logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Teman Julid

"Ya sudah sana pulang, nunggu apalagi?" kata Ibu dengan sinis.
"Uangnya Bu? Hari ini, hari terakhir aku harus bayar," kataku sambil menunduk karena takut beliau marah.
"Uang lagi, uang lagi. Nih.. Uangnya sana pulang. Jangan bilang mau minta makan juga!" sambung Ayah Yogi dan melempar uang ratusan ribu tiga lembar ke arah meja.
"Terimakasih Yah, Bu. Aku pamit Assalamu'alaikum," Ku cium punggung tangan Ibu dan Ayah sebelum aku pergi.
Sakit melihat perlakuan mereka, aku tau kalau aku hanya anak sambung bagi Ayah Yogi. Apa memang seperti itu dia harus melakukan pada ku. Ya, walaupun beliau bukan Ayah kandung tapi aku sudah menyayangi dia seperti Ayah kandung ku sendiri.
Sampai rumah mbah jam sudah menunjukkan pukul 06.15 lekas aku mandi dan bersiap. Karena sudah siang aku tidak sempat untuk sarapan.
"Tadi kamu sudah sarapan kan Rin? Mbah tadi tidak masak," ucap Mbah Putri yang muncul dari belakang.
"Iya mbah tidak apa-apa. Tadi ibu sudah masak kok di sana!" jawabku dengan senyuman.
"Oh... syukurlah, lha tadi bagaimana sudah dapat uangnya? Sekalian dikasih uang saku kan?"
"Di kasih Mbah, aku berangkat sekolah Mbah, sudah siang!" pamitku setelah rapi dan ku cium tangan mbah Putri dan mbah kung bergantian. "Assalamualaikum," tambah ku.
Rasa lapar semakin terasa saat habis pelajaran olahraga. Tapi bagaimana aku bisa jajan dan membeli makanan kalau aku tadi tidak bawa uang saku. Akhirnya aku hanya minum air putih, bekal yang selalu aku bawa.
"Kantin yuk," ajak Rara setelah kami selesai mengganti baju.
"Duluan saja Ra, aku mau ke ruang administrasi mau bayar SPP," Aku sengaja memberi alasan agar Rara pergi duluan.
"Ya sudah gue temenin, habis itu kita ke kantin bareng!" titahnya dan mengajak aku segera ke ruang administrasi.
"Aku sendiri saja, aku lagi tidak ingin ke kantin Ra," ujarku seraya melepas pegangan tangan Rara.
"Kenapa? Oh ya, tadi aku kayak lihat kamu di rumah om Yogi, kamu nginep di sana?"
"Iya tadi aku kesana, buat minta uang sama membantu ibu. Ibu kan lagi hamil jadi aku bantu beres beres deh,"
"Wih mau punya adik nih, selamat ya... Tadi kamu sarapan tidak? Kan biasanya tante Nana tidak pernah masak?"
"Tadi masak kok, ya sudah kamu sana ke kantin dulu aku mau ke ruang administrasi,"
"Nanti nyusul ya..." katanya dan melangkah ke arah kantin.
Selesai dari ruang Administrasi lekas aku kembali ke kelas. Air yang aku bawa sudah habis, tapi rasa lapar di perutku masih saja terasa.
"Astaga Rinnnnni...." teriak Rara saat melihat aku yang sedang duduk di kursi dan membaca buku.
"Ditunggu malah tidak datang!" gerutu Rara dan duduk di bangku sebelahku. "Rin, boleh aku bertanya?" tambah Rara yang terlihat serius.
"Hmmm... mau tanya apa?"
"Sebenarnya ayah kandung kamu kemana? Maaf kalau membuat kamu sedih,"
"Ayah ku? Beliau sudah punya keluarga baru dan sepertinya mereka sudah bahagia,"
"Apa kamu tidak pernah main kesana Rin? Maksudku pas liburan gitu di ajak ke rumah ayah kamu,"
"Tidak, jangankan main ke rumah ayah. Aku main ke rumah nenek dari ayah aja tidak di izinkan kok. Apalagi main ke rumah ayah yang jauh. Mbah kung ku bisa marah tujuh hari tujuh malam. Hehehe," Tanpa aku sadari ternyata ada orang yang tengah menyimak pembicaraanku dan Rara.
"Atau jangan jangan kamu sebenarnya anak haram? Makanya mbah kung mu seperti itu. Tidak mengizinkan kamu main ke rumah keluarga ayah kamu?" sahut Keano yang tiba-tiba nimbrung.
Pletak...
Rara menjitak kepala Keano karena ucapan yang barusan dia ucapkan. Tapi aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Dia tidak salah juga sih, tapi omongannya itu lho kayak sambal.
"Asal njeplak aja kamu Ke, disaring dulu apa tidak bisa?" protes Rara yang tidak suka.
"Sudah jangan marah Ra, wajar dia berpikiran seperti itu. Tapi tidak kok Ke, ayahku dan ibuku dulu menikah secara resmi baru terlahir aku. Tapi mereka bercerai saat usiaku masih kecil,"
"Alah paling kamu cuma ngarang dan tidak mau di bilang anak haram saja!" sahut Keano lagi.
"Ya sudah kalau tidak percaya, aku sudah bicara jujur. Tapi kenapa kamu selalu julid sama aku? Kayaknya seneng banget kalau aku sedih,"
"Iya, kamu selalu kepo sama kehidupan Karina. Atau jangan jangan sebenarnya kamu suka lagi sama Karina?" tambah Rara yang membuat aku tidak suka dengan argumennya.
"Haaaaa???? Ogah juga gue suka sama dia. Amit amit amit...." jawab Keano sambil cengengesan.
Tet... Tet.. Tet...
Bunyi bel tanda berakhirnya istirahat telah berbunyi. Kini kami sudah siap untuk menerima pelajaran kembali.
Krukkruk...
Bunyi suara perutku karena lapar, kerena kelas lagi hening Rara bisa mendengar suara dari perutku
"Ih, perut kamu bunyi Rin. Kamu laper ya?" tanya Rara sambil tertawa geli.
"Hehehe, iya nih," jawabku sambil tersenyum.
"Ya sudah, nanti kalau ganti pelajaran kamu makan roti ini," ucapnya seraya memberikan roti dari laci mejanya.
"Makasih, kamu memang temenku paling baik,"
Bel ganti pelajaran telah berbunyi, sebelum guru berikutnya datang aku segera memakan roti pemberian Rara dengan lahap.
Jeduk.. Jeduk...
Keano menendang nendang kursi tempatku duduk. Sehingga membuat aku hampir tersedak.
"Uhuk... Uhuk... Uhuk..."
"Pelan pelan Rin," ujar Rara sambil memberikan air minum.
Glek.. Glek.. Glek...
"Makasih Ra," ucapku mengembalikan air minum miliknya.
"Ya, sama sama. Memang tadi kamu tidak sarapan?" Gelengan kepala yang aku beri sebagai jawaban.
"Keano kenapa kamu rese banget, hampir saja aku tersedak gara-gara kamu!" geramku pada Keano yang super jahil dan julid.
"Salah sendiri makan di dalam kelas, makan tu di luar. Awas kalau nyampah, gue aduin sama guru biar dapat hukuman!" jawab dia tak mau kalah.
"Serah loe lah," balasku dan kembali menghadap ke depan.
Kali ini aku bisa kembali mengikuti pelajaran dengan baik. lapar yang tadi aku rasa kini sudah berkurang. Pelajaran yang di terangkan juga bisa aku serap dan pahami dengan baik. Tidak terasa waktu pulang telah tiba, aku lebih memilih pulang paling akhir. Tapi entah kenapa kepala ku tiba-tiba pusing. Sedangkan Rara, dia sudah keluar terlebih dahulu.
"Loe kenapa Rin?" tanya Keano yang ternyata belum juga pulang. "Loe sakit? Mukamu pucet banget." tambah dia saat lihat wajahku.
"Gak papa, sudah aku mau balik dulu," Ku tahan sakit kepalaku dan berjalan menuju parkiran.
"Yakin? Kamu bisa pulang sendiri? Atau gue anter saja?" tawar Keano yang sudah menyusul di belakang ku. Dia itu kalau baik gini ke tampanannya bertambah daripada pas lagi julid.
"Yakin, sudah kamu pulang sana. Lagian kalau kamu anter aku pulang bisa kena marah aku nanti!"
Siang hari ini panasnya terik sekali, membuat sakit kepala semakin terasa. Tapi aku harus kuat dan sampai di rumah. Sakit kepala ini pasti karena aku belum makan. Dan nanti setelah makan dan minum obat pasti akan sembuh. Aku tidak boleh manja, sakit ini tidak ada apa apanya.
Dari tadi Keano masih saja mengikuti ku. Entah dia sengaja menjalankan motornya dengan pelan atau memang dia ingin memastikan aku pulang dengan selamat. Dasar orang aneh, atau sebenarnya dia peduli sama aku?

Komentar Buku (118)

  • avatar
    JoniWar

    bacaanya mantap

    7d

      0
  • avatar
    fikriansyah anggaraAngga

    cerita nya bagus

    21d

      0
  • avatar
    AmaliaYamizatul

    Bagus ceritanya kak

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru