logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Aku Ingin  Keluarga Yang Utuh

Aku Ingin Keluarga Yang Utuh

Mira Ocha


Bab 1 Mimpi

"Rinnnnna.... bangun sudah siang. Mau jadi apa kamu, anak gadis jam segini belum bangun. Lihat sudah jam berapa sekarang? Kamu tidak sekolah?" omel Mbah Kung, karena aku belum bangun. Padahal sekarang masih jam 05.00 lekas aku bangun sebelum beliau semakin marah.
"Iya Mbah," jawabku dan berlalu menuju kamar mandi untuk ambil wudhu dan lekas mengerjakan shalat subuh.
Rina itu panggilanku, setiap pagi teriakan Mbah kung selalu menjadi alarm bagiku. Ya, bagaimana tidak beliau selalu teriak teriak seakan aku bangun jam tujuh pagi. Saat ini aku duduk di bangku sekolah kelas 7 SMp. Selesai mengerjakan shalat subuh aku membantu Mbah Putri membersihkan rumah. Saat ini aku tinggal bersama kedua Mbah kung dan Mbah Putri. Walau terkadang mereka terlihat galak tapi aku tau, masih ada rasa sayang di hati mereka.
Ibuku dan Ayah telah lama berpisah sejak aku masih kecil. Kini ayahku sudah menikah lagi bahkan sudah memiliki anak dari istri barunya. Sedangkan ibu baru menikah dua bulan yang lalu. Semenjak perpisahan mereka, aku ikut Ibu. Tapi semenjak Ibu menikah lagi beliau ikut sama suami barunya.
Selesai membersihkan rumah aku segera mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Sambil bersiap aku mencoba mengingat ingat mimpi yang baru saja aku alami.
"Ayah...." ucapku saat melihat beliau yang baru saja lewat depan rumah. Segera aku mengejar mobil yang dibawa ayah. Aku sangat rindu entah sudah berapa lama beliau tidak pulang. Tanpa memberitahu orang rumah, aku menuju rumah nenek, aku yakin ayah pasti kerumah nenek. Aku juga ingin melihat adik baruku, katanya dia juga cewek. Ach.. semoga dia mau menerima aku jadi kakaknya.
Saat aku sampai di rumah Budhe, mobil tadi sudah terparkir di depan rumah Budhe. Tapi saat aku lihat kedalam mobil, ternyata mereka sudah pada turun. Ingin sekali akun ke rumah nenek tapi aku takut. Aku takut, ayah akan mengusirku. Aku takut bertemu ibu tiriku, tapi aku rindu. Aku putuskan untuk duduk di depan rumah budhe berharap ada orang yang lewat dan mengajakku masuk ke rumah nenek.
"Karina? Kamu ngapain di sini?" ucap Mbak Tia anak budhe.
"Emmmm... Mbak, ini mobil ayah?" Bukannya aku menjawab pertanyaan dia malah aku balik tanya. Dan dia hanya mengangguk.
"Kamu mau ketemu ayah kamu? Ayo aku antar, sekalian aku mau nganter ini," ucapnya seraya menunjuk barang yang dia bawa.
Aku dan Mbak Tia berjalan bersama menuju rumah nenek. Tapi saat dia sudah masuk dan aku masih berada di ambang pintu, ya aku masih ragu dan takut. Tapi sayang saat aku melihat ayah tersenyum dan memanggil namaku, mimpi itu harus berakhir.
Pluk...
Sebuah tangan menepuk bahuku, membuyarkan lamunan tentang mimpi yang baru saja aku ingat kembali.
"Pagi pagi sudah melamun, ayo sarapan dulu sebelum berangkat. Mbah mau ke sawah, nanti uang sakunya di tempat biasa," ucap Mbah Putri sambil mengulurkan tangan untuk berpamitan.
"Iya Mbah," ku sambut tangan beliau dan ku cium dengan takzim.
Setelah keberangkatan beliau, lekas aku makan dan berangkat. Aku tersenyum miris, ketika teman sebayaku di antar ayahnya. Sedang aku harus naik sepeda sendiri, untuk berhemat.
"Hai Sa... yuk berangkat bareng!" sapa seseorang yang tiba-tiba di sampingku.
"Hai... Tumben naik sepeda?" Dia Rara teman sebangku denganku.
"Hmm... soalnya ayah lagi tidak bisa nganter, banyak kerjaan. Eh, kamu kenapa nggak tinggal sama ibumu? Kita kan bisa berangkat bersama?"
"Lha ini kita juga bisa berangkat bersama kan? Hehehe..." Tidak mungkin aku bilang ke dia kalau aku tidak boleh ikut ibu.
Setelah sampai dan memarkirkan sepeda aku dan Rara berjalan menuju kelas. Kecerian, ramah dan selalu tersenyum itu yang selalu mereka lihat dariku. Bagiku luka dan kesedihan yang aku alami tidak boleh ada yang tau.
Selama pelajaran aku mengikuti dengan seksama, dalam bidang akademik aku selalu mendapat nilai yang baik. Aku ingin mendapatkan beasiswa agar tidak menyusahkan ibu, bapak, ataupun simbah.
"Selamat siang anak-anak..." sapa Bu Yuni guru Bahasa Indonesia sekaligus Wali Kelas untuk kelasku.
"Siang Bu..." jawab kami serempak.
"Sebelum ibu memulai pelajaran, Ibu mau menyampaikan sesuatu. Besok kan hari ayah, nah sekolah kita akan mengadakan lomba yang temanya tentang kerja sama dengan ayah. Besok bilang ke ayah kalian untuk datang dan menemani kalian mengikuti lomba,"
"Bu, mau tanya?"
"Kalau tidak punya ayah berarti tidak bisa ikut ya?"
"Eh... memang siapa yang tidak punya ayah?" tanya Bu Yuni yang tidak tau, karena beliau adalah guru pindahan.
"Ada Bu... Karina tidak mempunyai Ayah..."
"Hahahah huuuuu...."
"Husssst... jangan bilang seperti itu," ucap beliau menenangkan semua siswa yang gaduh.
Embun bening sudah terkumpul di pelupuk mata, mereka selalu saja menghina diriku seperti itu seakan aku memang tidak punya ayah.
"Karina? Apa benar yang mereka ucapkan?" tanya Bu Yuni menghampiriku.
"Tidak benar Bu, aku punya Ayah. Tapi beliau ada di jauh," jawabku sambil menahan sesak di dalam dada.
"Kemana? Merantau? Yah sayang sekali kalau kamu tidak bisa ikut," ucap beliau sedih karena kemungkinan aku tidak bisa hidup.
"Rina bisa ikut kok Bu, dia kan sudah punya ayah baru, kamu bisa mengajak Om Yogi kan Rin?" sahut Rara dengan tersenyum.
"Siapa itu Rin?" tanya Bu Yuni lagi.
"Beliau ayah sambung saya Bu, jika boleh insyaallah saya akan ikut dengan beliau," ucapku mantap padahal aku tidak tau, apa Ayah Yogi mau atau tidak. Selama ini memang dia terlihat baik, tapi kadang suka marah-marah tidak jelas. Semoga saja beliau mau.
Tet... tet... tet....
Bunyi bel panjang telah berbunyi, kini waktunya bersiap untuk pulang. Setelah mengambil sepeda bareng Rara, aku pulang sendiri sedang Rara dia masih ada keperluan sehingga kami berpisah di tengah jalan.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumah. Rasa lelah, dan lapar kini yang aku rasa. Apalagi cuaca sangat terik seperti ini, setelah mengucapkan salam lekas aku menaruh tas, dan mengganti baju.
"Sudah pulang Rin?" tanya Mbah Putri saat aku mau mengambil air wudhu.
"Iya Mbah, baru saja! Tadi dari mana Mbah? Kok rumah sepi pas aku pulang?"
"Tadi dari warung beli kopi buat Mbah kung mu. Selesai shalat lekas makan," perintah beliau dan ku jawab hanya dengan anggukan.
Selesai shalat dan makan, kini aku memikirkan cara untuk menyampaikan dan mengajak Ayah Yogi untuk mengikuti lomba besok. TV yang aku nyalakan, sama sekali tidak aku tonton. Pikiran ku kini entah kemana, sampai di panggil Mbah putri aku tidak dengar.
Pluk...
"Kamu ini kenapa nduk? Dari tadi pagi kok melamun terus? Lagi ada masalah?" Tepukan simbah menyadarkan lamunanku.
"Eh, nggak kok Mbah... Mbah, nanti ibu ke sini tidak?"
"Kenapa?"
"Nggak papa, aku ingin meminta bantuan Ayah Yogi untuk datang ke sekolah besok. Kira-kira beliau mau tidak ya Mbah?"

Komentar Buku (118)

  • avatar
    JoniWar

    bacaanya mantap

    7d

      0
  • avatar
    fikriansyah anggaraAngga

    cerita nya bagus

    21d

      0
  • avatar
    AmaliaYamizatul

    Bagus ceritanya kak

    23d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru