logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

6. Keributan di rumah Rangga

Aruna mendatangi rumah Rangga. Pemuda itu tanpa berkata apapun tiba-tiba memeluk Rangga.
Rangga yang baru saja membuka pintu rumah tentu saja terkejut, dapat pelukan tiba-tiba dari seorang Aruna Hardiastra? Hal yang sangat jarang terjadi.
Rangga menatap kedua orangtuanya yang nampak meminta penjelasan dari arah ruang tengah. Rangga mengangkat kedua tangannya, tanda ia pun tidak mengerti.
"O-oy, Run. Kenapa ini?" Tanya Rangga.
Aruna tidak menjawab. Aruna kemudian melepaskan pelukanya pada Rangga. Terlihat kedua mata pemuda itu memerah juga sembab.
"Loh, habis nangis?!"
Aruna mengangguk kaku.
Suara Rangga yang nyaring membuat kedua orangtua Rangga menghampiri mereka yang masih ada di depan pintu yang terbuka.
"Astaga, apa yang Rangga lakuin sama nak Aruna? Rangga galak? Menjahili?" Tanya Ibu Nara, Mama Rangga.
"Rangga memang anak Paman yang bandel, ayo bilang sama Paman, Rangga bikin kamu nangis karena apa? Biar Paman kasih pelajaran." Kata Pak Sultan, Ayah Rangga.
Rangga langsung merasa tidak terima, ia bahkan tidak tahu apapun dengan keadaan Aruna, namun seolah-olah dirinya yang salah?
"Ayah, Ibu, aku ngga tau apapun. Jangan asal menuduh dong!"
Aruna menatap mereka dengan sendu. "Janis."
Hanya dengan satu kata tapi dapat membungkam mereka semua. Mereka bingung harus menjawab seperti apa, maka Rangga berinisiatif membawa Aruna ke kamarnya. Tidak dihiraukan kedua orangtuanya yang terus memanggil nama mereka berdua.
Setelah mengunci pintu kamar, Rangga menatap Aruna dengan sorot matanya yang seketika menajam.
"Apa yang terjadi? Bukanya aku udah pernah bilang untuk nggak terlalu berlebihan?!"
"Aku ketemu Ibu Jessica dirumah Syaira."
"Kamu kerumah Gadis itu?!"
Aruna mengangguk.
"Kamu cari mati, Aruna! Kalau sampai ketahuan oleh orangtua kamu gimana, ha?!"
"Aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja, terlebih dia teledor, jatuh, terluka. Aku nggak bisa biarin gitu aja."
"Iya tapi harusnya kamu mikir panjang, Run"
"Aku selalu mikir panjang!" Bentakan Aruna berhasil membungkam Rangga. Melihat Rangga tidak berkata-kata lagi, Aruna kembali meneruskan kalimatnya.
"Aku selalu dengerin semua yang kalian bilang, semua yang Ibu dan Ayah bilang, aku nurut selama ini. Tapi aku ngga bisa nahan lagi, aku ngga sekuat itu, Rangga."
Ucapan putus asa dari sahabatnya membuat Rangga terenyuh. Maka Rangga kini melunak, Rangga menghampiri Aruna untuk merangkul pemuda itu.
"Kita semua sayang sama kamu, Aruna. Kita nggak mau kamu terjerumus dalam dunia 'Janis' lagi. Aku nggak akan larang, tapi tolong jangan berlebihan. Ingat, Ayahmu tidak akan suka dan Paman Jefry seperti musang ganas."
"Thank atas peringatannya, setidaknya kamu masih dukung aku Rangga."
"Pasti Aruna, kita semua dukung kamu."
Pandangan Aruna terfokus pada ujung dinding kamar Rangga. Pikirannya seperti menerawang jauh pada kejadian yang dialaminya.
"Syaira sekarang lebih menggemaskan. Dia cengeng, dia selalu marah-marah, dia jahil, menyebalkan bukan? Dia juga ceroboh, aku semakin ingin berada disampingnya-" Aruna tersenyum-senyum sendiri dengan pandangan menerawang jauh. Rangga hanya mendengarkan saja tanpa menyela.
"Dulu Syaira sangat jutek, selalu melindungiku karena aku lebih pendek. Dia dulu sangat anggun dan kalem, berbeda sekali dengan sekarang."
"Kamu benar-benar sering merhatiin dia?"
Aruna mengangguk antusias.
"Ya Rangga, Ya. Kini aku seperti mengenal 2 orang perempuan. Syaira dan Janis. Mereka benar-benar berbeda."
"Tapi mereka hanya satu orang, Run."
"Aku tahu."
"Kamu tetap mempertahankannya?"
"Setelah semua yang aku lalui, jawabannya adalah ia."
"Bagiku Syaira sekarang tidak menarik, dia jahat dan seenaknya. Sangat tidak pantas bersanding denganmu." Ucapan Rangga berhasil membuat Aruna melotot padanya, bahkan kedua tangan Aruna hampir mencekik leher Rangga jika saja Rangga tidak segera menghindar.
"Jangan menghinanya." Geram Aruna.
"No, no dude. Just kidding ok?" Rangga kemudian mendepak pundak Aruna seketika.
"Ahahaha, kamu cocok dengannya. Yaa, Syaira menarik kok. Dia baik dan lucu, iyakan? Hahaha." Garing sekali. Rangga berusaha membuat suasana biasa kembali.
"Memang."
"Tapi omong-omong, bukankah kamu menyandang predikat kekasih Irene ya?"
"Konyol sekali, kamu mau ikutan yang lain apa? Makan gosip murahan."
"Ya tapi—"
"Hanya Syaira!"
"Ok, ok ok. Hanya Syaira, ok. Tapi ya kalau kamu nggak suka, janganlah dikasih harapan." Aruna berdiri dari duduknya, ia menendang kasur milik Rangga dengan keras.
"Mencoba mengaturku?"
"Eh, serius nih." Rangga sempat menelan ludah dengan cepat.
"Ck, nggak penting. Dia hanya orang lemah yang aku bantu."
Tok tok tok
Rangga dan Aruna menatap pintu kamar.
Tok tok tok
"Buka Rangga." Titah Aruna.
Rangga pun turut membuka pintu kamarnya yang sempat dikunci. Rangga terkejut begitupula Aruna, saat melihat anggota geng Best boy lain nampak berdiri dengan gagahnya.
"Ngumpul boy, ngga ajak-ajak nih." Kata Erik.
"Ini apaan ya?" Pertanyaan Rangga tidak digubris karena kini Erik, Dimas, Daren, Bayu dan Rio tampak masuk begitu saja ke kamar Rangga.
"Ck, siapa yang bolehin kalian masuk!"
"Udah lah, lagian orangtua kamu tuh khawatir sama Aruna. Dia nyuruh kita semua dateng kesini." Kata Daren.
"Oh, eh, ha? Kok?" Kebingungan Rangga ditertawai oleh yang lain.
"Lagipula, kita juga penasaran. Sebenarnya apa yang bikin Tuan Muda kita nangis?" Tanya Dimas. Kini semua mata tertuju pada Aruna.
Sedangkan Aruna terlihat biasa saja, ia malah mengangkat bahu tidak peduli.
"Cerita pada kami, tadi bukannya habis mengantar Princess Syaira?" Tanya Rio.
"Kalian semua pada kepo sama ketua geng, mana sikap sopannya!" Bentak Aruna.
"Ayolaah, masa cuma cerita sama Rangga, sih. Kita semua siap bantu jika ada apapun, Run." Timpal Erik.
Aruna menghela nafas perlahan. "Aku ke rumah Syaira, bertemu Ibunya, Syaira penasaran tentang siapa aku, hah! Rasanya hatiku bergejolak sesak, aku tidak mengerti."
"Bukan maksud untuk ikut campur, tapi berhati-hatilah, Aruna." Ucapan Bayu berhasil membuat keadaan hening.
Aruna terkekeh pelan. "Aku selalu hati-hati boy, sampai detik ini aku selalu menahan diri."
"Dengan berani lebih dekat padanya?" Tanya Bayu.
"Itu ...."
"Dengan memaksanya untuk dekat denganmu? Dengan memaksanya untuk mengenalmu?"
"Hei, dengar—"
"Aruna, bagiku hari ini kamu sudah melewati batas." Ucapan Bayu bukan hanya membuat perasaan Aruna tidak nyaman, melainkan membuat kawanannya yang lain mengernyit bingung.
"Aku tidak bertingkah berlebihan." Jawab Aruna dengan nada rendah.
"Ini maksudnya apa? Ada yang bisa beri penjelasan?" Tanya Daren yang tidak dibalas oleh siapapun.
Kini yang lain menatap Bayu dengan ekspresi tidak suka. Ok, bebas untuk menghakimi siapapun, tapi bukankah Bayu terlalu menekan Aruna?
"Kau yang jangan melewati batasan, Bayu." Kata Aruna.
Aruna dan Bayu. Sepupu. Dekat tapi berjarak. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Gegabah, bagiku melihatmu membawa Syaira, mengantar kerumahnya bahkan bertemu dengan Ibu Jessica. Apa kamu mau membuat hidupnya sulit? Bagaimana jika orangtuamu tahu, Aruna?!" Nada keras yang dilantunkan Bayu membuat Aruna ikut tersulut. Aruna hendak meraih kerah baju Bayu sebelum dirinya ditahan oleh Erik dan Rangga.
"Aku sudah cukup menahan diri selama ini, sekali saja tidak bisa?! Siapa kau, dengan seenaknya menuduhku buruk pada Syaira dan keluarganya?!"
"Semakin kamu masuk kedalam hidupnya, semakin kamu akan membuat Syaira dan dirimu sendiri sengsara, jangan lupa bagaimana kisah masa la—"
"Jangan bawa masa lalu! Di masa manapun, aku berhak untuk mendekatinya."
"Aruna! Kau egois!"
"Kenapa kau jadi begini, Bayu? Bukankah kau yang paling mendukungku? Bukankah kau ingin melihatku bersama Syaira? Bukankah—"
"Aku ingin kau hanya menatapnya dari jauh seperti biasa. Menjauhlah Aruna!" Bentak Bayu.
"Berani sekali," Aruna melepaskan dirinya dari cekalan Erik dan Rangga, ia melangkah perlahan mendekati Bayu dengan wajah gelap dan sorotan matanya yang tajam. "Beraninya kau," Kedua tangannya mengepal bersiap meninju Bayu yang terlihat tidak gentar sedikitpun. "BERANINYA KAU MENYURUHKU! BERANINYA! BERANINYA KAU—"
Sreett
Rio dan Daren membawa Bayu menjauh untuk melindunginya. Sedangkan Bayu, Dimas dan Erik berusaha mati-matian menahan Aruna yang masih berusaha mengeluarkan kekuatannya untuk melepaskan diri.
"LEPASKAN, SIAL!"
"Tenang Arunqqq, tenanglah. Bayu hanya ingin melindungimu dan Syaira. Tenang Aruna!" Teriak Rangga.
"Boy, Bayu tidak bermaksud buruk padamu atau Syaira itu. Sadarlah, tenagamu kuat sekali!" Timpal Erik.
"Jangan menyuruhku menjauhi, Syaira! Jangan! Jangan menyuruhku!"
"Tidak ada yang menyuruhmu, Aruna!" Bentak Daren.
Kemudian tubuh Aruna nampak lemas, setelah dia mengeluarkan semua tenaganya untuk melepaskan diri dari kekangan teman-temannya. Tubuhnya merosot kelantai dengan perlahan dengan tidak berdayanya.
Rangga, Erik dan Dimas mulai melepaskan cekalannya. Mereka pun nampak kelelahan setelah mengeluarkan tenaga dalam untuk menahan Aruna.
"Janis ... Janis ..." Gumam Aruna lirih.
Bayu nampak khawatir, pemuda itu menghampiri Aruna untuk memastikan keadaanya. Dilihatnya dari dekat jika pemuda itu kacau. Matanya kosong dan tidak jelas arah pandangnya. Ini memang salahnya karena sudah menyinggung soal Syaira.
"Aruna, aku minta maaf. Aku tidak ingin melihatmu dan Syaira terluka." Ucap Bayu pelan.
Aruna menatap Bayu tanpa berkata apapun. Bayu turut menatap Aruna, ia tersenyum perlahan tapi balasannya diluar dugaan-
DUAAK!
Tonjokan yang lumayan keras itu dilayangkan oleh Aruna tepat dirahang tegas milik Bayu.
Bayu tersungkur beberapa meter dari hadapan Aruna.
"YAK!!!" Teriak yang lain berbarengan, mereka menghampiri Bayu yang masih tersungkur dan memegangi rahangnya, itu sangat sakit kalau boleh tahu.
Aruna berdiri dihadapan mereka semua dengan emosi yang masih bisa ditahan olehnya. Menyeramkan. Sitampan tanpa logika, jika marah sangat menyeramkan.
"Jangan.Menyuruhku.Menjauhi.Syaira." Ucapnya penuh penekanan.
"Tidak ada, Run, kita tidak menyuruh atau menahanmu." Kata Erik setengah was-was.
Pembicaraan itu terhenti saat lagi-lagi pintu kamar Rangga diketuk, tanpa menunggu waktu lama akhirnya Rangga membuka pintu. Semua yang berada di dalam kamar bertingkah seperti tidak terjadi apapun, kecuali Aruna yang masih menampilkan wajah suramnya.
"Nak Aruna, Ayah dan Ibumu menjemput." Ucap Ibu Rangga disertai senyuman lembutnya.
Aruna mengernyit. Setahunya orangtuanya masih sibuk di luar negeri dan akan pulang sekitar satu minggu lagi. Tidak ingin mengulur waktu, Aruna berjalan melewati yang lain begitu saja untuk menemui orangtuanya.
"Baik-baik saja?" Tanya Ibu Rangga pada yang lain, sesudah Aruna pergi.
"Ya hahaha." Tawa Dimas memecah keheningan begitu saja.
"Kurasa, baik." Timpal Daren.

Komentar Buku (30)

  • avatar
    Meysin

    Syukak bangettt🥰

    17/07

      0
  • avatar
    Sisca Siscallist

    menarik

    10/07

      0
  • avatar
    ErnawatiVera

    cerita nya sangat keren

    11/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru