logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

5. Aruna siapa?

Mobil Aruna berhenti tepat di depan pagar rumah milik keluarga Syaira.
Kebetulan selama diperjalanan Syaira menangis terus dan lama-lama dirinya tertidur didekapan Aruna.
"Janis bangun." Bisik Aruna pelan. Sebenarnya dia tidak tega membangunkan.
Syaira masih tertidur pulas. Akhirnya Aruna mencium kening Gadis itu. Bukan kesempatan dalam kesempitan ko, cuma ini adalah hal yang diketahui Aruna untuk membangunkan Gadis itu.
"Hmm?"
Benar saja. Syaira perlahan membuka kedua matanya. Syaira menggeliat dan menguap lalu jemari lentiknya mengucek kedua matanya keras, membuat Aruna meraih jemari Syaira untuk menghentikan itu.
"Jangan dikucek, ntar matanya sakit." Kata Aruna, kalem.
"Ha?" Syaira menilik siapa yang ada dihadapannya kemudian matanya melihat semua penjuru mobil berakhir disepasang mata kucing milik Aruna.
"Selamat bangun Putri." Aruna tersenyum manis.
"Waaa, kok bisa! Kok masih ada kamu sih?!" Kaget, itulah yang dirasakan oleh Syaira. Bahkan melihat dirinya yang masih ada dipangkuan Aruna pun membuatnya semakin merasa shock.
Syaira beranjak dari pangkuan Aruna, menarik diri menjauh dari Aruna dengan mundur dan duduk diujung kursi mobil.
Syaira menatap baju seragamnya yang masih sedikit basah.
"Kamu kecapean nangis terus, jadi ketiduran."
"Terus, kenapa baru ngebangunin sekarang?"
"Karena baru sampai didepan rumah kamu." Jawab Aruna sambil menunjuk rumah Syaira dengan dagunya.
Syaira melihat dan benar saja. Kini mobil yang ia tumpangi ada tepat didepan pagar rumahnya yang menjulang tinggi.
"Kamu beneran, tau rumah aku?" Gumam Syaira.
"Iya."
Syaira seketika membuka pintu mobil tapi terkunci. Syaira menatap Aruna dan sang sopir bergantian, memohon untuk dibukakan melewati pandangan matanya.
"Bilang makasih dulu." Pinta Aruna.
Syaira menunduk, menarik nafas pelan sebelum akhirnya menjawab "Makasih ya."
Aruna tersenyum penuh arti lalu menyuruh supirnya untuk membuka kunci pintu mobil.
Setelah terbuka, Syaira dengan cepat membuka pintu lalu berlari untuk sampai kedepan pagar rumahnya. Inginnya sih begitu, tapi karena ia yang terlalu buru-buru mengakibatkan dirinya terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.
"Astaga." Aruna ikut turun dari mobil, berjalan perlahan menghampiri Syaira. Aruna berjongkok dihadapan Syaira yang kini sedang meniupi luka dilututnya. "Nggak apa-apa?"
"Huhu sakiit." Keluh Syaira membuat Aruna menoyor dahinya.
"Dasar bodoh."
"Udah kamu pulang aja sana!" Bentak Syaira.
"Kaki kamu luka."
"Iya emang luka, udah sana! Hus hus." usir Syaira pada Aruna
"Ck, emangnya aku kucing diusir gitu." Aruna lagi-lagi mengangkat tubuh Syaira, menggendongnya seperti sebelumnya.
"Yak!" Teriak Syaira.
"Aku anter sampai rumah." Aruna mulai melangkah perlahan.
"Ngga usah, ih! Turunin aja, aku bisa sendiri Aruna."
"Mana bisa? Buat berdiri aja kayaknya kamu susah. Biar sekalian aku obatin lukanya."
"Aku bisa." Suara Syaira melemah saat dirasa luka dikakinya semakin perih.
"Bisa apa? Kamu bisanya cuma nangis. Hayo sekarang mau nangis lagi, iya kan?"
Syaira diam tidak melawan karena ia memang benar-benar kesakitan dan rasanya makin kesal, kalau ngomong dikit saja pasti nanti nangis.
Aruna mulai memasuki pekarangan rumah keluarga Syaira yang hampir sama besar dengan pekarangan rumahnya.
Sesekali Aruna melirik Syaira untuk memastikan keadaannya. Syaira sejak tadi hanya menunduk saja. Mungkin meratapi kakinya yang sakit.
Sampailah mereka diruang tamu rumah Syaira. Aruna kemudian mendudukan Syaira dengan perlahan di atas sofa. Tangannya mengusap rambut Syaira pelan, tapi pandangannya mengarah ke setiap penjuru ruangan.
"Bi Surti!" Panggil Aruna lumayan keras.
Syaira menatap Aruna kaget, tapi tidak sepatah katapun keluar dari bibir Gadis itu.
"Bi Surti!" Panggil Aruna lagi.
Tidak lama munculah perempuan paruh baya kehadapan Syaira dan Aruna. Perempuan itu membungkuk hormat.
"Ya." Jawabnya.
"Tolong ambilkan P3K dan air hangat untuk Janis minum, juga tambahkan sedikit gula." Perintah Aruna yang diangguki oleh pelayan itu.
"Baik Tuan."
Selepas kepergian sang pelayan, Aruna berjongkok dihadapan lutut Syaira, ia memijat pelan kaki Gadis itu. Sesekali meniup lukanya agar kering.
"Syaira, ternyata kamu sudah pulang ya, loh—" Ibu Jessica. Ibu dari Syaira tampak mematung saat melihat Syaira tidak sendirian, melainkan bersama Aruna.
Aruna yang melihat Ibu Jessica mematung dihadapannya, hanya menyunggingkan senyuman tipis lalu kembali fokus meniupi luka Syaira.
Syaira menatap Ibunya, gadis itu menggelengkan kepalanya dengan kedua alisnya yang mengernyit. Tanda ia pun tidak tahu harus bagaimana.
Tak lama, pelayan yang dipanggil Bi Surti tadi sudah kembali dengan barang yang dipinta Aruna.
Aruna menerimanya, lalu dengan telaten pemuda Tampan itu mencuci luka, padahal sangat pelan tapi Syaira meringis pilu. Kemudian dilanjut dengan mengobatinya. Setelah itu Aruna dengan sedikit paksaan, menyuruh Syaira menghabiskan air hangat dicampur gula.
"Nggak mau." Tolak Syaira sambil memalingkan muka.
"Minum sedikit."
"Nggak, aku nggak suka."
"Yaudah, aku nggak akan pulang."
"Iya iya, dasar pemaksa!" Syaira akhirnya merebut paksa gelas yang dipegang Aruna, meminum air gula itu dengan 2 kali teguk.
Setelah dirasa selesai, Aruna pamit pulang pada Syaira. Lalu menatap Ibu Jessica yang sejak awal membisu, Aruna membungkuk hormat pada Ibunya Syaira itu. Lalu pergi dari sana.
Entah kenapa Syaira merasa hatinya ada yang mengganjal, Syaira merasa tidak tenang. Syaira menatap Ibunya yang masih diam mematung dengan tampang horor.
"Ma," Panggilan Syaira membuat Ibu Jessica sedikit tersentak. "Apa Mama kenal Aruna?"
Ibu Jessica nampak kaku untuk menjawab.
"Jawab Ma." Pinta Syaira, memaksa.
"Maaf, Mama nggak jawab sekarang." Jessica menunduk dalam, kentara sekali ia tidak ingin mengatakan dan mengingat hal yang pernah terjadi.
Syaira sangat tidak puas. Syaira benar-benar penasaran, kenapa Aruna tahu rumahnya? Kenapa Aruna kenal Bi Surti? Dan Ibunya, apa yang pernah terjadi sebenarnya?
Maka dengan nekat meski kakinya masih sakit, Syaira berdiri dari duduknya. Syaira melangkah dengan cepat untuk menyusul Aruna.
"Syaira." Panggil Jessica yang tidak digubris.
Menahan rasa sakit, Syaira melangkah setengah berlari dengan kakinya yang pincang. Dilihatnya Aruna sudah berjalan sampai pekarangan rumahnya, hampir mendekati pagar keluar area rumah.
"Aruna! Aruna!" Panggil Syaira dengan kepayahan.
"Aruna tunggu!"
Aruna menghentikan langkahnya, ia berbalik untuk melihat sekaligus menunggu Syaira yang berjalan cepat dengan menyeret kakinya secara paksa dengan nafas yang terputus-putus.
"Kenapa? Bukannya kaki kamu masih sakit, kok malah lari kesini? Masih kangen?"
Syaira masih menetralisir nafasnya yang tidak stabil akibat kelelahan. Lalu ia menghelas nafas pelan.
"Sebenarnya kamu siapa? Bukannya kita nggak saling kenal?"
Aruna tersenyum, berbeda dengan Syaira yang menatapnya dengan tatapan datar.
"Aruna Hardiastra."
"Iya itu nama kamu, tapi kamu tuh siapa dihidup aku?"
"Bukan siapa-siapa sih, lebih tepatnya belum."
Syaira sebal sendiri mendengarnya. Syaira tidak suka lelaki yang sksd dengannya.
"Tahu rumahku, kenal dengan Bi Surti bahkan Mama sepertinya nggak asing dengan kamu. Aruna, kamu siapa?"
"Calon masa depan kamu."
"Aruna, aku serius!"
"Coba tanya sama Mama kamu."
"Mama nggak bisa jawab." Perkataan Syaira berhasil membuat Aruna tersenyum sendu.
"Yaudah, aku juga nggak bisa jawab."
Syaira terlihat kesal, ia menggembungkan pipinya dengan imut. "Kamu harusnya yang jelasin tau. Aku mau taunya dari kamu!"
"Gini ya, mungkin kamu nggak kenal aku, tapi biarlah aku yang tahu kamu."
"Aku nggak suka kaya gitu! Apa susahnya sih kamu jelasin semuanya sama aku!"
"Nggak sekarang Syaira. Nanti pasti bakal aku kasih tahu ya." Aruna tersenyum tipis. Syaira terdiam pasrah. Rasanya sulit mendebat Aruna itu.
"Susah ngomong sama orang kayak kamu. Udah lah." Syaira membalikan tubuhnya, Syaira berjalan beberapa langkah sebelum ucapan Aruna menghentikannya lagi.
"Syaira Janista, anak tunggal dari keluarga Jefry Albukhori dan pasangannya Syaina Jessica. Pintar dan terlalu pemilih dalam hal apapun. Sangat membenci sayuran terutama wortol. Sering melamun dan senang dengan hewan terutama kodok, pencinta warna kuning, memiliki trauma terhadap petir, selalu merasa ke—"
"Stop!" Teriak Syaira. Jujur Syaira terkejut dengan apa yang diungkapkan oleh Aruna. Sebenarnya siapa Aruna? Kenapa dia terlihat sangat mengenal Syaira?
"Kenapa nyuruh berhenti? Nggak nyaman?" Tanya Aruna tanpa ekspresi. Hanya sorotan matanya saja yang terlihat tajam.
"Kamu tuh sebenernya siapa? Kenapa kamu keliatannya kenal banget tentang aku? Kamu bikin aku takut tau!" Jawab Syaira setengah berteriak dengan suaranya yang bergetar. Jujur Syaira takut saat ini. "Kamu tetep nggak mau jelasin apapun?"
"Janganlah, jangan takut sama aku. Kamu cukup tahu kalau aku Aruna, anak geng Best boy. Aku nggak bisa kasih tau lebih."
"Tapi kamu bikin aku parno, jangan deketin aku lagi loh ya, pokoknya jangan!" Syaira meneruskan kembali langkahnya yang tadi sempat terhenti.
"Syaira Janista!" Teriak Aruna.
Syaira menghentikan langkah cepatnya, dengan gerakan patah-patah Gadis itu menoleh kearah Aruna.
"Hati-hati, jangan benci sama aku!" Teriak Aruna kembali yang benar benar masih bisa Syaira dengar dengan jelas.
"Bodo ah!" Syaira berniat melanjutkan lagi langkahnya sebelum teriakan Aruna menghentikan kembali gerak langkahnya.
"Syaira Janista! Awas!"
"Apa sih!" Teriak Syaira kesal.
"Awas nanti jatuh cinta!" Balas teriak Aruna.
"Jatuh cinta sama aku!" Teriaknya lagi.
Brukk brukk brukk!
Syaira tidak menggubris. Ia menghentak langkahnya dengan keras tanda kesal.
Awas jatuh cinta? Apaan sih! Siapa juga yang bakal jatuh cinta sama Laki-laki nggak jelas! Apalagi kayak dia, idih! Lagian, Aruna kan milik Irene! Pikir Syaira kesal.

Komentar Buku (30)

  • avatar
    Meysin

    Syukak bangettt🥰

    17/07

      0
  • avatar
    Sisca Siscallist

    menarik

    10/07

      0
  • avatar
    ErnawatiVera

    cerita nya sangat keren

    11/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru