logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Perpisahan

Arvin.W.Pradipta Lagi diajarin trading sama Bos Adiswara.
See all comments
Hamam.Syaif Ajarin gue juga dong, kaya kok nggak ngajak-ngajak sih, Bos?
 Arvin.W.Pradipta Skuy, ntar Bos Danish buka kelas.
 Hamam.Syaif Oghheeeyy! Eh, Vin gue mau tanya.
 Arvin.W.Pradipta Japri aja
 Hamam.Syaif Tulang kering kalau kena air jadi tulang basah nggak namanya?
 Arvin.W.Pradipta GUE BILANG KAN JAPRI AJA, SETAN!
Lianka_Angelica Duh, duo ganteng kesayangan anak manajemen :*
AyuninaFrans Vin, trading itu haram.
Anasya_Putri Hai, ganteng. Kamu ke mana aja?
Herdian_AL Pasangan homo terbaik tahun ini :*
Celine.Ep.Enjelista Harta nasional kampus gue nih
 Hamam.Syaif Kalau skalanya kampus doang sih bukan harta nasional, cuma skala lokal.
 Celine.Ep.Enjelista Apasih lo? Kalau nggak good looking diem aja deh.
 Hamam.Syaif Gue cuma good looking di mata orang yang tepat. Dan lo bukan orangnya.
 Celine.Ep.Enjelista Percaya gue, emang harus pake mata batin liatnya.
 Jual_Peninggi_Pelangsing_PembesarPayudara Ayo mampir ke akun kami, Kak. Biar ter-upgrade good looking-nya.
 Celine.Ep.Enjelista Mon maap ya, Kak. Saya udah tinggi, langsing, dan punya dada yang besar! Sekian terima kasih.
 Hamam.Syaif Jangan percaya, Kak. No pic, hoax.
 Hamam.Syaif Oh, iya jangan semangat jualannya, Kak. Yang nggak mau beli banyak, kok. Yuk yuk putus asa aja
 Celine.Ep.Enjelista Gue japri lo, ya!
 Hamam.Syaif Oke, kirim pap! Gue perlu bukti.
 Arvin.W.Pradipta Gue blokir kalian berdua!
Juwi memutuskan untuk berhenti membaca. Ada ratusan komentar lain yang membanjiri postingan terbaru Arvin. Dulu, Juwi sering merasa sesak tiap membaca komentar para pemujanya yang rata-rata perempuan. Sekarang tidak lagi. Itu sama sekali tidak memengaruhinya. Juwi justru sangat terganggu dengan unggahan itu. Foto Danish dan Arvin yang tengah berduaan, berdekatan, berdempetan.
“Oke, aku mau. Tapi Kak Arvin harus pindah ke Bandung, aku nggak bisa berhubungan jarak jauh.” Terutama dengan kondisi Arvin yang seperti itu.
Juwi mengajukan syarat pada orangtuanya. Arvin harus pindah kalau mereka memang penjajakan serius. Apalagi setelah lamarannya diterima, Maharaja langsung menolak 3 kandidat pelamar yang sudah menunggu lebih dulu. Ini harus serius, harus berhasil. Juwi tiba-tiba saja jadi menggebu untuk menyembuhkan Arvin meski awalnya tidak setuju.
A Davin: Neng, jadi setahun nunggu di daftar antrean hasilnya begini, ya?
Sudah berhari-hari Juwi mengabaikan pesan itu. Davin, idolanya sejak kecil. Mereka bertemu di acara arisan keluarga, pesta kolega, undangan dan lain sebagainya. Juwi dan Davin tumbuh bersama meski tidak tinggal satu kota. Dan berkat pemuda itu pula, hasratnya menggebu untuk kuliah di jurusan farmasi agar mereka bisa bertemu lalu jadi pasangan serasi.
Anehnya, kehadiran, pengakuan sekaligus lamaran dari Arvin menggeser posisi Davin secepat itu dari prioritas Juwi. Sungguh, ini aneh sekali. Kenapa urusan hati dan perasaan harus membingungkan?
Juwi pikir orang yang sangat disukai dan dinanti-nanti olehnya adalah Davin. Lalu kenapa dalam sekejap hati dan isi kepalanya porak poranda setelah dilamar Arvin?
Juwi juga tidak mengerti pada dirinya sendiri.
A Davin: Neng, kapan kita bisa ketemu? Aa boleh ke tempat kamu?
Mereka harus bicara empat mata untuk menyelesaikan kekecewaan itu. Juwi harus menghadapinya sendiri kendati dia tidak pernah memberi harapan apa-apa pada Davin. Hanya... membatalkan acara penjajakan mereka seminggu sebelum dilangsungkan. Keluarga pemuda itu pasti cukup kecewa.
“Halo?” Juwi menjawab telepon hati-hati saat baru saja akan membalas pesan yang dikirim Davin. “Kak Arvin?”
“Hm... boleh nelepon nggak, Juwi?”
Kenapa baru menanyakan hal itu setelah Juwi menerima panggilannya?
“Boleh, Kak.”
“Maaf kalau ganggu.”
“Nggak papa.” Juwi menjawab pelan. “Lagi sama siapa, Kak?”
Bukan bertanya sedang apa, Juwi lebih menekankan bersama siapa Arvin saat ini usai mengunggah foto bersama Danish di sosial medianya tadi.
“Sendiri,” jawab Arvin tanpa rasa curiga. “Kamu lagi apa?”
“Bikin laporan praktikum.”
“Aku ganggu dong, ya?”
Apa Danish sudah pulang? Juwi bertanya-tanya sendiri lalu menggelengkan kepala. “Nggak, Kak. Santai aja.”
“Oh, oke kalau gitu. Em.. Juwi, sebenarnya... aku disuruh pindah ke Bandung. Gimana menurut kamu?”
Gimana apanya? Apa dia tidak tahu kalau Juwi yang menginginkan itu? “Maksudnya, Kak?”
“Aku takut kamu merasa terganggu.”
Lancar sekali bicaranya kalau di telepon, ya. Juwi menggerutu. “Aku senang kalau Kakak pindah, kita bisa lebih dekat dan Kak Arvin sembuh lebih cepat.”
“Serius?”
“He’em.” Juwi mengatakan kejujurannya. “Aku nggak tahan sama hubungan jarak jauh sebenarnya.”
“Ya udah kalau gitu.”
“Ya udah apa?”
“Ya udah, aku pindah.”
Tuhan... semudah itu. Arvin pasti serius ingin sembuh. Juwi merasa terberkati, akhirnya mereka satu visi dan misi.
Terakhir kali mereka membahas itu, Juwi bisa melihat keengganan di mata Arvin. Ya, pasti tidak nyaman membahas kelainannya yang jelas-jelas memalukan. Arvin dan harga dirinya pasti terluka, Juwi adalah orang asing pertama yang berani membahasnya.
Namun itu tidak bisa dibiarkan lebih lama. Diam-diam Juwi meningkatkan pengetahuannya dengan banyak membaca. Mereka perlu membahas lagi soal kelainan ini, apakah Arvin hanya penyuka sesama jenis atau sudah sampai di tahap memiliki pasangan yang bisa diajak main pedang-pedangan?
Dan untuk semua alasan itu, Juwi selalu terbayang wajah Danish. Demi apa pun dia adalah pasangan gay yang sempurna untuk Arvin. Tapi akhir-akhir ini Arvin pun punya ketertarikan padanya—perempuan, bisa jadi orientasinya berubah. Bukan lagi sebagai SSA—Same Sex Attraction—tapi berkembang menjadi biseks karena bisa menyukai laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahkan bisa melakukan seks dengan keduanya.
Itu mengerikan, sungguh. Kalau benar, kondisi Arvin bertambah parah, bukannya sembuh.
“Jadi... kamu harus pindah, jauh dari pemicunya dulu.” Gadis itu bergumam sambil mengetuk sekaligus mengutuk foto unggahan Arvin tadi dan menutup wajah Danish dengan telunjuknya. “Kamu harus suka sama aku aja, jangan sama dia juga,” ujarnya dengan tekad menggebu-gebu.
**
“Kamu apaan sih, Vin? Kamu pikir aku segampangan itu? Kamu anggap aku apa sebenarnya?! Aku udah nurutin ya cara main kamu, aku nggak sering-sering ganggu...” Anasya berhenti bicara dan napasnya memburu. “Kamu bilang... pacaran nggak harus ngobrol tiap waktu, kita pasti bisa dapat topik yang seru. Aku turutin, Vin! Semuanya demi kamu, dan seenaknya kamu ngajak putus setelah semua perjuangan aku?!”
Bodoh kalau ada yang menganggap Arvin tidak pernah pacaran. Anasya adalah mantan pacarnya yang kesembilan. Sejak SMA, Arvin selalu punya penggemar dan berkali-kali diajak berkencan oleh pihak perempuan. Dia tidak pernah menyatakan perasaan duluan, Juwi adalah yang pertama untuknya. Dan Anasya, dua bulan lalu mengajaknya pacaran. Sementara Arvin, tidak terlatih untuk menolak perempuan.
“Aku mau pindah, aku nggak bisa LDR-an.” Arvin membuat alasan.
“Bahkan sekarang pun meski fakultas kamu di depan hidung, kita kayak lagi LDR, Vin. Terus apa bedanya kalau kamu pindahan?”
“Apa gunanya kita pacaran?” Arvin membalik pertanyaan. Dia bahkan tidak tahu perasaannya pada Anasya seperti apa. “Kamu terlalu baik buat aku, Ca.”
Caca, adalah bagaimana orang tersayangnya memanggil gadis itu.
“Kimi tirlili biik biit iki, Ci.”
“Anasya—”
“Apa gue harus jadi lonte dan open BO dulu baru lo mau kita pacaran lagi, Vin?” tanya Anasya dengan raut wajah marah. “Gue harus sebrengsek apa biar di mata lo nggak terlalu baik, hah?”
Arvin mengusap wajahnya lelah. Bingung bagaimana memutuskan hubungan mereka dan tidak bertindak terlalu kejam. Dia kuwalahan. Salahnya menerima anak fakultas hukum yang kritis ini untuk berpacaran.
“Kasih gue alasan yang logis, Arvin. Gue nggak segampang itu diajak putus cuma karena lo mau pindahan. Punya cewek lagi lo, kan?”
“Iya.” Arvin menjawabnya dengan mimik wajah datar. “Gue bahkan udah dijodohkan, Ca. Kita benar-benar nggak ada harapan.”
“Dan lo pikir gue percaya?!” Anasya meneriakinya. Demi apa pun, ini kantin umum kampus mereka, banyak orang berlalu lalang di sana dan menonton keduanya. “Benci banget gue harus cinta sama lo, sialan! Banci nggak punya perasaan!”
“Heh! Sial—”
“Santuy, Bos. Lo nggak serius mau ngebales dia, kan?”
Danish maju setelah diam saja sejak tadi dan menemani sahabatnya itu bertemu sang pacar yang sempat dia lupakan selama 2 minggu untuk diajak putus. Mungkin Danish tidak berpengalaman, pacaran saja baru satu kali, tapi dia tahu jika mengajak putus seorang gadis tanpa alasan seperti ini jangan dilakukan di tempat umum. Itu akan memancing keributan, dan sekarang terbukti. Arvin basah kuyup disiram es jeruk oleh mantan pacarnya tadi.
“Dia ngatain gue banci, Nish.” Arvin tak terima. Demi apa pun, dia sensitif sekali dengan julukan itu akhir-akhir ini. “Kalau disiram sih, nggak papa. Gue bawa baju ganti.”
Pemuda itu memang penuh persiapan.
Arvin dan Danish kembali berjalan menuju gedung fakultas mereka. Keduanya saling diam, Arvin sudah mengatakan soal Juwi dan rencana kepindahannya. Dan demi apa pun, bukannya kepedean, dia bisa melihat raut sedih di wajah Danish meski pemuda itu mati-matian menyembunyikan.
“Dapet nyerok berapa lo kemaren?” tanya Danish membuka obrolan. “Gue ketiduran, loss dong sedikit.”
Arvin terkikik geli. “Gue dapat 30 dolar, mayan buat jajan boba,” ujarnya bangga.
“Gue beli 1 lot kemarin, dan harus service si Rovi hari ini. Gila ya, biaya hidup.” Danish curhat, Rovi adalah nama mobil SUV mewah kesayangannya. “Kalau gue tahu biaya hidup semahal ini, dari SD gue udah nabung, Vin.”
Keduanya tertawa dan masuk ke kelas mereka untuk menantikan mata kuliah berikutnya, Arvin juga sudah ganti baju begitu sampai tanpa malu-malu pada teman lainnya.
“Ini kan masih trading, saham for life, gue penasaran sama yang di BEI, Nish. Lo mulai main, nggak?”
“Gue tertarik.” Danish menunjukkan portofolionya yang masih baru. “Diajarin sama Mas Arya sekilas, tapi gue nggak minat trading di sini, gue invest jangka panjang aja. Beli nyicil tiap bulan, nggak usah banyak-banyak, 10 lot aja, sisa duit jajan. Belinya yang bluechip, jelas fundamentalnya, terus tinggalin. Longokin setahun sekali. Ini buat tabungan gue di masa depan. Biaya nikah, biaya sekolah anak, biaya—”
“Najis lo visioner juga.” Arvin menghentikan ocehan Danish tentang saham dan masa depannya yang pasti cerah. “Nanti gue belajar juga deh. Eh, mestinya kan kita-kita ini anak manajemen memperdalam financial planning, biar makin jago mengelola uang dan berinvestasi.”
“Dan harus paham risikonya juga.” Celine—teman sekelas mereka menyahuti. “Bokap gue broker, gengs. Kalian kalau mau belajar invest ke dia aja.”
“Syaratnya apa?” tanya Danish polos.
“Salah satu dari kalian harus jadi suami gue di masa depan.”
“Makasih, Cel.”Arvin segera membuang muka untuk penolakan terang-terangan.
“Sama-sama. Gue tunggu lamarannya.” Gadis itu mengedip nakal.
Arvin celingukan, mencari keberadaan Danish yang tiba-tiba memisahkan diri jauh darinya. Dia mengambil kursi di pojok kiri padahal biasanya mereka duduk di tengah, berduaan, seperti Upin dan Ipin kata teman-teman. Sejak Arvin cerita soal Juwi dan rencana pindahnya, Danish jelas menjaga jarak di kelas dan duduk berjauhan.
“Gue harus terbiasa tanpa lo, kan?”
Danish bilang begitu padanya saat Arvin bertanya. Dan... dia merasa bersalah.
“Gue nggak tahan LDR-an, Nish. Sori.” Padahal itu cuma alasan. “Lagian lo ke Bandung seminggu sekali, kan? Ngapelin cewek lo, mampir ke tempat gue lah.”
“Beuh, mana dikasih. Gue kalau udah bareng cewek gue ya quality time lah, nggak bisa ke mana-mana lagi.”
“Elah... sesekali doang. Jangan nurut-nurut banget lo ntar susah dibedain sama anjing.”
Danish menyengir kecil, tidak menanggapinya lagi.
Hidup Arvin selalu gagal dalam banyak hal.
Dia adalah korban bullying saat SMP. Arvin tidak punya teman kalau tidak memberi teman-temannya jajan, dia dipalak habis-habisan. Jika uang jajannya habis, dia ditinggalkan. Dulu Arvin bersekolah di SMP negeri milik pemerintah, ibunya bilang dia harus membaur dengan teman dari berbagai kalangan. Arvin saat SMP adalah bocah cupu berkacamata.
Dan dia bertekad untuk mengubah diri saat masuk SMA.
Di SMA Nyusu—Nusantara Satu—Danish adalah orang pertama yang Arvin ajak bicara. Mereka satu gugus saat masa MOPD. Danish ramah, dia nakal tapi menyenangkan, dia bisa membaur dengan siapa saja, bahkan dengan kakak kelas dan guru serta panitia. Sayang sekali, Arvin tertolak sebelum mendekat. Danish punya 2 orang teman dekat sejak dia kecil, dan masuk ke lingkaran pertemanannya hanya membuat Arvin terkucil.
Danish juga menunjukkan sikap serupa. Dia terlihat gampang didekati, tapi sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar dimiliki. Mereka hanya teman biasa, tidak lebih, ada Hamam, Herdian dan juga Rafid. Tapi geng ini hanya selingan, Danish akan kembali pada dua temannya lagi. Perasaan Arvin sebagai teman, bertepuk sebelah tangan.
“Gue sih nggak masalah Danish anggap kita-kita kayak selingan doang, dia baik suka traktir jajan. Jadi ya... gue tetap anggap kita ini teman.” Hamam bilang begitu di kelas 2, yang membuat Arvin mematahkan pemahamannya lalu memutuskan untuk berteman tanpa mengharap balasan.
Selain krisis pertemanan, Arvin juga tidak memiliki keluarga yang sempurna. Sekilas tampak utuh, tapi dalamnya sangat cacat tak berbentuk. Ayahnya menikah lagi diam-diam, dan meski sudah ketahuan, ibunya tidak kunjung mengajukan perceraian. Arvin tertekan. Dia tidak suka pada hubungan itu, dia benci melihat sang ibu diam-diam memendam luka karena dimadu.
Hanya Juwi satu-satunya. Gadis itu seperti matahari dalam hidup Arvin yang kelabu. Dia menyilaukan hingga untuk mendekatinya saja Arvin sangat perlu waktu. Dia harus membiasakan diri dengan kemilaunya itu. Juwi, adalah pelipur laranya, penyemangatnya. Arvin memelihara segenap bayang dan perasaannya diam-diam. Dia tidak serakah ingin mendapatkan Juwi secepat itu.
Arvin butuh waktu untuk memantaskan diri lebih dulu.
Sampai... kabar perjodohan Juwi mengubah semua itu dalam sekejap.
Dan Arvin ingin meraihnya lebih cepat.
“Gue kira... setelah Angga sama Aryan, gue bisa memiliki lo juga.” Danish buka suara saat Arvin mendekatinya. “Najis, gue ngomong apa barusan?”
Mereka berdua tertawa pelan. “Nggak usah lo ulang, disangka homo kita ntar.”
“Emang bener, kan?” Danish menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue kalau ada yang ngajak pacaran jawabnya gitu. Rebut gue dari Arvin kalau bisa, kalau nggak bisa ya maaf aja.”
“Si setan emang demen nyebarin rumor gay-nya sendiri,” umpat Arvin. “Sori ya, gue normal. Sebelum gue pindah gue umpanin lo ke mereka semua.”
Arvin dan Danish adalah duo most wanted bofriend material di fakultas mereka. Tidak aneh lagi jika keduanya banyak yang suka.
“Lo jimat LDR gue, Vin.” Danish berucap pelan. “Gue nggak tahu deh harus gimana ngadepin mereka setelah lo nggak ada.”
“Gue nggak mati ya, Nish. Nggak usah mellow gini deh.”
Danish mencebik dan pura-pura mengetik di laptopnya. Sebenarnya Arvin cukup senang karena akhirnya dia tahu bahwa pertemanan mereka ini sungguhan, dia tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Arvin sadar dia sekarang punya teman. Dulu Arvin hanya menempatkan diri sebagai sesuatu yang menempel karena Danish adalah murid populer. Namun semua mulai berubah sejak mereka kuliah.
Temannya itu jadi lebih pendiam dan tertutup, agak kurang ramah dan lebih pemarah. Mungkin karena umurnya bertambah, Danish jadi agak berubah.
“Sori, Nish, gue nggak bisa nemenin lo lebih lama.” Arvin berucap serius yang tidak ditanggapi oleh Danish. Dia harus mulai mengimbangi Juwi mulai saat ini. Arvin harus memilih antara teman dengan masa depan.
“Uh, Princess!”
Suara ketukan sepatu bangsawan serta jeritan berlebihan yang bersahutan dari teman-teman sekelas membuat Arvin mengalihkan fokus. Si pencuri perhatian muncul di depan kelas dengan penampilan yang sangat berbeda dari orang-orang biasa. Pantas saja barusan Lianka terpekik dan memanggilnya dengan sebutan Princess. Orang itu berdiri dengan gaya khas, terlihat sangat berkelas.
“Nish, lo ulang tahun hari ini?” Arvin terkaget-kaget karena menemukan perempuan agung itu membawa kue dan lilin dari food trolley yang dibawa seorang pelayan di belakangnya. “Eh, iya njir. Ini awal semester, ulang tahun Danish.” Pemuda itu bergumam sendiri dan terkikik sendiri.
“Have a happiest birthday, Nish.”
Danish berdiri tanpa bicara, senyumnya tersungging simpul saat cuitan berisik mengiringinya. Dia bergerak mendekat pada gadis itu untuk meniup lilin ulang tahun.
“Makasih, Dya.”
“Sama-sama.” Gadis itu meletakkan kuenya tepat di hadapan Arvin tapi bertingkah seolah-olah tidak melihat Arvin yang teronggok di sana. “Gue bawa makan siang buat kalian semua. Selamat makan, ya.”
Dan gadis itu pergi diiringi suara bising serta ucapan terima kasih bersahut-sahutan dari semua orang. Lalu tiga orang pelayan dengan seragam berlogo Nanny’s Papilon muncul sesuai perjanjian. Mereka membagikan makan siang gratis dalam rangka merayakan ulang tahun Danish.
“Princess, makasih, yaaa!”
“Sering-sering traktir kita!”
“Nish, ulang tahun lo jangan setahun sekali dong!”
Lalu kalimat-kalimat lainnya. Arvin masih terpana sambil melihat gadis itu keluar dari kelas mereka tanpa bicara apa-apa dan sigap mengejar Danish yang berlarian untuk menyusulnya. Dia terpekur mendapati 2 truk makanan dan 1 stand kopi milik Starbucks ada di depan gedung fakultas mereka.
“Danish!” pekik satu orang gadis lain dengan toa di tangannya. “Have a fabulous birthday, hm?”
Danish tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara.
“Ghue tahu ini norak tapi coba lo lihat di depan sana!” katanya sambil menunjuk ke arah depan—papan iklan besar di seberang gedung mereka. “Itu hadiah ulang tahun dari ghue,” ujar gadis itu dengan pedenya. Dia terdengar medok dan pengucapannya lucu di telinga.
Di sebelah Arvin, Danish tertawa terbahak-bahak hingga wajahnya merah seperti tomat ceri. Papan iklan LED raksasa di depan mereka memajang dengan wajah Danish beserta ucapan selamat ulang tahun yang besar sekali.
“Gila emang lo berdua,” kata pemuda itu dengan tawa geli menahan malu. “Thank you, Anya!”
“Oke!” Gadis bernama Anya itu meneriakinya dengan masih memakai toa. “Sebenarnya ghue taruhan sama Dya. Menurut lo, siapa pemenangnya? Hadiah ulang tahun dari siapa yang paling berkesan buat kalian?”
“Dya!”
“Anya!”
“Dua-duanya!”
Danish tertawa, dia bahagia, matanya berbinar setelah beberapa hari ini terlihat murung karena mendengar kabar kepindahan Arvin. “Nggak ada yang menang, dua-duanya nyebelin buat gue,” kata Danish sok sinis.
“Nish, kopinya ambil sendiri di sini.” Dya mengambil toa dari tangan Anya dan menunjuk stand kopi yang tidak ikut diantar sampai ke kelas.
“Kalian boleh ambil sepuasnya!” Anya berteriak tanpa toa yang disambut sorak bahagia semua orang di sana. Mereka mulai berlarian untuk mengantree ke stand yang tersedia.
“Ah, jadi ini si kembar yang suka lo ceritain.” Arvin akhirnya bertemu dengan anak-anak orang kaya itu. “Kapan gue dikenalin?”
“Nanti kalau mereka udah bisa melihat keberadaan lo sebagai manusia.” Danish tidak segan-segan membeberkan kebenarannya. “Gue speechless banget sih sekarang, gila.” Dia bergumam pelan dengan wajah senang dan malu tak keruan.
“Gue juga bakal speechless sih kalau diginiin.” Arvin dan Danish memandangi dua gadis itu pergi dengan mobil mereka masing-masing usai membuat kehebohan. “Lo beruntung,” imbuh Arvin.
Sebab Danish selalu baik dan royal pada teman-temannya, mungkin ini imbalan atas kebaikan yang sudah dia lakukan. Danish bertemu dengan orang yang lebih baik dan lebih royal dari dirinya sendiri. Arvin lega.
“Selain Hamam, ada si kembar juga, lo nggak akan kesepian meskipun gue udah nggak ada.”
“Lo mau mati, nyet?” balas Danish sinis. “Mereka orang Surabaya, bego. Mana bisa nemenin gue tiap hari kayak lo.”
“Nggak masalah. Yang penting gue tahu lo punya teman-teman baik meski nggak tinggal deketan. Lagian ya, nggak harus ketemu tiap hari juga sama temen deket lo, kan?”
Danish mencibir tapi kemudian menganggukkan kepala. “Semoga lo sukses di tempat lo yang baru. Pasti gue kehilangan sih, sial cengeng amat.”
Keduanya kompak bergidik. “Gatel-gatel gue dengernya, habis ini kita harus mandi.” Mereka tertawa dan Arvin menepuk bahu Danish dengan jantan. “Lo tenang aja, meski udah nggak sekelas, tapi kita harus sukses sama-sama. Bae-bae lo nggak ada gue.”
“Gue yang harusnya bilang gitu, pea. Jaga burung lo bae-bae di depan Juwi, jangan sampe tiba-tiba berdiri, lo kan doyannya sama laki.”
“Anjing!”
Kadang-kadang, bukan ide bagus membuka seluruh rahasianya pada orang yang dia percayai sekalipun. Arvin harus tahan banting meski sering diledek Danish setelah membongkar aibnya dengan Juwi.
Dan semuanya selesai di sini, Arvin akan menyusul Juwi, memulai hidup yang baru, belajar menjadi laki-laki yang baik untuk gadis itu.
“Kita putus nih ya, Vin? Hubungan kita cuma bisa sampai di sini,” kata Danish mengakhiri ikatan mereka bak pasangan homo sejati.

Komentar Buku (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru