logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Lamaran Dadakan

“Ibu, kenapa sih nama keluarga kita harus Wijaya? Kenapa nggak keren kayak Adiswara, Ranajaya, Maharaja? Wijaya itu mainstream.”
Anak itu pasti sudah gila. Datang-datang langsung mengeluhkan nama keluarga yang kuno dan krusial bagi mereka. Wan Fenty adalah keturunan raja, maka gelar Wan disematkan di depan namanya. Namun karena dia seorang perempuan, nama agung tersebut tidak bisa diturunkan untuk anak sematawayangnya. Maka dari itu Arvin mengadopsi nama besar keluarga ayahnya, Wijaya. Itu nama yang bagus, punya makna besar.
“Aku punya teman di kampus namanya Alvin Wijaya, aku Arvin Wijaya. Kami sering disangka anak kembar,” gerutunya lagi tak ada niat untuk berhenti dalam waktu dekat. “Bu—”
“Bising terus kau, ya!” Fenty mengomeli anaknya. “Diam dulu, ibu pusing, Vin!”
“Emangnya Ibu lagi ngapain?” tanya Arvin polos. Matanya lalu mulai melirik-lirik layar gawai sang ibu yang tengah menampilkan berbagai katalog tas kulit buaya keluaran Eropa. “Beuh, tibang lagi bingung mau beli tas warna cokelat apa cokelat tua aja suka emosi.”
“Ini krusial!” kata Fenty tak terima urusan pentingnya disepelekan. “Ibu mau ke acara penting, tau kau? Anaknya Teh Lia mau penjajakan di acara keluarga mereka nanti. Mungkin pakai villa kita yang di Lembang biar dekat dari tempat mereka. Baju ibu warna cokelat tua, jadi tasnya harus lebih mencolok, tapi ibu suka sama tas yang ini, cuma.... nanti nggak serasi. Duh, kayak mana ya bagusnya? Kau ada ide?”
“Beli aja dua-duanya,” jawab Arvin enteng.
“Iya, ibu beli dua kalau anaknya nanti udah kerja!” sindir Fenty tak senang. Memangnya Arvin pikir berapa harga satu tas incarannya itu? Seharga Toyota Avanza? Lebih!
“Di Lembang?” Arvin tertegun sejenak dan menimbang-nimbang. Apa itu artinya mereka akan ke Bandung lagi? Arvin bisa bertemu dengan Juwi? “Acara apa tadi, Bu?”
“Apa ya bahasa sederhananya? Orang itu bilang penjajakan, tapi kayaknya lebih mirip perjodohan. Entah tunangan, entahlah, nggak paham. Sakit otakku.”
Pemuda yang masih menerima informasi secara abu-abu itu langsung mengernyit. Siapa yang akan dijodohkan? Anaknya Teh Lia tadi katanya? Atalia? Anaknya Atalia?
“Juan apa kakaknya Juan, Bu?”
“Kau pikir aja sendiri,” kata Fenty judes. “Juan kencing aja belum lurus mau dijodohkan? Siapa yang sudi?”
Jadi kalau bukan Juan...
“Juwi?”
“Kau tahu anaknya Teh Lia cuma dua bijik itu.”
Arvin langsung terperangah dan berhenti bernapas detik itu juga. Duduknya yang tadi menyandar kini berubah menjadi tegak. Wajahnya merah, tenggorokannya sakit, dadanya sesak. Bagaimana ada istilah patah hati padahal belum pernah memiliki?
“Kenapa kau rupanya?” tanya Fenty curiga melihat reaksi Arvin saat ini. Dia seperti bangkai tikus mati. Kaku dan menahan ekspresi.
“Ada yang patah tapi bukan ranting.” Arvin memukul dadanya dua kali. “Ada yang remuk, Bu, di dalam sini.”
“Apa?”
“Hati...”
“Ka-kau—”
Fenty tidak meneruskan bicara karena putranya tiba-tiba melompat ke pangkuan lalu meraung-raung di sana. Arvin menangis keras, setelah susah payah mengontrol diri dan perasaan yang membuncah usai mendengar kabar yang dibawa oleh ibunya barusan. Pemuda berusia nyaris 20 itu menelungkupkan wajah, bersembunyi pada sang ibu untuk mengadu, yang tentu saja membuat Fenty sangat bingung.
“Kau kenapa?!” tanya wanita itu panik. Selain kebingungan dia juga emosi mendengar suara tangis Arvin yang seperti bayi menolak diadopsi. “Arvin!”
“Aku suka sama Juwi, Buuuuu.... huaaaaa.... kenapa dia dijodohkan sama orang lain.... patah hatiku....”
Arvin melolong, menangis sambil bicara seperti istri pertama yang dicerai mati suaminya. Apa dia bilang barusan? Suka? Suka pada siapa?
“Hei, Intan! Kau suka sama si Juwi itu selama ini rupanya?” Fenty segera membeberkan analisisnya. “Kenapa kau tak bilang? Aduh, kau terlambat lah sekarang!”
“Belum terlambat!” Arvin bangkit dari pangkuan ibunya dengan wajah basah dan berantakan. “Janur kuning belum melengkung, Bu!”
“Melengkung itu sebentar lagi.”
“Aku tunggu dia sampai bendera kuning melengkung kalau gitu!”
“Ohh.. memang minta dipijakkan batang lehernya anak sebijik ini!” Fenty jelas emosi melihat kelakuan anaknya.
Meski tidak tampak memihak, atau terang-terangan tidak memihak, tetap saja dalam hatinya dia merasa sedih melihat Arvin seperti ini. Anak itu termasuk dingin pada perempuan, hampir tidak pernah seumur hidupnya Arvin mengenalkan gadis ke rumah ini atau berpacaran. Namun sekarang, dia meraung-raung mendengar seorang gadis yang lama mereka kenal sebagai kerabat akan dipinang orang.
Sebagai seorang ibu, hatinya dua kali lebih nyeri melihat sang anak terluka.
“Aku suka sama Juwi, Bu...” Suara Arvin melemah, tapi air matanya tetap meleleh turun. Dia duduk di samping sang ibu yang meliriknya sekilas-sekilas saja, Fenty tetap mempertahankan ekspresi datarnya. “Aku udah lama suka sama Juwi...”
“Mana ibu tahu kalau kau tak bilang,” ucap Fenty jengkel. “Suka itu harusnya bilang, atau kau nampakkan lah sedikit kalau kau ada hati sama dia. Kasih kode minimal. Ini kau diaaaamm aja selama kalian saling kenal. Ibu kaget tahu kau suka sama dia sekarang.”
Sebenarnya tidak juga sih. Justru aneh kalau sebenarnya Arvin tidak suka pada Juwi. Putri sulung Atalia itu punya kecantikan yang tidak nyata. Fenty sejak dulu ingin bertanya atau memberi kode pada putranya tentang pesona Juwi, tapi Arvin dan sikapnya tetap stabil sejak awal. Dia terkesan cuek dan dingin saat berada di sekitar Juwi. Bahkan mereka tidak pernah bersapa satu sama lain. Ternyata itu hanya kedok untuk menutupi perasaannya sendiri. Mekanisme pertahanan diri.
“Terus aku harus gimana sekarang? Aku nggak ada pengalaman mau nikung orang.”
“Nikung apa maksudnya? Kau pikir kita main mobil-mobilan? Udahlah, kau nyerah aja. Bukan lawanmu calon suaminya Juwi itu.”
“Mana bisa gitu!” Arvin berteriak tak terima. “Aku yang suka duluan, kenapa orang lain yang jadi pendampingnya?”
“Karena dia gerak duluan!” Fenty tak kalah emosi. Kadang-kadang dia ingin membedah kepala anak sendiri kalau tidak lupa Arvin adalah anak satu-satunya yang susah payah mereka dapatkan. “Coba kau pikir dulu sebelum menggatal, ya! Kau lihat ada boneka di minimarket, kau punya duit, kau bisa beli saat itu juga, tapi kau cuma lihat-lihat dan lewat aja. Sekarang pas bonekanya dibeli orang, kau marah. Siapa yang salah?”
“Salah minimarketnya kenapa dia jual boneka!”
“Oh, memang harus ditampar anak ini biar sadar!”
Arvin berlarian saat ibunya bergerak secepat kilat dan menaikkan tangan seolah-olah akan menamparnya. Dia meniti anak tangga yang meliuk dan membawa langkahnya untuk sampai ke lantai tiga.
Rumah mereka yang megah didesain berlubang di tengah karena ibunya terinspirasi dari rumah-rumah dalam serial India. Dan sepertinya jika Arvin melompat dari lantai tiga lalu mendarat di lantai satu, dia bisa mati. Atau minimal cedera di kepala dan amnesia.
Biar saja. Biar dia lupa pada perasaannya. Biar Arvin melupakan bahwa Juwi akan jadi milik orang, bukan miliknya.
“Arvin!” teriak Wan Fenty dengan suara menggelegar. Anaknya di ujung tangga sana memanjat pegangan lalu berdiri di atas pagar. “Sedang apa kau rupanya di situ?!”
“Aku mau bunuh diri kalau nggak bisa memiliki Juwi!”
“Mas Arvin!”
“Mas, turun, Mas!”
Teriakan itu bersahutan datang dari ibunya, pelayan di rumah hingga tukang kebun yang bekerja di sana. Arvin tidak menggubris, tekadnya sudah bulat. Dia benci harus gagal dalam banyak hal. Biarkan ini jadi yang terakhir dan dia akan melupakan semuanya. Cukup. Arvin sudah tidak kuat. Juwi adalah satu-satunya yang dia pelihara dengan benar. Mungkin memang Arvin tidak ditakdirkan memiliki apa-apa.
“Turun kau!” pekik Fenty emosi. “Atau kutelepon polisi!”
“Telepon aja! Sebelum polisinya datang aku udah mati!”
“Kau memang bertingkah!”
“Ibu jangan ke sini!” pekik Arvin saat ibunya mulai mengangkat rok tinggi-tinggi untuk menaiki tangga dan menyusulnya. “Aku lompat kalau Ibu ke sini.”
“Ya Tuhan... kau kurang iman!”
Wanita yang melahirkan Arvin itu terduduk lemas di ujung tangga. Dadanya berdebar tak keruan, sesak, sakit. Napasnya mulai memberat. Ternyata dia sangat takut ditinggal pergi. Meski Arvin mungkin hanya menggertaknya, tapi rasa takutnya menjelma jadi ketakutan sungguhan.
“Ku ruqyah kau sampai dapat.” Dia masih merutuk kesal pada kelakuan anak bujangnya.
Namun Fenty tahu, bukan begini cara menghadapi Arvin. Dia sudah mengenal anak itu sejak bayi, Arvin tidak akan mempan diberi kekerasan, apalagi ancaman. Dia anak yang baik, perasaannya lembut, hatinya gampang dibujuk.
“Turun, Nak...” bujuk Fenty dengan suara melembut. “Jadi apa nanti kami kalau kau begini, Vin? Kau tak kasihan dengan ayah dan ibu?”
Arvin mencebik. Dia menyayangi keduanya, tentu saja. Tapi hidup Arvin sangat berat, dan Juwi salah satu sumber bahagianya. Namun sekarang, dia bisa tidak memilikinya lagi, bahkan tidak dalam imajinasi. Sejak awal, Arvin memang tidak ditakdirkan memiliki apa-apa. Tidak dengan keluarga, teman sungguhan apalagi pujaan hati.
“Oi, Intan... anakku sayang, Intan Payungku... Intan Baiduri... turunlah, kita bicara baik-baik dengan ayah kau nanti.”
“Ayah bisa bikin aku memiliki Juwi?”
“Kami usahakan nanti. Turunlah dulu, Vin...”
Arvin menggeleng, matanya nyalang menatap lantai dasar rumah yang cukup tinggi lalu meremang sendiri. Itu pasti akan sakit, benturannya bisa membuat Arvin langsung mati. Marmer di bawah sana tampak kokoh dan kuat. Mereka seolah memanggil-manggilnya untuk segera melompat.
“Arvin—”
“Ibu harus janji,” Arvin memulai negosiasi. “Kalau aku turun, berarti Juwi bisa aku miliki. Dengan cara apa pun.”
Tak ada cara lain, Wan Fenty mengulurkan sebelah tangannya dan mengangguk. “Dengan cara apa pun,” jawabnya setuju.
Mereka akan berusaha, demi anak tercinta. Menempuh jalan apa pun, bahkan dengan menemui dukun.
**
Satu set pakaian dari Louis Vuitton, sepatu, perhiasan—tidak termasuk cincin, kosmetik, dan kue-kue cantik adalah apa yang memenuhi bagasi mobil Wan Fenty saat ini. Sial sekali Jakarta Bandung harus ditempuh dengan perjalanan darat, dia harus rela berpegal-pegal di mobil selama berjam-jam sebelum tiba di Lembang.
Wan Fenty memikirkan berbagai cara, karena sejak menggagalkan aksi bunuh diri amatir anaknya kemarin Arvin tidak mau keluar kamar bahkan untuk sekadar makan. Dia mengurung diri, putus asa sampai menunggu Moeis—ayahnya, kembali dari perjalanan bisnis, dan lihatlah yang terjadi.
Sebagai seorang ibu yang panik dan terguncang, Fenty melakukan tindakan impulsif. Tekadnya bulat untuk menikung putri sulung Atalia sebelum acara penjajakan resmi keluarga itu dilangsungkan. Fenty membeli beberapa barang kegemaran Juwi—karena sering melihatnya, dan mengorbankan diri untuk tidak membeli tas Hermes incarannya kemarin demi membeli sepaket seserahan mewah.
Mereka harus menempuh jalan yang ekstrem untuk menggagalkan acara perjodohan yang akan berlangsung di depan mata. Langsung lamar saja, potong antrean, jangan setengah-setengah. Meski Fenty berdalih bahwa ini adalah cara yang paling normal.
“Tempuh cara yang paling normal,” Dia bergumam pelan agar sopir yang membawanya ke Lembang tidak dapat mencuri dengar. “Kalau ditolak, barulah dukun bertindak.”
Mereka akan mencari dukun paling hebat dan paling mahal sekalipun. Entah itu ajian jaran goyang, pelet Mak Erot, Cirik barandang, semua akan ditempuh demi mempersatukan Juwi dengan anaknya. Biarlah, egois saja, itu tidak apa-apa daripada harus kehilangan Arvin selamanya.
Lagi pula perempuan seperti Juwi memang pantas diperjuangkan habis-habisan.
Melamarnya secara tiba-tiba seperti sekarang terdengar lebih normal, atau yang paling normal ketimbang masuk ke rencana B—memakai pelet dukun, atau bahkan rencana C, menculik Juwi dan menyanderanya agar bersedia dijadikan istri. Ya, ini sudah yang paling normal. Masa bodoh dengan memotong antrean 3 kandidat yang sudah mendaftar duluan.
“Makcik!” pekik Atalia senang melihat sahabat dekatnya muncul di akhir minggu pertengahan bulan. Biasanya Fenty hanya datang ke Lembang sebulan sekali atau dua kali paling banyak. “Kami lagi ngaliwet, kebetulan Makcik datang, yuk kita langsung makan.”
Wan Fenty menarik napas dalam lalu membuangnya pelan. Dadanya berdebar-debar, tentu saja, dia akan melamar anak gadis orang untuk putranya sekarang. Dan untungnya lagi, keluarga Jiwan Maharaja serta dua anaknya sedang ada di sana, di teras rumah mereka yang luas seperti lapangan bola. Fenty turun sekaligus meminta sopirnya menurunkan seluruh barang bawaan.
“Wah, Makcik acaranya masih minggu depan.” Atalia kebingungan saat melihat logo dan merek kantong yang diturunkan. Apa semua ini hadiah untuk putrinya? Kenapa agak berlebihan?
Juwi yang saat itu sedang menikmati makan siang bersama adiknya pun ikut terinterupsi. Kantong belanjaan serta kue-kue cantik perlahan mengisi bagian teras rumah mereka yang kosong, kemudian disusul oleh kemunculan Wan Fenty dalam balutan baju yang rapi. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak formal.
“Teh, bisa kita bicara setelah selesai makan?”
“Kami udah selesai,” ucap Jiwan paham akan keadaan. Buru-buru tangannya dibersihkan dan apa yang tengah mereka nikmati ditinggalkan. “Mau bicara di mana, Makcik?”
“Di sini nggak apa-apa, Mang Jiwan.”
“Di... ruang tamu aja,” kata Atalia terbata-bata. Firasatnya mulai berbeda, cara Fenty bicara dan gerak-geriknya mencurigakan. “Baju Makcik terlalu cantik kalau duduk lesehan di teras.”
“Oke.” Fenty setuju begitu saja dan melirik pada seorang gadis yang duduk melongo menatapnya. “Juwi ikut, ya.”
Gadis yang dipanggil Juwi itu membeliak. Juan adiknya bahkan berhenti menyuap nasi karena masih memproses situasi saat ini. Kedatangan Wan Fenty yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya, cara dia berbicara dan berpakaian sangat aneh. Belum lagi seluruh barang bawaan ini.
“Kayak lagi seserahan,” celetuk Juan asal, yang entah kenapa malah membuat Juwi tersadar.
Benar. Dilihat dari jenisnya, ini bukan barang bawaan biasa.
“Neng?”
“Iya, Mah, sebentar—”
“Nanti aja beres-beresnya, Makcik mau bicara.”
Tidak ada pilihan. Gadis itu ikut masuk ke ruang tamu dan duduk di samping ibunya. Sementara di depan mereka Wan Fenty dan Jiwan Maharaja duduk berhadapan, dipisah oleh meja sebagai pembatasnya. Suasana mendadak berubah, padahal biasanya dua wanita ini selalu heboh dan ceria.
Ada apa sebenarnya?
“Maaf kalau saya lancang sama Teteh dan Mamang.” Fenty memulai obrolan. “Kedatangan saya sekarang memang bukan seperti biasa, ada maksud lain yang hendak saya sampaikan.”
“Ada apa, Makcik?” Atalia segera menjawabnya, dia tidak suka pada situasi yang tegang.
“Maaf...” Wan Fenty memulai rencana yang dia susun selama perjalanan. Memainkan peran. “Maafkan kelancangan saya...”
“Makcik, tenang. Tolong bicara pelan-pelan, kami nggak akan marah. Kita keluarga, kan?”
Fenty mengangkat wajahnya dan menatap Jiwan penuh harap, lalu menganggukkan kepala. “Maaf ya, Mang, saya memang lancang. Tapi saya ke sini sekarang dengan maksud melamar anak Teteh dan Mamang untuk dipinang, saya mau Juwi jadi menantu saya dan jadi istri untuk Arvin di masa depan.”
“Hah?”
Reaksi yang sangat tertebak. Demi Tuhan, Fenty sudah menduganya sejak awal. Keluarga ini pasti akan terperangah.
“Makcik...” Atalia menggeser duduknya untuk mendekat ke arah sang sahabat. “Ini serius, kan?”
Fenty mengangguk cepat. “Arvin patah hati sekali mendengar acara penjajakan Juwi minggu depan. Demi apa pun, Teh... saya sudah pikirkan matang-matang, saya sudah bujuk Arvin supaya melupakan dan merelakan, tapi mau bagaimana?” Fenty meneteskan air mata tiba-tiba. “Ini kali pertama Arvin punya perasaan spesial dengan perempuan...”
Juwi membisu di tempat. Dia mungkin sudah dilamar berkali-kali, tapi ini kali pertama Juwi mendengarnya langsung. Dan Wan Fenty yang sekarang dilihatnya tampak putus asa. Seorang ibu... yang memperjuangkan perasaan anaknya, meski itu menyalahi aturan—
“Nggak apa-apa, Makcik. Perasaan Arvin ke Juwi itu nggak salah. Jangan minta maaf.” Jiwan membuka kebekuan usai isak tangis Fenty mengudara untuk beberapa saat lamanya.
“Saya minta maaf karena harus mengatakannya sekarang, Mang. Saat semuanya hampir terlambat, saya bahkan harus melupakan etika dan attitude yang baik, melamar anak gadis orang yang sudah dijodohkan.”
Atalia dan putrinya saling berpandangan, mereka jelas kebingungan, ini sungguh... di luar perkiraan.
“Kami baru di tahap penjajakan, Makcik. Masih ada kemungkinan untuk mundur atau dibatalkan, semuanya tergantung kecocokan dan Juwi yang menentukan pilihan.”
Kali ini, Juwi dan Fenty yang bertatapan. Anak gadis itu agak pendiam, tidak banyak bicara, tapi jelas dia berpendirian. Dan apakah selama ini Juwi melihat Arvin sebagai seseorang? Atau... mereka pernah terlibat perasaan?
“Juwi...”
“Aku... pikir-pikir dulu.” Gadis itu membuang napas berat. Ingat sikap Arvin padanya selama ini, lamaran dadakan dari Wan Fenty terasa sangat membingungkan.
“Iya, Neng, silakan dipikir-pikir dulu.” Atalia setuju.
“Arvin kurang baik sama Neng Juwi selama ini?” Wan Fenty beringsut dan duduk di lantai, bersimpuh di bawah gadis itu sambil memegangi kedua tangannya.
“Makcik, Makcik jangan begini, jangan duduk di sini!”
“Juwi...”
Gadis itu merosot turun, tidak mungkin membiarkan orang tua bersimpuh di kakinya hanya demi sebuah permintaan. Tidak tega melihat seorang ibu yang putus asa demi perasaan putra tercintanya.
“Izinkan aku pikir-pikir dulu, Bu.”
Ibu. Juwi memang memanggil ibunya Arvin dengan sebutan itu.
Wan Fenty gemetar, dia tidak tahu apakah Arvin masih memiliki kesempatan. Juwi punya 3 kali waktu untuk penjajakan, dan dilihat dari segi manapun, keluarga mereka jelas kalah jika dibandingkan dengan Mulyosari, Angkara apalagi Kuala Gasip.
Rasanya dari sisi yang tampak di luaran, Arvin kalah dalam banyak aspek.
Untuk keluarga yang gemar melakukan perjodohan, selain perasaan dan ikatan keluarga, aset serta kekayaan juga pilar utamanya.
“Makcik—”
“Jadi... penjajakan dengan keluarga Angkara minggu depan masih akan tetap dilangsungkan?”
Jiwan sebagai kepala keluarga di sana mengangguk takzim. “Dengan penuh permohonan maaf, sayang sekali saya harus menjawab, ya, Makcik.”
Ini tidak bisa dibiarkan.
Maharaja tidak goyah pada usahanya sejak awal. Arvin tetap tidak dapat kesempatan kalau begini caranya. Mereka memulainya dari tengah, bukan dari garis start yang sama. Harus bagaimana sekarang? Apa yang harus dia lakukan sebelum beralih ke rencana B dan C yang terkesan lebih gila?
“Juwi perempuan pertama yang berhasil membuat anak saya bicara.” Wan Fenty pasti sudah gila, tapi dia tidak peduli, ini semua demi kebaikan Arvin juga. “Juwi... adalah orang yang membawa anak saya kembali.”
“Ma—maksudnya?” Atalia kebingungan.
Fenty mengangguk dengan tatapan koson ke depan. “Arvin... selama ini nggak pernah suka dengan perempuan.”
“Apa?”
“Juwi,” panggilnya pada gadis itu hingga mata mereka bertatapan. “Anak saya penyuka sesama jenis. Tolong kamu bantu sembuhkan dia. Tolong... bawa Arvin kembali jadi laki-laki yang seharusnya.”
Dunia pasti sudah gila.

Komentar Buku (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru