logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Chapter 2 Azkan Rezaldi Adhitama

Kelima gadis itu menahan napas ketika melirik ke asal suara. Di sana, seorang pria muda dengan mengenakan seragam dinas seorang guru tengah berdiri menatap mereka. Tentu saja kelima gadis itu sangat mengenal siapa nama pria yang berprofesi sebagai guru tersebut.
"Kalian berlima sedang apa di sini? Saya mencari-cari tidak ada di kelas dan kantin tadi."
Rindi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Eh, Pak Azkan. Kok Bapak ada di sini, sih?”
“Ditanya malah balik tanya, bukannya jawab. Kalian sedang apa di sini? Ini masih jam sekolah loh,” ujar Azkan—guru matematika di SMA Rajawali.
Ya, Azkan Rezaldi Adhitama adalah guru termuda di sekolah mereka. Pria yang dikagumi oleh para guru wanita bahkan para siswi, terutama Renata. Ya, gadis itu merupakan salah satu pengagum rahasia Azkan.
“Kita mau ketemu sama Papinya Rindi, Pak,” jawab Renata dengan malu-malu.
Azkan menganggukkan kepala. “Papi kamu dokter di sini, Rind?” tanya Azkan kembali.
Rindi menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Papi saya jadi dokter ahli bedah di sini, kalau Mami itu dokter umum. Eh, Mommy Dayina juga dokter kandungan dan anak, mungkin Bapak mau dibedah juga sama Papi saya,” jawab Rindi dengan senyum terpaksanya.
“Berarti kalian bolos dong?” beo Azkan yang dijawab gelengan kepala oleh kelima gadis itu.
“Kita nggak bolos, Pak. Gurunya aja yang males ngajar, masa kita nggak diajar selama satu setengah jam. Tapi Alhamdulillah sih,” celetuk Dayina, membuat keempat sahabatnya tersenyum tidak enak ke arah Azkan.
Azkan manggut-manggut. “Oke, kalau Pak Angkasa tahu, bagaimana ya? Lalu jika Pak Revano juga tahu, bahaya,” gumam Azkan.
Sundari menatap Azkan dengan tatapan memohonnya. “Jangan dong, Mas Azkan,” ucap Sundari, membuat keempat sahabatnya membelalakkan mata.
Apa mereka tidak salah mendengar? Sundari memanggil Azkan dengan embel-embel 'Mas'?
“Gue nggak salah denger, nih, lo manggil apa?”
"Mas,” ucap Sundari.
“Kalian sepertinya menyembunyikan sesuatu dibalik Si Iswanto,” sahut Rindi.
Sundari memilin jari-jarinya karena gugup. Dia takut salah menjawab, sehingga membuat salah satu sahabatnya terluka.
“Kalian mau tahu soal hubungan kami? Kalau begitu, kalian ikut makan siang, ayo!” ajak Azkan.
"Berarti Pak Azkan ngajakin kita bolos dong!" sewot Rindi, membuat yang lain mengangguk setuju dengan ucapan gadis itu.
"Parah banget sih, Pak Azkan. Masa ngajakin kita bolos. Ayok, kita makan siang," lanjut gadis itu.
"Kirain gue mau ngajak balik ke sekolah loh, Rind."
Rindi menatap ke arah Renata. "Ya kali gue ngajak ke sekolah lagi, yang ada dijemur di depan tiang bendera sambil hormat. Mending ikut Pak Azkan gue, dapat makan gratisan. Perut kenyang, hati pun ikut senang."
"Ye, urusan gratisan aja lo nomor satu, tapi gue juga sih."
"Kan gratisan itu enak, bagi yang missqueen," celetuk Dayina, sedangkan yang lain hanya mengembuskan napas secara kasar.
"Mau ikut atau mau ngobrol?"
Kelima gadis itu langsung mengiyakan ajakan sang guru yang penuh berkah. Ya, berkah gratisan. Ketidaksengajaan yang menghampiri mereka memang selalu membawa keberkahan, entah itu secara fisik, materi, maupun hal lainnya. Bersyukur sekali kelima gadis itu.
***
Azkan menghentikan mobilnya di pelataran parkir sebuah restoran Inggris. Pria itu mengajak kelima gadis berseragam SMA Rajawali ke ruangan VIP khusus keluarga. Di sana ternyata sudah ada dua pasangan paruh baya yang tengah menantikan kedatangan mereka. Ralat, lebih tepatnya menantikan kedatangan Azkan dan Sundari.
“Wuih, Tante! Assalamu’alaikum, Tan! Apa kabar?!” teriak Rindi sambil menghampiri Giana Sandra—Bunda Sundari—lalu mencium punggung tangan wanita paruh baya yang seumuran dengan maminya.
“Hei, Bro! Uh, ponakan-ponakan kesayangan gue!” Giana begitu histeris melihat kedatangan keempat gadis cantik itu.
“Berisik!” Giana menatap ke arah Dayina dengan malas, dia memang selalu kesal dengan anak itu. Selain lemot, gadis itu juga suka mengeluarkan celetukan-celetukan bodoh sekaligus menyakitkan.
“Syirik, bilang bos. Nggak mampu? Ikutin!” sewot Giana.
“Males banget ngikutin yang begitu, unfaedah. Nggak jelas,” gumam Dayina yang masih bisa didengar oleh Giana.
“Dasar anak hujan,” gerutu Giana, lalu wanita paruh baya itu langsung duduk di kursi samping tempat duduk suaminya.
Karena mereka berada di ruang VIP Family, maka jangan heran jika dalam satu meja bisa terdapat lebih dari sepuluh kursi.
“Kalian nggak mau duduk?” tanya Reavano Zein—ayah Sundari—dengan suara lembutnya, membuat keempat gadis itu langsung duduk.
Sundari menatap sang ayah yang juga tengah menatapnya. Gadis itu seolah memberi isyarat agar ayahnya menyampaikan sesuatu kepada keempat gadis cantik yang merupakan sahabat Sundari.
Revano mengembuskan napas kasar. “Kalian bolos, ya?” tanya Revano yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Dayina.
“Nggak, Om. Orang gurunya yang rapat dan nggak mau ngajar, ya udah kita keluar. Daripada di kelas cuma diem, buat jiwa-jiwa bolos kita seakan terbakar, sehingga meronta keluar,” jawab Dayina dengan polosnya sambil memakan makanan yang sudah tersedia begitu banyak di atas meja.
Revano mendengkus mendengar jawaban Dayina. “Sebenarnya Pak Azkan sengaja meminta guru rapat, supaya dia bisa ajak Sundari ke sini. Eh, tahunya malah ikut bolos sama kalian. Mending kalau ke pantai, ini malah ke rs,” gerutu Revano.
Rindi cengengesan tidak jelas saat mendengar gerutuan dari Revano. “Di rs banyak cogan kok, Om. Jadi nggak rugi,” sahut Rindi.
“Ck, kalian nggak apa cari cogan, tapi nggak usah ajak Sundari dong.” Azkan memutar bola matanya dengan jengah.
“Nah, mumpung kalian ada di sini, jadi om mau kasih tahu soal Sundari dan Pak Azkan,” ucap Revano.
Rindi menatap Revano dengan penasaran. “Kenapa, Om?”
“Sundari sudah om jodohkan dengan Pak Azkan, tepatnya saat dia masih SMP kelas satu.” Ucapan Revano membuat keempat gadis itu membelalakkan mata seolah tidak percaya, sedangkan Sundari tengah menatap Renata dengan takut-takut.
"Siti Nurbaya sama Datuk Maringgi ternyata benar-benar ada ya," timpal Rindi dengan santainya.
Keempat gadis itu langsung tersadar dari lamunannya setelah mendengar ujaran santai dari Rindi. Mereka lalu mengubah ekspresi mereka dengan raut bahagia. Merasa ada yang menatapnya, Renata mengalihkan pandangan ke arah Sundari. “Kenapa lo lihatin gue kayak gitu?” tanya Renata sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Lo kok bahagia, Ren? Nggak sedih atau marah gituh?” Bukannya menjawab, Sundari malah balik bertanya.
Renata tertawa, lalu menjawab, “Eh, Jubaedah. Ya kali sahabat gue mau dijodohin, gue yang sedih plus marah? Nirfaedah banget. Ya, kagaklah. Malah gue bersyukur.”
“Lah, kok bersyukur? Kan lo suka Pak Azkan, Ren?” tanya Dayina tanpa mengalihkan fokusnya dari makanan.
“Ya iyalah bersyukur, populasi jomblo berkurang, Ceu. Gue hanya mengagumi, bukan suka. Dan poin pentingnya, perjodohan mereka bakal membawa banyak berkah buat kita. Ya intinya, accident membawa berkah!" jawab Renata dengan antusias.
“Bener banget, pasti bakal ada traktiran dan uang tutup mulut. SPP digratisin, nilai matematika digedein, sekolah tiap hari pasti diliburin. MasyaAllah, nikmat-Mu memang tiada tara,” tambah Rindi yang tak kalah antusias.
"Enak di kalian, rugi di saya. Mana ada konsepnya begitu, jangan macem-macem," sahut Azkan dengan tidak terima.
Revano hanya menggeleng-gelengkan kepala saat mendengar jawaban konyol yang Renata dan Rindi lontarkan. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pasangan paruh baya yang akan menjadi besannya nanti. “Oh iya, sampai lupa. Perkenalkan, ini Pak Satrio dan Ibu Aluna, mereka ini orang tua Nak Azkan.”
Ketika mereka sedang asyik berbincang tiba-tiba sebuah suara menghentikan obrolan mereka.
“Papa, Mama, kalian di sini?” panggil seseorang sekaligus beranya.

Komentar Buku (69)

  • avatar
    CHANRIORIOCHAN

    bagus banget

    07/07

      0
  • avatar
    Diva

    saya suka cerita ini

    16/06

      0
  • avatar
    GegeRayy

    bagus

    15/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru