logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2

  Aarav pulang ke rumah. Sesampainya di sana, dia bergegas pergi menemui ayahnya karena tidak sabar menahan rasa rindunya setelah lama tidak bertemu dengan orang tua. Ingin menghabiskan waktu bersama sang ayah meski hanya sebentar. Namun saat dia hendak membuka pintu, samar-samar dia mendengar suara aneh dari balik pintu.
Karena penasaran, Aarav pun segera membuka pintu kamar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Dan ....
Deg
Mata Aarav melotot terkejut tak percaya melihat apa yang ada di depannya saat ini. Tangisannya tumpah membasahi pipinya. Bagai ditusuk seribu duri, hati Aarav kini menjadi hancur melihat ayah yang dia sayangi bersama seorang wanita selain ibunya dalam satu ranjang.
"Tidak ... Aku pasti lagi halu," ucap Aarav sambil menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa itu salah.
Melihat anaknya yang tiba-tiba datang ke kamar, Angga kaget bersamaan dengan wanita yang ada di sampingnya. segera ia  memakai pakaiannya dan berjalan menghampiri Aarav.
"Aarav! Apa kau tidak punya etika? Kau tahu bukan? Kalau dari dulu Papa selalu mengajarkanmu sopan santun. Tapi apa yang kau lakukan saat ini? Masuk ruangan tanpa izin, apa itu baik!?'' tegur Angga.
Aarav hanya diam. Dia menunduk sembari meneteskan air matanya.
"Papa ... Harusnya aku yang bertanya pada Papa, apa yang Papa lakukan? Aarav minta maaf Aarav salah. Tapi perbuatan Papa benar-benar buruk. Papa jahat!'' ucapnya kemudian berbalik pergi meninggalkan kamar Angga dengan berlari ke kamarnya. Sedangkan Angga hanya diam menatap kepergian sang anak.
***
Di kamar, Aarav merebahkan tubuhnya di kasur dan menangis sejadi-jadinya. Kadang karena sering menangis, matanya menjadi memerah dan sedikit demam.
Ana yang melihat kondisi Aarav hanya bisa berdoa dan berusaha merawat Aarav.
"Aarav, ayo tidur. Ini sudah malam," tegur Ana sambil berjalan menghampiri Aarav.
Aarav segera berbaring di tempat tidur. Dia menatap Ana dengan tersenyum kecil. 
"Bibi, aku boleh gak curhat? Tadi aku melihat Papa sama seorang wanita, siapa dia Bi? Dan kenapa mereka ada di sana?" tanya Aarav dengan mata yang berkaca-kaca.
Ana mengerutkan keningnya. Dia berusaha memahami pertanyaan Aarav.
"Bersama wanita lain? Dalam sekamar?! Jadi ... Apa itu berarti ..." gumam Ana. Dia terkejut mengetahui pertengkaran majikannya itu. Terlebih saat tau bahwa ayah dari anak yang dia asuh sekarang memiliki hubungan gelap.
Tiba-tiba di saat merenung, Aarav mengganggunya dengan melambaikan tangan dan menyadarkan Ana dari lamunannya.
Ana menatap Aarav dan tersenyum kecil.
"Kata siapa itu? Papa gak mungkin seperti itu. Kamu pasti mimpi buruk 'kan?" kata Ana sambil mengusap rambut Aarav.
Aarav menggeleng.
"Tidak, Bi. Aku gak tidur apalagi mimpi. Aku benar-benar melihat mereka," bantah Aarav.
Ana merenung. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Tidak percaya dengan ucapan Aarav barusan.
Beberapa detik kemudian, Aarav yang tadinya tiduran di ranjang, kini berada dalam pelukan Ana. Dia memeluk bibinya itu dengan erat sambil menangis sedih.
Ana mengusap rambut Aarav dan mengelus bahunya, berusaha menenangkannya.
***
Sejak melihat perbuatan ayahnya yang membuat hatinya hancur, dan kepergian sang ibu yang juga membuat Aarav menjadi stres. Dia sekarang trauma akan seorang wanita.
Tidak pernah sekalipun, Aarav peduli pada wanita. Dia bahkan tidak pernah mau menatap wanita-wanita yang ada di kelasnya sekalipun dan bersikap acuh tak acuh. Jangankan wanita di kelasnya atau sekolah, dan wanita luar. Sosok wanita yang dulunya sangat dia rindukan, kini juga menjadi salah satu wanita yang dia benci. Berpikir bahwa semua wanita, semua orang sama saja. Sama-sama buruk.
Selain itu, hubungannya dengan ayah juga mulai renggang. Tidak membaik, justru semakin memburuk. Mereka tidak pernah peduli satu sama lain, terutama Angga yang juga kerap meninggalkan sang anak sendiri di rumah dan keluyuran entah kemana. Membuat Aarav semakin menjadi frustasi.
Baginya sekarang dunia sudah kiamat. Tidak ada perbedaan antara siang dan malam, semua sama. Sama-sama merasakan kesunyian meski di saat berbeda.
Tapi, walaupun begitu, di dunia ini juga ada cinta. Kasih sayang seseorang yang membuatnya tetap semangat menjalani hidup. Sosok wanita yang juga seperti ibunya dan tulus menyayangi dia begitu pula sebaliknya.
Wanita itu tak lain adalah Ana. Bibi yang tadinya hanyalah pengasuh, kini sudah seperti ibu bagi Aarav. Tak tahu kapan ini terjadi, tapi Aarav sudah mulai menyayangi Ana dan bahkan menganggap wanita itu adalah ibunya.
***
18 tahun  kemudian ....
Seorang pemuda tampan sedang berada di sebuah klub malam dengan teman-temannya sambil meminum alkohol. Selain itu di sini juga ada banyak sekali pasangan yang sedang memadu kasih. Suara musik yang keras dan melihat wanita berpakaian tidak sopan membuat pemuda itu menjadi tidak nyaman. Dia memejamkan matanya, tidak sengaja melihat bayangan masalalu dan merasa sedih. Air matanya kembali turun.
Karena sedih, pemuda itupun mengambil sebuah minuman keras dan meminumnya sehingga mabuk berat.
Nathan,  yang melihat  temannya seperti itu berusaha menyadarkannya.
"Apa yang kau lakukan? Ayo berpesta," tegurnya. Pemuda itu justru tertawa kecil.
"Gak lah. Kamu aja. Aku capek, mau pulang. Dah!" pamit nya kemudian beranjak dan pergi meninggalkan klub.
----
Aarav berjalan sempoyongan. Dia tidak bisa mengontrol tubuhnya sendiri akibat kehilangan kesadaran setelah meminum banyak alkohol.
Di tengah jalan, Aarav terkejut melihat sebuah mobil datang melaju cepat ke arahnya. Sebisa mungkin, dia segera berlari menghindari mobil tersebut, tapi tidak bisa. Mobil itu justru berhenti saat Aarav hendak melarikan diri.
Sesaat Aarav terdiam. Dia melihat plat mobil yang tak asing di depannya ini.
_Ceklek_
Seorang pria turun dari mobil. Dia membuka kaca mata hitam yang dipakai dan meletakkannya di saku, kemudian berjalan menghampiri Aarav.
Aarav mengedipkan matanya. Dia berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari mabuknya itu sembari melihat pria yang sekarang ada di dekatnya.
Sebelum kesadaran Aarav terkumpul. Tiba-tiba saja pria itu menjewer telinga Aarav sehingga membuatnya kesakitan.
"Auch, apa yang kau lakukan?! Sakit tau," katanya marah. Dia menatap pria yang ada di hadapannya dengan kesal.
"Sudah. Papa muak lihat kamu seperti ini, ayo ikut Papa pulang," titah Angga sambil mencekeram tangan Aarav dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Sedangkan Aarav hanya diam, dia menjadi gugup dan gelisah takut ayahnya akan membentaknya karena perbuatan yang dia lakukan ini.
Setibanya di rumah, Angga memegang tangan Aarav dan membantunya masuk ke rumah meski dengan cara yang sedikit kasar. Dia membawa putranya itu ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur.
Di tatapnya dengan sendu wajah sang anak. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sedih melihat kondisi anaknya tersebut, ingin dia berkata tentang apa yang terjadi, namun tidak sanggup. Sekarang dia hanya bisa menerima kenyataan pahit dan tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
Di saat sedang merenung, tiba-tiba Tobi, salah satu karyawan Angga datang menghampirinya dan menepuk bahunya sambil menatap Aarav yang sedang tertidur.
Angga tersendiri kecil. Dia menghapus air matanya dan berbalik melihat Tobi.
"Pak ... Bapak baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Tobi cemas.
"Gak ada masalah apa-apa. Saya baik kok, tenang saja," jawab Angga berbohong.
"Pak ... Kalau saya boleh tahu, bapak kenapa ya seperti ini? Suka nangis sendiri? Dan akhir-akhir ini anda juga terlihat sedih. Ada masalah apa?"
Angga tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.
"Sudahlah. Saya bilang tidak ada masalah apapun."
Tobi menunduk.
"Sekarang, mending kau pergi saja! Aku sedang ingin sendiri," pinta Angga.
Tobi mengangguk pelan. Dia pergi berlalu meninggalkan Angga yang sedang merenung sendirian di kamar Aarav.
***
Keesokan paginya, Aarav terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit.
"Aduh,'' rintihnya sambil memegangi kepalanya. Dia berusaha untuk bangkit dan mengingat apa yang terjadi tadi malam, namun tidak bisa.
Aarav menoleh. Dia melihat jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul 06.40 WIB. Dia tahu bahwa ia akan terlambat bergegas beranjak dari ranjangnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah itu, pergi ke luar rumah.
Saat Aarav hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba Angga datang dan mencegahnya dengan berkata, "Tunggu. Kau mau ke mana? Ayo sarapan."
Aarav menggeleng pelan.
''Tidak, Pa. Aarav lagi buru-buru," tolaknya. Kemudian berbalik pergi meninggalkan Angga dengan berlari menuju ke depan dan segera berangkat ke sekolah menggunakan motornya.
***
Malam hari, Aarav sedang duduk makan malam bersama ayahnya. Mereka terlihat acuh tak acuh dan saling mendiamkan. Tidak seperti keluarga lainnya yang menghabiskan waktu makan bersama sambil bersenda gurau dan bercerita. Angga dan dan sang anak ini justru bersikap dingin sehingga membuat suasana begitu suram dan gelap.
Hanya bunyi dentingan sendok dan suara cicak yang menempel di dinding membuat keheningan ini menjadi sedikit tenang.
Aarav mengembuskan napasnya berat. Dia memakan nasinya sambil menatap Angga tidak senang.
Angga yang merasa tidak nyaman karena lama ditatap oleh sang anak pun menegurnya, "Ada apa Aarav? Kenapa kau melihat Papa seperti ini?''
Spontan Aarav menggelengkan kepalanya.
"Gak ... gak ada apa-apa kok. Lagian kalau ada, apa Papa peduli?" tanya Aarav dengan nada dingin. Dia menundukkan kepalanya dan menatap lantai.
Angga menggeleng. Dia kesal dengan sikap Aarav apalagi ucapannya tadi.
_Plak_
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aarav. Dia kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Terlebih dia juga merasa sedih melihat Angga yang sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan marah bercampur kecewa.
"Papa bilang, kalau Aarav ada masalah. Aku bisa curhat ke Papa, tapi saat ini Papa telah memukulku. Tidak hanya itu, dulu Papa juga tidak peduli padaku, kenapa sekarang berubah? Apa Papa sudah ingat kalau Papa itu punya anak?"
Mendengar ucapan Aarav. Angga kembali menamparnya. Sedangkan Aarav hanya diam memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan sang ayah tadi.
"Dengar Aarav. Kau salah paham Papa tidak seperti---"
"Aku memang salah. Aku bahkan tidak mengenal Papa sama sekali. Papa hanyalah status, tapi anda tidak pernah bersikap layaknya seorang ayah. Aarav benci Papa!" ucap Aarav kemudian berlari meninggalkan ruangan.
Melihat kepergian Aarav. Angga hanya diam. Dia merasa kecewa dan sakit hati karena ucapan anaknya barusan.

Komentar Buku (34)

  • avatar
    Nia Fitriyani

    semakin penasaran untuk membacanya

    12d

      0
  • avatar
    WisnonoAgus

    cerita yang seru

    16d

      0
  • avatar
    RusmiyatiFransisca

    bagus

    04/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru