logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 TUJUH

PART 7
_____________________________________
Emosiku kembali memuncak. Kesabaran sudah di ambang batas. Tanpa memedulikan keberadaan Emak, juga Salsa yang tergolek lemah, kurebut mangkok berisi bubur di tangan Resty, menaruhnya bersamaan dengan bungkusan yang dibawa ke atas nakas.
"Pa ...," gumamnya begitu pelan.
"Ikut aku!" Kutarik ia keluar hingga terseret-seret.
"Irfan, hey!" Tak kupedulikan suara Emak memanggil.
Setelah beberapa langkah dari kamar, kuhenrak ia dengan keras hingga terpelanting dan membentur tembok. Ia tertunduk dengan wajah sembab berurai air mata. Sepertinya, sejak kemarin Resty tak berhenti menangis.
Malu dan menyesal pastinya kalau aku jadi dia. Kalau dia masih punya malu, sih. Hina!
"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku dingin.
"Aku cuma mau ngurusin Salsa, Pa. Dia sa---"
"Panggil aku Irfan saja!" potongku cepat. Kutatap wajahnya tajam. "Aku bisa urus anakku sendiri!" sambungku dengan penekanan.
"Dia butuh aku, A'. Kamu mau jauhin anak kamu dengan ibunya sendiri? Tega, kamu!" ujarnya seraya terisak.
Aku tega? Astaga ... mentang-mentang dicap sebagai makhluk yang lemah, apakah semua wanita yang bersalah selalu playing victym seperti ini? Padahal jelas-jelas aku dan Salsa adalah korban dari ketegaannya.
"Heh, setelah semua ini terjadi, baru kamu sadari kalau Salsa membutuhkanmu? Seharusnya, sebelum bertindak menjijikan seperti kemarin, kamu pikirkan anakmu! Jika tidak memikirkan perasaanku tak apa, mungkin aku hanya orang lain, yang kebetulan berpartner denganmu sebagai sepasang orang tua. Tapi, Salsa darah dagingmu! Kurasa, wanita sepertimu tidak layak disebut seorang ibu!"
"Cukup, A', cukup!" ucapnya sambil menutup kedua telinga. "Kamu menghakimi aku, seolah kamu suami yang paling sempurna. Padahal ...."
"Apa?! Katakan apa kesalahanku yang setimpal dengan kebiadabanmu? Dari ucapanmu, kurasa tak ada menyesal sama sekali di sana." Kutunjuk ke arah dadanya. "Selama ini aku salah menilaimu, Resty. Wanita yang yang kupikir baik-baik selama ini, tak ubahnya wanita kotor yang tidak punya malu!" berondongku, menumpahkan semua unek-unek di dada.
Plak!
Aku tersentak. Beraninya dia menamparku.
"Udah puas kamu menghakimi aku seperti ini? Jahat, kamu, A'."
Ya Allah ... sepertinya bicara dengan iblis betina ini hanya akan membuang waktuku dan menguras energi dengan percuma. Tak nampak sedikit pun gelagat kalau ia merasa bersalah dan menyesal. Permintaan maafnya kemarin sepertinya hanya kamuflase di depan warga, dan keluarganya.
Jemariku repleks terkepal menahan emosi. Terasa begitu nyeri bekas kemarin meninju tembok. Jika bukan wanita, sudah kuhajar dia.
"Pergi kamu dari sini! Aku muak melihatmu."
"Enggak, aku mau nemenin Salsa sampai sembuh! Aku yang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkannya, dan kamu gak berhak jauhin aku dari Salsa!" Resty hendak kembali ke kamar Salsa.
Segera kutahan dengan menarik pergelangan tangannya kuat-kuat, lalu menyentaknya lagi ke dinding. Kali ini lebih keras.
"Pergi! Salsa akan jauh lebih baik tanpa ibu sepertimu. Tidak ada yang menghendaki kedatanganmu!"
"Emak yang suruh Resty ke sini! Sudah jangan bertengkar di sini. Apa kalian tidak malu?" Tiba-tiba Emak muncul menyusul kami.
Aku hanya membuang muka ke sembarang arah. Sementara Resty masih dengan playing victymnya. Terisak-isak seolah ia yang paling terdzolimi. Wanita setan!
"Res, kamu temenin Salsa. Dia nyariin kamu," ucap Emak lagi.
Resty dengan langkah cepat berlalu meninggalkanku. Aku melangkah gontai, dan mengempaskan tubuh di bangku ruang tunggu yang tak jauh dari tempat berdiri sebelumnya. Menyugar rambut dengan frustrasi. Tak berapa lama, Emak menghampiri dan duduk di sampingku.
"Berat sekali, 'kah, masalah kalian, Nak? Tugas suami adalah mendidik dan membimbing istrinya jadi lebih baik. Maka, jika istrimu salah, maafkan, dan pimpin dia belajar memperbaiki kesalahan. Bukan begitu, 'kan?" ucap Emak. Lantas mengelus lembut punggung tanganku.
Tapi masalahnya tak sesederhana yang Emak pikir! Tentu saja kata-kata itu hanya terngiang dalam sanubari saja.
Kuusap wajah frustrasi. "Jujur berat, Mak. Irfan udah gak bisa mentolerir lagi. Rumah tangga Irfan kadung hancur. Tak bisa dipertahankan."
Emak terdengar menghela napas berat. "Secepat ini? Sebatas yang Emak tau, selama usia pernikahan, baru kali ini Emak lihat kalian ada masalah. Mungkin terkesan berat bagimu karena baru pertama kali rumah tangga ditimpa masalah, Fan."
Haruskah kuceritakan semuanya pada Emak sekarang? Tapi, aku khawatir dengan kesehatannya. Pasti Emak shyok berat. Darah tinggi dan lambungnya pasti langsung kumat. Bahkan mungkin lebih fatal dari itu. Sementara aku tidak mau terjadi sedikit pun hal yang buruk pada Emak.
"Ini benar-benar berat, Mak. Irfan sudah menalak Resty, dan Irfan harap, Emak bisa menghargai keputusan Irfan."
"Astaghfirullah, Fan." Emak mengelus dadanya. "Jujur, Emak sangat kecewa. Ya sudahlah, Emak percaya kamu cukup dewasa dan bijak dalam menentukan keputusan. Hanya, pesan Emak, tolong pikirkan kembali masak-masak. Terutama mengenai imbasnya kepada Salsa. Apa kamu tidak melihat bagaimana bahagianya anakmu atas kehadiran ibunya? Bahkan dia makan dengan lahap bubur yang dibawa Resty."
Aku menerawang. Ya, tentu saja. Salsa selalu menjadi prioritas utama bagiku untuk menentukan semuanya. Terutama dalam hal besar seperti ini. Meski berat, aku optimis, perpisahan adalah jalan keputusan paling tepat bagiku dan Salsa.
Masa bodo dengan Resty! Saat kejadian hina itu, otomatis ia langsung terblacklist dari deretan orang yang spesial di hatiku. Terbuang ke tempat sampah.
_____
"Kenapa gak kamu kasusin masalah kemarin itu, Fan?" sahut Edi, kemudian menyeruput kopinya. Saat ini kami sedang mengobrol ringan di teras rumahku.
Salsa sudah pulang setelah dua hari dirawat. Dan selama itu pula Resty selalu berada di sampingnya. Aku tidak bisa berkutik. Mau bagaimana lagi, semua karena campur tangan Emak.
Lagipula, melihat pemulihan Salsa yang sangat cepat saat ditemani ibunya membuat hatiku luluh. Maksudku, luluh untuk membiarkan Resty tetap berada di samping gadis mungil itu. Biar aku kesampingkan dulu ego demi anak.
Anak sepolos Salsa mengerti apa tentang masalah ini. Di pikirannya hanya ingin berada dekat dengan kedua orang tua. Seburuk-buruknya Resty, di mata suci Salsa, ia tetap ibu yang paling dicintainya.
"Dikasusin bagaimana?" tanyaku seraya mengerutkan dahi.
"Ya, kamu minta si Herdi itu bayar sesuai yang kamu kehendaki. Kalau dia gak mampu, penjara ganjarannya." Belakangan, aku tahu nama selingkuhan Resty adalah Herdi.
"Bah! Aku malas berurusan dengan mereka lagi. Najis! Lagian bukan sombong, masalah duit, aku sudah cukup."
"Ya, gak bisa diragukan. Kamu gak bakal kekurangan duit, Fan. Tapi, kan, dia cuma buruh pabrik sepertiku, pasti kalau kamu minta denda, kelabakan dia. Itung-itung ngasih pelajaran."
"Kalau gitu, bukanya aturannya aku harus mempertahankan si Resty? Sementara aku, melihatnya saja sudah muak!" jelasku mantap.
Edi hanya terkekeh seraya menepuk pundakku.
Di tengah obrolan, hapeku berdering di ruang tamu. Segera aku beranjak ke dalam. Barangkali penting. Ternyata panggilan dari Rizky. Segera kusentuh gambar gagang telepon berwarna hijau.
"Hallo, Ky?" Aku membuka percakapan.
"A', cerita sama aku. Berita viral yang aku liat barusan gak bener, 'kan?" ujarnya dengan nada panik.
"Heh, pelan-pelan kalau ngomong. Berita apa?" Aku jadi kaget dan penasaran.

Komentar Buku (30)

  • avatar
    DyanBirin

    bKdy bama

    28/07

      0
  • avatar
    15Mahija

    ceritanya bagus

    11/07

      0
  • avatar
    Riyana

    semangat

    01/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru