logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Bertemu Mantan Calon Suami

Mas Galih pergi dengan meninggalkan uang di dalam amplop. Kuhitung uangnya ada tiga juta.
Kuakui, sebenarnya Mas Galih suami yang baik. Sikapnya kepadaku tidak berubah sejak pertama aku mengenalnya di SD. Mas Galih tidak pernah berlaku kasar kepadaku.
Mengapa Mas Galih mau menikahiku? Jujur aku sendiri juga tidak begitu percaya dengan pengakuan mas Galih ketika itu.
Dia mengaku bosan dan tidak tertarik dengan perempuan cantik yang memakai atribut kepalsuan pada tubuh mereka.
Saat itu aku tersipu dan tersanjung. Mas Galih memilihku karena katanya aku manis jadi tidak membosankan. Tidak begitu cantik, tapi juga tidak jelek-jelek amat.
"Apa nanti Mas Galih, nggak malu?” selidikku
“Kenapa harus malu?” jawabnya singkat sambil memegang tanganku erat.
“Aku ‘kan nggak pinter dandan, Mas.”
“Ya, nanti kalo belajar lama-lama bisa sendiri”
Aku berusaha memperbaiki posisi dudukku. Pura-pura merapikan dokumen file yang tidak rapi. Mas Galih masih berdiri mengamatiku.
“Gimana, Ret?” tanya Mas Galih.
“Terserah Mas, aja.” jawabku.
“Kok terserah, kamu mau nggak?”
“Iya ..., mau.”
“Kalo mau, besok hari Sabtu kujemput jam tujuh ya?”
“Mau kemana mas?”
“Ya ke rumahku, Kamu mau kukenalin sama Ibu.”
“Kok secepat itu sih, Mas? Aku belum siap mental.”
“Emang kamu mau uji nyali?”
Aku tersenyum. Mas Galih juga tersenyum dikulum malu-malu. Entah mengapa aku begitu saja menerima ajakannya menikah. Mungkin karena kami sudah semakin akrab berinteraksi selama setahun di kantor.
Aku dengan mas Galih seakan telah membangun hubungan batin yang erat. Kayak kakak adik saja komunikasinya. Kadang kalau tidak ada orang lain, Mas Galih suka melempar candaan yang bisa kuimbangi.
Kuakui, sejak dulu Mas Galih memang siswa idola dan teladan. Di samping pintar dan agamis, dia juga tidak sombong meskipun berasal dari keluarga kaya.
Aku adalah adik kelas Mas Galih satu tingkat. Selepas SD, Mas Galih pindah ke Jakarta.
Ah, mengapa aku jadi teringat masa lalu ya?
Segera kuambil hape. Kucari aplikasi ojol. Aku memesan mobil online. Sepuluh menit kemudian ada notifikasi mobil sudah OTW menuju rumah.
Aku bersiap menunggu di depan teras. Tak berapa lama, mobil itu datang. Aku bergegas mendekati mobil.
“Bu Retno ya?” Sopir itu bertanya sopan setetelah menurunkan kaca mobilnya.
“Iya, Mas Sofyan?” Aku bertanya ingin memastikan nama driver sesuai dengan aplikasi.
“Silakan masuk. Maaf belakang agak penuh. Soalnya pas mau nganter pesanan, aplikasi lupa belum saya matikan.”
“Nggak papa, Mas. Kursi tengah ‘kan masih kosong.”
Kulihat di belakang kursi belakang banyak bungkusan jilbab. Kuperkirakan ada beberapa kodi.
“Mau dikirim ke mana Mas?” selidikku.
“Keluar kota. Habis nganter bu Retno, rencana saya mau langsung ke jasa pengiriman paket.”
“Produksi sendiri, Mas?”
“Iya, kecil-kecilan usaha rumahan.”
“Wah itu dah bagus Mas.”
“Maaf, Bu. Kok nggak diantar suami?”
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan sopir ojol itu kurang pas menurutku. Atau mungkin karena melihat perumahan di lingkunganku memiliki garasi mobil di tiap rumah ya? Kenapa perasaanku jadi sensitif begini ya?
“Maaf, Bu. Kalo pertanyaan saya kurang sopan.” Sofyan merasa tidak enak hati dengan sikapku yang menunjukkan raut muka tdk senang.
“Eh, suami saya lagi ada acara bersamaan. Saya bisa periksa sendiri, kok.”
“Mas kenal suami saya?”
“Nggak juga, Bu. Hanya pernah beberapa kali, Bapak mesan mobil untuk jemput seseorang.”
“Yang dijemput perempuan atau laki-laki, Mas?”
“Perempuan, Bu. Biasanya antar jemput ke hotel atau ke kantor.”
“Udah lama ya, Mas?”
“Ya, beberapa minggu yang lalu kalo tidak salah Bu.”
Hatiku mulai gusar. Pikiranku mulai menebak-nebak dengan siapa gerangan Mas Galih berhubungan selama ini. Apakah perempuan itu Shelly atau ada perempuan yang lainnya? Mengapa selama ini aku tak tahu?
“Bu, maaf. Ini sudah sampai tujuan.”
Suara itu membuyarkan dari kegusaranku. Aku mengerluarkan uang lima puluh ribuan. Sopir itu mau mengembalikan uang lebihnya.
“Sudah, nggak usah dibalikin Mas. Buat Mas aja, makasih infonya.”
"Oh, gitu. Makasih banyak ya Bu. Semoga diberi kesehatan Bu." Kata Sofyan sambil merapatkan kedua telapak tangannya di bawah dagunya.
Aku turun dari mobil sambil sekali lagi mengamati wajah sopir mobil online.
Entah mengapa, aku berharap bisa ketemu driver ojol itu lagi. Barangkali nanti bisa nyantol lagi pas pesan di aplikasi dan aku bisa tanya-tanya informasi lagi tentang Mas Galih.
Sopir itu seperti salah tingkah. Aku juga salah, mengapa tidak tahu bahwa sopir itu berjengkot tipis dan selalu menundukkan pandangannya jika aku berbicara kepadanya.
Astagfirullah! Sebutku agak keras.
“Maaf, boleh minta nomor hapenya, Mas?” Aku heran mengapa kalimat itu yang keluar dari bibirku, padahal niat awalnya aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi.
“Maaf, Bu. Saya kasih kartu nama saja ya?”
“Iya, Mas. Nanti kalo sewaktu-waktu saya ada perlu, saya WA, ya?”
“Siap, Bu. Terima kasih Bu.”
Kubaca kartu nama yang diberikan sopir itu. Sofyan Hanan. Sebentar, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
Aku seakan tercekat. Bukankah itu calon yang dulu pernah mau dikenalkan ibu kepadaku?
Ya, dulu aku hendak dijodohkan oleh ibu dengan anak kenalannya sesama penjahit di pasar. Namun aku mengabaikannya karena Mas Galih memintaku jadi istrinya, meski ibunya bersikap dingin kepadaku.
Sementara ibuku, hanya mendoakan yang terbaik. Aku tahu ibu punya calon bernama Sofyan Hanan, yang hendak dikenalkan kepadaku. Aku dan Sofyan tak pernah sekali pun bertemu.
Mungkinkah sopir mobil online itu adalah calon pilihan ibu yang hendak dikenalkan kepadaku?”
Hatiku terasa sakit, bila memikirkan hal itu, entah apa sebabnya, aku tak tahu.
*****
Aku periksa ke puskesmas karena sengaja ingin tahu respon mas Galih. Dugaanku benar. Mas Galih telah berubah drastis semenjak acara lamaran itu telah terjadi.
Bahkan, kabar kehamilanku yang dari dulu dinantikannya hanya diabaikan. Seakan kehamilanku sudah tidak berarti lagi. Mas Galih telah dibutakan Selly, perempuan yang dulu selalu mengejar cintanya.
Akhirnya luluh juga Mas Galih oleh godaan Selly. Bukannya aku tak tahu, tapi aku segan dengan pembelaan ibu mertua kepada Selly. Ibu mertua sangat mendukung mereka menikah secepatnya.
Aku tahu sudah terlambat, aku kalah.
Namun, aku bisa bangkit melawan rencana mereka. Tiada henti aku hanya berdzikir dan berdoa. Semoga hasil pemeriksaan hari ini memberikan kabar baik.
Aku mendaftar pasien umum di puskesmas. Tak mengapa harus antri sampai satu jam lebih. Sambil menunggu antrian tiba, aku diminta menyerahkan urine dulu ke petugas.
Saat itu pun tiba, aku dipanggil masuk ke ruang pemeriksaan. Aku beruntung. Bidan yang memeriksaku adalah pegawai yang sebentar lagi mau pensiun. Pengalamannya berpuluh tahun menjadikanku percaya dengan apa yang menjadi sarannya.
****

Komentar Buku (43)

  • avatar
    Maria Ilen Weni

    bagus dan saya suka

    15/08

      0
  • avatar
    Resa

    oke tirmakase

    06/08

      0
  • avatar
    Merida

    ceritanya bagus TPI masih penasaran dgn galih dgn selly

    05/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru