logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Pelajaran dari Karina

Dua hari tak ada kabar dari Rina. Hanya kemarin dia meminta menyiapkan semua perlengkapan Raffi, karena Raffi mau di pindahkan ke pesantren. Daripada di rumah main gawai terus, begitu alasannya. Terserah dia saja kalau masalah itu, bukankah itu lebih baik. Kewajibanku memberi jajan dan menjaga Raffi jadi berkurang.
Sorenya seorang laki-laki menjemput semua barang-barang Raffi. Sempat kutanyakan alamat Karina. Tapi, dia tak mau menjawab.
Syukur juga sih, berharap Rina lupa dengan tabungannya. Kalau rumah jelek itu, biarkan saja dia ambil. Toh, itu memang miliknya. Aku sudah punya rumah yang kubeli untuk Marni. Rina minta cerai pun tak masalah, masih ada Marni.
"Apa Ibu bilang, dia cuma gertak sambel doang. Mana berani dia kesini mencelakai kita. Mungkin juga duitnya habis, ga mampu lagi bayar bodyguard, secara hanya TKW bukan pengusaha hahahaha." tawa ibu membahana.
Aku hanya menimpali sekadarnya karena lagi fokus chatting dengan Marni yang semlohai.
[Sayang, udah mandi belum?] pesanku.
[Udah, Sayang. Hari ini Mas pulang kan? aku kangen lho... Pasti bawa uang banyak dari istri TKW-mu itu, ya kan?] aku garuk-garuk kepala yang tak gatal.
Boro-boro bawa uang banyak, serupiah pun gak dapat.
[Pokoknya, sayang mandi yang wangi. Jangan lupa sikat gigi trus bantu Mas.]
[Iiissh Mamas mah, bantu apa tuuh?] Marni mulai ga beres begitu juga denganku. Setelah melihat Rina dan keinginanku padanya tak terpenuhi, pusing di kepala makin menjadi-jadi.
[Bantu Mas biar ga pusing lagi, hihihi.]
[Beres kalau soal itu, Sayang. Buruan pulang ya!]
Aku tersenyum lebar. Dan bangkit dari tempat duduk, saat pulang ke rumah istri muda.
"Heh! Dari tadi senyam senyum ga jelas!"sindir Ibu.
"Bima mau pulang dulu ah, Bu. Pusing disini!" tanpa menunggu jawaban dari Ibu aku tancap gas.
****
Setengah jam perjalanan sampai di rumah Marni. Wanita tinggi tapi sedikit berlemak itu tersenyum hangat.
"Udah makan belum, Sayang?" bisiknya manja.
"Belum, kamu masak apa?"jawabku sambil menyambut tubuh gempal Marni.
"Aku masak balado jengkol sama sayur asem kesukaan kamu. Makan yuk." ajakan Marni makin menambah rasa lapar. Di rumah Ibu tadi aku tak sempat sarapan.
"Sayang, dapat ga duitnya."Marni berbisik di telingaku. Aku yang sedang lahap makan jadi sedikit kehilangan nafsu.
"Tenang aja, sih. Nanti juga dapat." Jawabku asal.
Marni tersenyum senang. Nanti saja jujurnya, kalau sudah kenyang perut dan hasratku.
Selesai makan Marni menagih uangnya lagi. Aku yang masih menghabiskan sebatang rokok menghembuskan asapnya ke wajah istri mudaku itu. Dia terbatuk-batuk, membuatku tertawa geli.
"Mas belum dapat jatah, Adek udah minta uang duluan."ucapku yang membuat Marni mengerucutkan bibirnya.
Tanpa basa-basi Marni menarikku langsung ke kamar. Tak sabaran sekali dia.
Nikmatnya punya istri dua. (Nikmat lah, karena belum dapat karmanya aja,lu Bim! Hahaha)
Drrttt drrttt drrttt
Ponselku berbunyi dari tadi, lelah masih tersisa setelah pertarungan tadi.
"Mas, gawaimu dari tadi bunyi terus."seru Marni sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Apa sih, Dek. Mas masih ngantuk."sahutku dengan nada berat khas orang mengantuk.
"Itu dari tadi ada yang nelpon, coba lihat kali penting." Marni menyodorkan gawaiku. Dia yang sudah mandi mengeringkan rambutnya.
"Halo...!"
"Bimaa...! Buruan pulang, mobil Ibu mau dirampok. Buruan pulang...huhuhu." suara Ibu melengking diiringi tangis histeris.
"Ya ampun, siapa yang mau merampok, Bu?" aku yang tadi tiduran langsung bangun. Marni ikut menghampiri dan duduk disampingku.
"Istrimu! Dia mau membawa mobil dan motor Doni. Buruan pulang, Bim! Ibu ga mau mobil Ibu dibawa. Ibu ga mau! pokoknya ga mau...!" aku menjauhkan telepon dari telingaku, suara Ibu membuat telingaku berdenging sakit.
"Oke, oke Bima segera pulang. Bilang Karina, tunggu Bima sampai dulu, ya Bu!" aku menutup telepon, bergegas mandi dan berpakaian.
"Kenapa, Mas?" Aku mengabaikan pertanyaan Marni, dia menatapku heran.
"Mas, jawab dong. Ada apa?"tanyanya lagi.
"Nanti Dek, nanti mas cerita. Ini darurat Mas buru-buru!" usai memakai pakaian aku bergegas memacu kuda besiku kerumah Ibu. Kuda besi yang juga kubeli dari uang Rina.
*****
"Jangan bawa mobilku! jangan bawa! menantu kurang aj*r kamu. Tak tahu diri." dari kejauhan aku melihat Ibu memegang kaki Rina yang hendak melangkah keluar dari rumah. Ibu seperti bersimpuh dikaki wanita yang memakai dres merah dan rambut tergerai itu.
"Motor gue juga jangan dibawa! pencuri pencuri...!" Doni juga histeris tidur di jok motornya yang mau dibawa seorang laki-laki bertato dan berbadan sangar, bodyguard nya Rina.
Halaman begitu ramai, para tetangga berdatangan menonton keributan di rumah Ibu. Tapi, tak ada satupun yang mau membantu Ibuku, dasar tetangga ga ada akhlak.
"Hentikan! hentikan Rina! kamu benar-benar istri durhaka. Pembangkang dan kurang aj*r! Ibuku sampai bersimpuh dikakimu, kurang aj*r kamu!" hardikku.
Rina menatapku nyalang.
"Apa kamu bilang aku istri durhaka. Lalu apa namanya jika seorang suami yang menyuruh istrinya mencari uang, lalu dia enak-enakan menghabiskannya. APA NAMANYA!" aku tersentak, baru kali ini Rina berteriak lantang di depan mukaku.
Tanganku sudah terangkat hendak menampar wajahnya.
"Tampar Mas, tampar! kenapa berhenti, Ha! Kamu takut sama laki-laki yang kusewa untuk melindungiku. Dimana harga dirimu, Mas? Seharusnya kamu yang melindungiku. Kamu yang menjagaku, suami macam apa kamu, Mas!" pekiknya lagi.
Aku terdiam. Apa yang dikatakan Rina benar adanya.
"Bim, hajar saja wanita tak tahu malu ini, Bim. Lihat apa yang telah dia perbuat pada Ibu, Ibu yang telah melahirkan kamu. Kamu itu seorang suami, Bima. Wajar jika istri kamu harus taat sama kamu dan mengabdikan diri kepada suaminya." ucap Ibu lantang.
"Oh, ilmu dari mana itu, Bu? Pantas anakmu hidup bak parasit dalam hidupku. Ternyata Ibunya sendiri yang mengajarkan begitu." cibir Rina.
"Diam kamu, Rin! Kamu pikir apa yang telah kamu lakukan buat kami, kamu berhak memperlakukan kami seperti ini?" emosiku terpancing lagi. Rina benar-benar sukses membuatku marah.
"Oke, aku akan diam. Setelah uangku kamu kembalikan!" sahutnya cuek.
"Uang istri uang suami juga! Jangan mentang-mentang kamu yang mencari uang, jadi TKW saja belagu sekali!" hardik Ibu lagi.
"Cepat berikan atau barang-barang itu aku sita!" Rina mengabaikan ucapan Ibu.
Aku dilema, apa yang harus aku berikan. Uang hasil keringat Rina selama lima tahun diluar negeri sudah menjadi rumah, mobil dan motor. Sebagian aku pakai untuk berhura-hura dengan Marni.
"Dek, ini kan bisa kita bicarakan baik-baik. Malu dilihat tetangga." bisikku pelan.
"Halah, tak perlu malu. Dengan membiarkan aku keluar negeri dan kamu ongkang-ongkang kaki dirumah, harga diri dan rasa malumu sudah tergadaikan, Mas! Cepetan jangan buang-buang waktuku. Atau kamu mau mereka yang melakukan tugasnya!"
Rina menunjuk tiga laki-laki besar yang sedang mengusap-usap otot lengannya, pongah.
Astaga naga, Rina!
Kenapa bisa seperti ini sih!
"Bos, apa bocah ini dulu saya eksekusi?" Mata lelaki itu nyalang menatap Doni yang masih tidur di jok motornya. Doni meringkuk ketakutan.
"Baaaang...." rengeknya.
Bersambung.
Adoooh, Bima... Bima...
Kok ya ada manusia sekejam-ban kayak kamu, hihihi.

Komentar Buku (360)

  • avatar
    Anggi Sholeh Hidayat

    aku TKW juga🤭 masih merantau demi anak3 ku. blum ada kelanjutannya thor?

    15/08/2022

      1
  • avatar
    f******7@gmail.com

    nice story, real life

    13/08/2022

      0
  • avatar
    Totok Suhermanto

    ceritany seru merakyat dan mudah di fahami 👍👍👍👍

    11/08/2022

      4
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru