logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Dimensi 2 : Godaan Peri Centil

"Kau datang ke tempat itu, Artemis?"
"Ya, kami semua penasaran dengan tempat itu, nek!"
Sekilas pohon raksasa itu berkilauan dengan kunang-kunang terbang disekitarnya. Ahmed saja tertarik untuk mendekatinya apalagi aku. Namun aku masih sempat menahan diri untuk tidak kesana saat malam hari.
"Baiklah, lanjutkan ceritamu tadi!"
***
"Nyonya Rira, kami menemukan pohon raksasa yang aneh."
"Pohon itu nampak indah, Nyonya Rira! Siapa tahu disana ada seseorang yang bisa membantu kita keluar dari tempat ini."
Nyonya Rira nampak berpikir keras sebelum akhirnya kata "Iya" meluncur dari mulut beliau. Memang susah sekali membujuk Nyonya Rira untuk hal apa saja. Beliau selalu memiliki prinsip kuat untuk dipikirkan dulu apa untung dan ruginya.
"Nah, pohon yang itu!"
"Wah, benar katamu Artemis! Pohon itu memang...."
"STOP! Kita kesana bersama-sama. Tapi, aku perlu tahu tempat aneh macam apa ini?"
Arya cemberut usai tubuhnya dicegah untuk berlari duluan kesana. Kami berempat akhirnya berjalan bersama, sampai Nyonya Rira menyentuh lapisan tabir itu. Rasanya aneh, seperti tersentuh sarang laba-laba yang tipis. Begitu kata beliau, aku dan yang lainnya ikut mencobanya.
"Tidak terjadi apa-apa, berarti aman masuk ke aaaaaa!"
"ARYAAAAA!"
"Kenapa dia selalu menjadi penyebab kesialan kita ya, Artemis?"
"Nah, itu juga yang aku pikirkan! Kita terjebak disini karena batu terakhir yang dia ambil. Eh, batunya masih kau bawa kan Ahmed?"
Ahmed menunjukkan sekantong penuh berisi kumpulan batu kecil penyebab kami berada di dunia aneh ini. Nyonya Rira tiba-tiba mencolekku untuk menyusul Arya yang sepertinya terjatuh. Tapi, terjatuh kemana dia?
"Kita susul saja, Nyonya!"
"Ya, baiklah aku masuk duluan!
"Tuan Artemis! Ja...."
Terlambat, Nyonya! Aku sudah terlanjur ikut terjatuh juga kemari. Eh, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa bercahaya begini.
"Awaaaasss!"
"Uwaaaa!"
"Bruuuk!"
"Aaaaa!"
"Nyonya Rira!"
Aku dan Ahmed membantu atasanku yang terjatuh tadi agar bisa berdiri. Kulihat dari kejauhan, Arya sudah melambaikan tangannya. Kami segera berjalan menghampirinya. Nyonya Rira berjalan tertatih dibelakang sambil masih meringis menahan rasa sakitnya.
"Arya, tapi ada yang aneh dengan kita."
"Ya, aku juga baru menyadarinya. Kita semua menjadi kecil."
Kepala ini kudongakkan keatas. Memang benar, rasanya semua yang ada disini menjadi besar. Bahkan batu yang seharusnya bisa kami genggam, menjadi mudah untuk berdiri diatasnya.
"Ini seperti di negeri dongeng! Aku dulu sering mendengar cerita dongeng dari ibuku kalau ada satu tempat yang bisa membuat tubuh manusia menjadi kecil."
"Jangan senang dulu, Arya! Kita tidak tahu bahaya apa yang ada kalau tubuh ini menjadi kecil."
Arya ternyata penyuka dongeng dari ibunya. Sama seperti cerita Serenada. Tapi, saat sudah punya anak justru istriku itu tidak pandai mendongeng. Kulihat Arya bergelantungan dibatang tanaman, ia nampak ceria seperti layaknya anak kecil.
"Ssssrt! Sssrrr...!"
"Arya, ayo turunlah dulu!"
"Kenapa? Kau tidak mau ikutan bergelantungan disini, Ahmed? Ini sangat menyenangkan!"
"Hei, aku serius! Sedari tadi ada suara aneh yang...."
"Srrrrt!"
I-iya, Ahmed benar! Suara apa itu? Kalau tubuh manusia menjadi kecil, itu artinya bahaya mengintai kami semua. Nyonya Rira sudah dalam posisi siaga. Aku berdiri disamping beliau. Ahmed sibuk menurunkan Arya yang sedari tadi asik bergelantungan.
"Sssr...! Set!"
"I-i-ini saatnya untuk lariiii...!"
"Tuan Artemis, tunggu aku!"
Maaf, Nyonya! Bukannya aku tak ingin menghargai anda. Tapi menyelamatkan diri sendiri adalah sebuah prioritas. Ahmed dan Arya ternyata bisa berlari lebih cepat dariku. Apa mereka dulunya atlet lari?"
"Run for your life! Aaaaa!"
"Jangan kebanyakan bicara, Arya! Haaah...capeek!"
"Ayo, tetaplah berlari!"
"Makhluk apa itu? Astaga! Kenapa aku sekarang yang tertinggal dibelakang?"
Kupercepat lagi gerakan kaki ini saat berlari. Setidaknya kini posisiku bisa sama dengan Nyonya Rira. Arya menemukan sebuah sela bebatuan kecil, kami mencoba bersembunyi disana. Napas kami semua sudah tersengal. Jantungku juga terasa mau loncat saja keluar dari tulang rusuk ini.
"Aku...benci...kecoak!"
"Sial! Tidak adakah semprotan pestisida yang bisa mengusir kecoak raksasa itu?
"Aku juga tadi berpikir untuk menyemprot kecoak itu dengan semprotan pengusir serangga, Nyonya Rira."
"Jadi, namanya kecoak ya! Aku terlalu panik tadi."
Semua mata tertuju padaku sekarang. Hei, bukannya aku tak tahu hewan macam apa itu! Serenada selalu saja seperti orang gila saat serangga bernama kecoak terbang di kamar. Sampai aku membelikannya pengusir serangga elektrik yang memanfaatkan gelombang khusus.
"Itu serangga paling menyebalkan dan...."
"Iya, aku tahu Arya! Istriku selalu ketakutan saat melihatnya."
"Tidak ada waktu untuk mengobrol! Kita jalan dulu, sebelum kecoak tadi berhasil menemukan kita."
Nyonya Rira berjalan duluan, tapi aneh melihat cara jalan beliau kali ini. Kami bertiga mengikutinya dari belakang. Jaraknya cukup jauh hingga atasanku itu kesal.
"Disini ada tiga laki-laki tapi berjalan seperti siput semua!"
"Nyonya, kami masih takut kalau...."
"Hiyaaaa...! Semuanya lariiii!"
Bukannya ikut lari kami sempat bengong melihat cara berlari Ahmed. Tubuh kekar dan brewoknya tak sebanding dengan gaya larinya yang terlalu aneh bahkan seperti perempuan. Tapi akhirnya kami ikut berlari juga.
"Sssrt! Ssssr...!"
"Ibuuu! Aku belum mau matiii!"
"Ibumu tidak ada disini, Arya!"
"Aku tahu, Artemis! Akuuu tahuuu...!"
Nampak ada seseorang diujung sana. Nyonya Rira yang berhasil sampai duluan, lalu menepuk pundak orang itu. Eh, ini bukan orang!
"D-d-dia adalah peri!"
Kami semua ber "hah" ria sampai sukses membuat Arya menutup hidungnya. Sembarangan dia ini, aku sudah sikat gigi tadi pagi.
Sosok itu memiliki empat sayap tipis seperti capung di punggungnya. Telinganya runcing pada bagian ujungnya keatas. Wajahnya nampak merah merona dengan kulitnya yang putih. Dia sedang asik memetik bunga kecil sampai akhirnya menoleh ke arah kami.
"To-tolong kami!"
"Eh, kalian kenapa? Tunggu sebentar!"
Ternyata dia perempuan ya! Pakaiannya dari tanaman dan menatap kami satu per satu. Apa yang aneh dari kami semua?
"Kalian manusia? Ini sungguh diluar dugaan!"
"Nona, tidak ada waktu untuk itu! Kami ini dikejar oleh kecoak raksasa."
"Kecoak?"
"IYAAA!"
Rasanya sudah tidak tahan lagi dengan pertanyaan yang dia ajukan. Kami butuh sesuatu untuk menyelamatkan diri dari serangga menjijikkan itu. Ayolah, jangan buang waktu disini!
"Oh, itu mudah! Tapi ada syaratnya dulu."
"Cepat katakan apa syaratnya, nona?"
"Kita sedang terdesak, kenapa kau malah mempermainkan kami?"
"Ooh... tidak mau? Ya, sudah kalau begitu! Daah...!"
"Eeeh...tidak! Kami mau kok! Ayolah, katakan saja apa itu?"
Tatapan peri itu sedikitnya usil. Dia berkata bahwa harus ada yang menciumnya baru mau menolong. Astaga! Ini perkara yang tidak penting. Tapi siapa yang mau melakukannya?
"Kau saja, Artemis!"
"Ah, tidak mau aku lakukan itu! Kau saja Ahmed yang masih lajang!"
"Menurut keyakinanku, mencium perempuan bukan muhrimnya itu haram!"
"Astaga! Kau mau bawa agama kesini?"
"Hei, itu keyakinanku! Jangan paksa aku lakukan itu, Arya!"
"Sudahlah, lakukan saja! Ini demi nyawa kita semua."
Arya mulai kesal karena semua mata menatap ke arahnya. Akhirnya dia mau melakukan permintaan absurd peri itu. Dia mencium pipi peri tadi dengan cepat. Seketika wajah peri itu makin memerah.
"Aah...terima kasih! Akhirnya aku bisa mendapatkan ciuman dari manusia. Nah, berdirilah di belakangku!"
Kenapa tidak dari tadi sih? Kecoak itu sudah tinggal beberapa senti lagi. Peri itu langsung menghentikannya. Dia keluarkan bola benang rajut dan kecoak itu menerimanya. Seolah itu adalah kucing yang sedang bermain.
"Nah, ayo kita pergi!"
"Lalu kecoak itu?"
"Biarkan saja dia bermain dengan benang rajutku. Aku masih punya banyak kok."
"Kenapa tidak kau bunuh saja serangga menyebalkan itu, nona?"
Peri tadi menggeleng keras. Katanya membunuh itu sangat dilarang oleh peraturan kerajaan mereka. Menurut dia, kecoak tadi juga tidak salah. Bahkan mengira kami sedang mengajaknya bermain. Huh! Kalau itu kucing atau anjing kami masih mau. Masalahnya ini adalah KECOAK!
"Namaku Sera, siapa tadi laki-laki tampan yang menciumku? Hihihi...."
"Namaku Arya! Tapi kau bukan tipeku!"
Arya nampak bersungut, sementara aku dan Ahmed tertawa dibelakangnya. Nyonya Rira hanya berdehem saja. Tiba-tiba ditengah jalan kami dicegat oleh peri lainnya.
"Hei, enak ya! Bagaimana bisa dia mau menciummu, Sera?"
"Itu rahasia, Pixia! Hihihi...."
"Hm...manusia ya! Aku baru kali ini bertemu secara dekat."
Peri yang dipanggil Pixia itu mulai berjalan mengitari kami sambil melipat kedua tangannya diatas dada. Aku sampai terkejut saat ia mencoba menggandeng tanganku.
"Hei, apa yang kau lakukan!"
"Kalau Sera saja bisa mendapatkan ciuman manusia, aku bisa lebih dari itu. Ayo!"
"Artemis! Ah, gawat! Dia mau dibawa kemana?"
Tak tahu lagi suara mereka. Aku terpaksa mengikuti peri berwajah judes ini. Daripada tubuhku terseret karena dia memaksa untuk menggandengku.

Komentar Buku (143)

  • avatar
    ZalRizal

    500

    11d

      0
  • avatar
    Aj Mi

    mantap

    24d

      0
  • avatar
    SptrTristan

    bagus sekali

    22/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru