nanti benar-benar makin sayang padaku,” goda Syifa pada suaminya.
“Baiklah syifa, eh… dek,” ucap Dzaki kikuk.
Syifa tersenyum melihat tingkah suaminya. Harusnya suaminyalah yang menggodanya, tapi apa boleh buat kini Syifa harus mencoba bertahan dalam hubungan ini, meski sakit namun ia harus kuat.
Setelah saling memberikan senyuman keduanya pun bergegas mengambil air wudhu’ dan shalat malam bersama.
===
Setelah beberapa minggu tinggal di rumah orangtua Dzaki keduanya pun sepakat untuk mengontrak rumah. Bukan karena Syifa tidak cocok dengan ibu mertua tapi karena mereka hanya ingin hidup mandiri. Lagian kedua orangtua Dzaki juga masih belum terlalu tua dan masih sehat.
“Jadi keputusan kalian untuk ngontrak gak bisa dirubah lagi?,” Tanya bu Salamah.
“Iya bu, kata mas Dzaki biar kami lebih mandiri,” ucap Syifa sambil memegang tangan ibu mertuanya.
“Rumah akan jadi sepi, Amanda dan cucu-cucu ibu pun sudah pulang, jadi tinggal bapak sama ibu saja di rumah,” bu salamah seperti tidak rela ditingggalkan menantu dan anaknya.
“Kita kan belum tua-tua sekali bu, gak papa lah kita tinggal berdua, itung-itung menikmati masa pacaran kita yang tertunda,” ucap pak ahmad menggoda istrinya.
Pak Ahmad dan bu Salamah menikah juga karena di jodohkan, orangtua keduanya berteman baik jadi untuk mempererat persahabatan kedua keluarga jadilah pak Ahmad dan bu Salamah di jodohkan.
“Pacaran, wong kita sudah tua pak.”
“Gak papa bu, agar cintanya semakin kokoh,” ucap Dzaki.
“Gak papa kalian ngontrak, tapi janji ya cepat kasih ibu cucu, biar nanti ibu bisa jemput cucu ibu dan mengajaknya bermain.”
Dzaki dan Syifa pun terdiam, mata mereka saling pandang.
“Ya Allah bagaimana kami akan memberikan ibu cucu, sampai sekarang pun mas Dzaki belum memberikan nafkah batin padaku,” Syifa berbicara sendiri dalam hatinya.
Dalam hati Dzaki juga merasa bersalah, andai orangtuanya dan orangtua Syifa mengetahui hubungan mereka, pastilah mereka akan kecewa bahkan marah terhadap dirinya. Ia sadar telah dzolim pada Syifa, namun ia takut lebih dzolim jika menggauli Syifa tanpa cinta.
==

Komentar Buku (151)

  • avatar
    DamiaAlfiera

    good

    7h

      0
  • avatar
    hahamganteng

    mantap

    6d

      0
  • avatar
    Devi Framsisca

    👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼

    16d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru